28 April 2014

Cerpen: Pesan Emak

Oleh: Sopliadi

Ibu, mak, mama, mami, ummi, begitulah dia biasa dipanggil. Nama yang tak asing lagi bagi seorang anak. Petang dengan cahaya kemerah-merahan dihiasi rintik-rintik hujan membuat suasana kampung terlihat sepi. Sayup mata memandang terlihat sekumpulan anak-anak tengah asyik bermain di bawah bukit samping kebun jagung pak Ahmad. Tonil........??? Suara yang begitu keras terdengar dari balik jendela yang kebetulan berhadapan dengan pegunungan yang menjulang.
Semua mata tertuju pada suara tersebut. Tonil pun pulang dengan wajah lesu karena harus meninggalkan permainan. Sesampai di rumah terlihat ibu sedang memasak ikan hasil tangkapannya kemarin. Selain bermain bola, ia juga hobi memancing selesai pulang sekolah. Tanpa disuruh ia langsung membersihkan sekujur tubuh bekas jerami hasil panen penduduk. Ibunya terlihat senang karena ia sudah mulai mengerti apa yang semestinya dilakukan.
Jam pun menunjukkan pukul enam, hari kian mulai gelap. Terdengar kumandang azan magrib di mesjid sebelah. Namun, Tonil dan ibunya hanya melaksanakan shalat di rumah, karena letak mesjid cukup jauh dari kediaman mereka. Untuk ukuran di kampung, kehidupan mereka cukup sederhana.
Di sela-sela menikmati makanan, ibunya kembali memanggil. Tapi kali ini suara agak pelan. Nil...!! Kamu adalah satu-satunya yang ibu miliki. Teman di kala duka, rumah ini cukup sepi jika tiada kamu. Apalagi setelah kepergian bapakmu. Suasana begitu hening, Tonil yang tadinya tengah menyantap kepala ikan tiba-tiba jeda sejenak. Dengan langkah pelan ia menghampiri ibunya. Bu? Aku akan menjaga ibu setiap saat. Akan selalu menjadi teman buat ibu. Mereka pun saling mendekap dengan pelukan penuh kasih sayang.
Dengan nada lembut, sambil mengusap kepala Tonil dengan rambut yang sudah mulai agak kasar. Pesan ibu hanya satu, andaikata kamu pergi, kemana pun itu. “jangan lupa berbuat baik, entah itu manusia atau dengan siapalah termasuk dengan binatang sekalipun, karena Tuhan tidak pernah membeda-bedakan”.
Itulah sepenggal kalimat yang disampaikan ibunya ketika sebelum menginjak negeri orang.
Karena sekarang ia sudah cukup dewasa. Demi cita-cita ia harus meninggalkan ibunya yang sudah tua renta. Pertemuan dengan ibunya sudah cukup lama. Untuk mengobati rasa rindu tak jarang ia mengirim surat lewat pos terdekat. Maklumlah, sejak kepergianku hingga sekarang tak kunjung mendapatkan signal, karena jauh dari pusat perkotaan. Untuk listrik saja Pak Lurah baru menerima beberapa tiang listrik, itu pun berita terakhir yang aku dengar enam bulan yang lalu.
Hidup di perantauan cukup memberi ia banyak pengalaman. Manis-pahitnya hidup sudah dirasakan. Hanya saja sedikit berbeda, di kampung tiap ada waktu luang ia gunakan untuk memancing, karena hobi juga hasilnya dapat diberikan kepada emak untuk digoreng. Di kota untuk mancing saja mesti dibayar, oleh sebab itu ia harus melupakan hobinya. Di tengah ingar-bingarnya kehidupan kota tak membuat ia lupa akan emak. Tiap kali makan enak pemberian teman selalu ingat dengan emak.
“Suaramu masih terngiang di benakku. Suara yang parau. Suara yang memanggil keras waktu aku main bola. Suramu yang bernada pelan membuat aku harus berhenti melanjutkan makan kepala ikan”. Mebuatnya rindu akan sosok emak.
Di kejauhan kerap hatinya tergugah untuk pulang lebih cepat. Agar segera ketemu dengan emak. Pulang untuk kembali. Kerinduan itu kian membuatnya menetes air mata. Dia tahu hanya aku yang menjadi teman di kala emak kesepian. Bahkan tak jarang tidak mengikuti pengajian karena harus menemaninya.
***
Tonil pun kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Kembali untuk menggapai tekadnya yang pernah diungkapkan dengan emak dulu. Sekarang ia sudah duduk di semester V di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jogja. Ia cukup beda dengan teman lainnya, sehabis kuliah ia tak membuang-buang waktu demi mendapat tambahan biaya kuliah. Selain tak mau menambah beban orang tua, juga supaya belajar mandiri.
Ketika matahari menarik cahanya, ia pun segera bersiap untuk pulang ke kosannya yang tak jauh dari tempat ia bekerja. Di sanalah semua cerita terukir, di gubuk yang berukuran 3x4 tak jauh beda dengan suasana rumah di kampung. Seperti biasa, sesampai di kos tak lupa memandang foto emak yang sengaja dipasang didinding. Itulah cara yang dilakukannya agar senantiasa ingat dengan mak.
