Oleh: Sopliadi
Ibu, mak,
mama, mami, ummi, begitulah dia biasa dipanggil. Nama yang tak asing lagi bagi
seorang anak. Petang dengan cahaya kemerah-merahan dihiasi rintik-rintik hujan
membuat suasana kampung terlihat sepi. Sayup mata memandang terlihat sekumpulan
anak-anak tengah asyik bermain di bawah bukit samping kebun jagung pak Ahmad. Tonil........???
Suara yang begitu keras terdengar dari balik jendela yang kebetulan berhadapan
dengan pegunungan yang menjulang.
Semua
mata tertuju pada suara tersebut. Tonil pun pulang dengan wajah lesu karena
harus meninggalkan permainan. Sesampai di rumah terlihat ibu sedang memasak
ikan hasil tangkapannya kemarin. Selain bermain bola, ia juga hobi memancing
selesai pulang sekolah. Tanpa disuruh ia langsung membersihkan sekujur tubuh
bekas jerami hasil panen penduduk. Ibunya terlihat senang karena ia sudah mulai
mengerti apa yang semestinya dilakukan.
Jam
pun menunjukkan pukul enam, hari kian mulai gelap. Terdengar kumandang azan
magrib di mesjid sebelah. Namun, Tonil dan ibunya hanya melaksanakan shalat di
rumah, karena letak mesjid cukup jauh dari kediaman mereka. Untuk ukuran di
kampung, kehidupan mereka cukup sederhana.
Di
sela-sela menikmati makanan, ibunya kembali memanggil. Tapi kali ini suara agak
pelan. Nil...!! Kamu adalah satu-satunya yang ibu miliki. Teman di kala duka,
rumah ini cukup sepi jika tiada kamu. Apalagi setelah kepergian bapakmu. Suasana
begitu hening, Tonil yang tadinya tengah menyantap kepala ikan tiba-tiba jeda
sejenak. Dengan langkah pelan ia menghampiri ibunya. Bu? Aku akan menjaga ibu
setiap saat. Akan selalu menjadi teman buat ibu. Mereka pun saling mendekap
dengan pelukan penuh kasih sayang.
Dengan
nada lembut, sambil mengusap kepala Tonil dengan rambut yang sudah mulai agak
kasar. Pesan ibu hanya satu, andaikata kamu pergi, kemana pun itu. “jangan lupa
berbuat baik, entah itu manusia atau dengan siapalah termasuk dengan binatang
sekalipun, karena Tuhan tidak pernah membeda-bedakan”.
Itulah
sepenggal kalimat yang disampaikan ibunya ketika sebelum menginjak negeri
orang.
Karena
sekarang ia sudah cukup dewasa. Demi cita-cita ia harus meninggalkan ibunya
yang sudah tua renta. Pertemuan dengan ibunya sudah cukup lama. Untuk mengobati
rasa rindu tak jarang ia mengirim surat lewat pos terdekat. Maklumlah, sejak
kepergianku hingga sekarang tak kunjung mendapatkan signal, karena jauh dari
pusat perkotaan. Untuk listrik saja Pak Lurah baru menerima beberapa tiang
listrik, itu pun berita terakhir yang aku dengar enam bulan yang lalu.
Hidup
di perantauan cukup memberi ia banyak pengalaman. Manis-pahitnya hidup sudah
dirasakan. Hanya saja sedikit berbeda, di kampung tiap ada waktu luang ia
gunakan untuk memancing, karena hobi juga hasilnya dapat diberikan kepada emak
untuk digoreng. Di kota untuk mancing saja mesti dibayar, oleh sebab itu ia
harus melupakan hobinya. Di tengah ingar-bingarnya kehidupan kota tak membuat
ia lupa akan emak. Tiap kali makan enak pemberian teman selalu ingat dengan
emak.
“Suaramu
masih terngiang di benakku. Suara yang parau. Suara yang memanggil keras waktu
aku main bola. Suramu yang bernada pelan membuat aku harus berhenti melanjutkan
makan kepala ikan”. Mebuatnya rindu akan sosok emak.
Di
kejauhan kerap hatinya tergugah untuk pulang lebih cepat. Agar segera ketemu
dengan emak. Pulang untuk kembali. Kerinduan itu kian membuatnya menetes air
mata. Dia tahu hanya aku yang menjadi teman di kala emak kesepian. Bahkan tak
jarang tidak mengikuti pengajian karena harus menemaninya.
***
Tonil
pun kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Kembali untuk menggapai tekadnya
yang pernah diungkapkan dengan emak dulu. Sekarang ia sudah duduk di semester V
di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jogja. Ia cukup beda dengan teman
lainnya, sehabis kuliah ia tak membuang-buang waktu demi mendapat tambahan
biaya kuliah. Selain tak mau menambah beban orang tua, juga supaya belajar
mandiri.
Ketika
matahari menarik cahanya, ia pun segera bersiap untuk pulang ke kosannya yang
tak jauh dari tempat ia bekerja. Di sanalah semua cerita terukir, di gubuk yang
berukuran 3x4 tak jauh beda dengan suasana rumah di kampung. Seperti biasa, sesampai
di kos tak lupa memandang foto emak yang sengaja dipasang didinding. Itulah
cara yang dilakukannya agar senantiasa ingat dengan mak.
“Emak
adalah segala-galanya. Entah kenapa akhir-akhir ini sosok seorang mak selalu
teringat. Semoga aja dia tidak kenapa-kenapa. Tiap kali menadahkan tangan hanya
meminta emak senantiasa sehat. Kekhwatirannya seringkali membuatnya linglung
tiap kali bekerja.
Kembali
ke pangkuan dan menangis di pelukannya. Agar diri yang sudah kering kerontang
oleh butiran debu-debu dosa dapat segar kembali. Begitulah pintaku akhir-akhir
ini. Di saat rindu, semua nikmat untuk dipandang. Tak ayal, terkadang sosok emak
masih terbayang-bayang di sela-sela kesibukan. Nasehat yang pernah terlontar
akan kebaikan tak lekang oleh zaman, dan itu selalu teringat walau rintangan
datang silih berganti bahkan tak kunjung berakhir dan berputar terus-menerus di
tengah pusaran ombak dengan gelombang maha dahsyat.
Memang
terkadang pesan emak akhir-akhir ini tanpa unsur kesengajaan kerap dilanggar.
Tapi masih tetap menyertai tiap kali kaki ini melangkah. Di luar sana begitu
banyak warna-warni kehidupan. Sehingga kelupaan menjadi tidak sadar. Era
moderen, begitulah mereka menyebutnya. Istilah yang mereka gunakan sangat sulit
untuk dipahami. Dunia begitu cepat berubah. Bahkan, mengalahkan kapasitas sifat
alamiah manusia.
Entah
kenapa kata-kata itu keluar dari fikirannya . Mungkin itu hanyalah halusinasi
buah dari kegelisahan yang tak kunjung pergi. Karena emak belum kunjung
ditemui.
Masih teringat
senyum itu ketika mengiringi langkah kepergianku. Isak tangis tak bisa
dibendung, akupun menangis di pundaknya tanda perpisahan. Jiwaku begitu
semangat untuk meninggalkan desa. Dengan harapan untuk mewujudkan mimpi.
Begitulah tekadku. Lambaian tangan pun kian menghilang, desa semakin terlihat
kecil dan semakin kabur. Puncak gunung masih terlihat yang kebetulan berada di
belakang desa. Begitu banyak kenangan terukir disana, fikirku.
Tonil
semakin merindukan kampung tempat ia masih kecil.
Rekaman
masa lalu masih menyisakan banyak cerita. Apalagi disaat dalam kondisi yang
penuh chaos. Dimana tak ada lagi tempat untuk mengutarakannya, disitulah memori
itu diputar kembali agar pesan-pesan itu masih tetap terjaga. Ketika segalanya
menjadi absur, siapapun akan merindukan kedamaian. Mungkin kondisi inilah
sedang menimpa diriku. Hidup ini begitu absur untuk dijalani. Segalanya menjadi
tiada bermakna, kata-kata “omongkosong” mengiringi tiap tindakan.
Seakan-akan
kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Bahkan tak lagi mudah percaya
terhadap orang yang berada di sekitarnya. Rasa curiga semakin menjadi-jadi, tak
pelak prasangka buruk sering mengelabuiku. Juga menjadi faktor kenapa rasa
rindu yang ada dalam hatinya semakin tak terbendungi. Di tengah abnormalitas,
kita membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk bercerita tentang kegelisahan
yang menimpa.
Kehidupan
semakin tidak normal. Buku-buku tak lagi memberi pencerahan. Dia hanyalah
kertas kosong yang dituliskan dengan tinta. Dia tak pernah peduli apa yang kita
alami. Dia hanyalah media untuk sampai pada sebuah tujuan. Begitulah fikirku,
ketika semua membosankan. Pendidikan hanya menciptakan kebodohan. Kampus hanya
menjadi ajang perkumpulan massa layaknya mall.