“Emak adalah segala-galanya. Entah kenapa akhir-akhir ini sosok seorang mak selalu teringat. Semoga aja dia tidak kenapa-kenapa. Tiap kali menadahkan tangan hanya meminta emak senantiasa sehat. Kekhwatirannya seringkali membuatnya linglung tiap kali bekerja.
Kembali ke pangkuan dan menangis di pelukannya. Agar diri yang sudah kering kerontang oleh butiran debu-debu dosa dapat segar kembali. Begitulah pintaku akhir-akhir ini. Di saat rindu, semua nikmat untuk dipandang. Tak ayal, terkadang sosok emak masih terbayang-bayang di sela-sela kesibukan. Nasehat yang pernah terlontar akan kebaikan tak lekang oleh zaman, dan itu selalu teringat walau rintangan datang silih berganti bahkan tak kunjung berakhir dan berputar terus-menerus di tengah pusaran ombak dengan gelombang maha dahsyat.
Memang terkadang pesan emak akhir-akhir ini tanpa unsur kesengajaan kerap dilanggar. Tapi masih tetap menyertai tiap kali kaki ini melangkah. Di luar sana begitu banyak warna-warni kehidupan. Sehingga kelupaan menjadi tidak sadar. Era moderen, begitulah mereka menyebutnya. Istilah yang mereka gunakan sangat sulit untuk dipahami. Dunia begitu cepat berubah. Bahkan, mengalahkan kapasitas sifat alamiah manusia.
Entah kenapa kata-kata itu keluar dari fikirannya . Mungkin itu hanyalah halusinasi buah dari kegelisahan yang tak kunjung pergi. Karena emak belum kunjung ditemui.
Masih teringat senyum itu ketika mengiringi langkah kepergianku. Isak tangis tak bisa dibendung, akupun menangis di pundaknya tanda perpisahan. Jiwaku begitu semangat untuk meninggalkan desa. Dengan harapan untuk mewujudkan mimpi. Begitulah tekadku. Lambaian tangan pun kian menghilang, desa semakin terlihat kecil dan semakin kabur. Puncak gunung masih terlihat yang kebetulan berada di belakang desa. Begitu banyak kenangan terukir disana, fikirku.
Tonil semakin merindukan kampung tempat ia masih kecil.
Rekaman masa lalu masih menyisakan banyak cerita. Apalagi disaat dalam kondisi yang penuh chaos. Dimana tak ada lagi tempat untuk mengutarakannya, disitulah memori itu diputar kembali agar pesan-pesan itu masih tetap terjaga. Ketika segalanya menjadi absur, siapapun akan merindukan kedamaian. Mungkin kondisi inilah sedang menimpa diriku. Hidup ini begitu absur untuk dijalani. Segalanya menjadi tiada bermakna, kata-kata “omongkosong” mengiringi tiap tindakan.
Seakan-akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Bahkan tak lagi mudah percaya terhadap orang yang berada di sekitarnya. Rasa curiga semakin menjadi-jadi, tak pelak prasangka buruk sering mengelabuiku. Juga menjadi faktor kenapa rasa rindu yang ada dalam hatinya semakin tak terbendungi. Di tengah abnormalitas, kita membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk bercerita tentang kegelisahan yang menimpa.
Kehidupan semakin tidak normal. Buku-buku tak lagi memberi pencerahan. Dia hanyalah kertas kosong yang dituliskan dengan tinta. Dia tak pernah peduli apa yang kita alami. Dia hanyalah media untuk sampai pada sebuah tujuan. Begitulah fikirku, ketika semua membosankan. Pendidikan hanya menciptakan kebodohan. Kampus hanya menjadi ajang perkumpulan massa layaknya mall.
Sikap saling curiga menghantui mereka yang haus akan kedudukan dan saling bertikai antar satu sama lain. Debat di mana-mana, seminar dijalankan, untuk mencerahkan anak bangsa yang tengah mengalami kebobrokan, tapi kenapa malah kian bodoh? Partai dengan lantang bersuara dengan slogan yang menggiurkan. Tak jarang bendera mereka dikibarkan tengah terjadinya bencana untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Dengan dalih akultruisme, menolong tanpa pamrih.
Mak! Lagi-lagi omongkosong menjadi kata terakhir untuk diberikan kepada mereka yang hanya bisa mengumbar janji palsu demi singgasana surga. Sungguh kasihan! nasib bangsa ini kian menuju ambang absurditas.
Andai saja emak ada di sini, begitu banyak cerita yang ingin kuutarakan kepadanya. Mulai awal kepergianku sampai sekarang ini. Cerita tentang bagaimana kehidupan di kota. Jauh dari apa yang pernah dibayangkan