Sikap
saling curiga menghantui mereka yang haus akan kedudukan dan saling bertikai
antar satu sama lain. Debat di mana-mana, seminar dijalankan, untuk mencerahkan
anak bangsa yang tengah mengalami kebobrokan, tapi kenapa malah kian bodoh? Partai
dengan lantang bersuara dengan slogan yang menggiurkan. Tak jarang bendera
mereka dikibarkan tengah terjadinya bencana untuk mendapatkan simpati dari
rakyat. Dengan dalih akultruisme, menolong tanpa pamrih.
Mak! Lagi-lagi
omongkosong menjadi kata terakhir untuk diberikan kepada mereka yang hanya bisa
mengumbar janji palsu demi singgasana surga. Sungguh kasihan! nasib bangsa ini
kian menuju ambang absurditas.
Andai
saja emak ada di sini, begitu banyak cerita yang ingin kuutarakan kepadanya. Mulai
awal kepergianku sampai sekarang ini. Cerita tentang bagaimana kehidupan di
kota. Jauh dari apa yang pernah dibayangkan. Tapi sayang! Emak belum
mendengarkannya.
Itulah
kegelisahan yang dialaminya akhir-akhir ini. Ia pun membenarkan apa yang pernah
ia baca dalam salah satu buku, ternyata awal yang indah belum tentu berjalan
dengan indah.
Ya, mungkin itulah faktanya.
Walaupun
mak tidak bisa mendengarkannya, ia tetap melanjutkan kegelisahannya.
Jadi
wajar jika sikap pesimistik tak kunjung pergi dalam diri mereka yang mencoba
menarik diri dari parta-partai politik. Trust sudah dipudarkan oleh logam-logam
yang berharga. Dikikis oleh kemewahan yang dijanjikan. Setiap celah kebaikan
ditutupi oleh kegelapan duniawi demi memenuhi kebutuhan fisik agar terlihat
berasal dari kaum bangsawan.
Bahkan
tak jarang raja kecil daerah hadir dengan tampilan necis agar terlihat wow?? Kenyataannya
masih memperjuangkan sesuap nasi. Iman
sudah terjualbelikan demi keuntungan yang bersifat temporal. Sungguh sebuah
keniscayaan. Lupa, jika mereka dijadikan layaknya barang dagangan.
Begitulah
mak, kehidupan politik sekarang, hidup
dalam penuh kepalsuan. Biar kehidupan kita pas-pasan yang penting tidak
mengemis kepada rakyat. Tonil kian pinta bermain kata-kata. Kebetulan ia
mengambil jurusan ilmu politik.
Agar sepulangnya
dapat membantu pak lurah dalam membenahi kampung halamannya. Karena sampai saat
ini listrik tak kunjung masuk, bahkan tiang listrik yang diterima oleh Pak
Lurah dulu malah kian lapuk karena dibiarkan begitu saja. Tapi bukan
cita-citanya, karena dia hanya ingin membahagiakan emak. Tapi, tidak ada
salahnya juga, karena itukan demi kebaikan seperti pesan emak dulu.
Emak-mak!! Pesanmu selalu mensugestikan diriku.
Tak
terasa sudah lima tahun ia berada di bangku kuliah. Kegelisahan itu kian
mengganggu. Hingga membuat diriku terpaku pada suatu kondisi dimana sendirian
adalah yang terbaik untuk dapat kembali pada apa yang sebelumnya terjadi. Heningnya
kehidupan sudah makanan sehari-hari. Tapi, di tengah keheningan bukan berarti
berdiam diri dan menyalahkan apa yang dilihat.
Sebaliknya,
mencoba mencari sesuatu yang perlu dicari. Agar secercah inspirasi datang agar
bisa memberikan sumbangsih terhadap persoalan yang menimpa negeri ini. Namun,
di tengah itu juga rasa jenuh sering menerpa. Disaat yang sama kerinduanpun
ikut menghampiri. Berada pada situasi seperti ini sering mulut ini berucap,
betapa senang mereka berada di tengah orang-orang yang mereka cintai. Kita
hanya perlu memetik hikmah dengan jalan yang sudah kita lewati agar semua
perasaan menyesal dapat direduksi. Inilah harapan terakhir untuk bisa merangkul
matahari yang berada di depan kita. Sebelum pulang untuk menemui emak.
Dengan
suara keras seperti panggilan mak ketika tengah main bola. Tonil berteriak. Emak..........
aku
merindukanmu.
Membuat
teman-teman kosannya serentak keluar. Sembari berkata:
Dimana
kebakaran???????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar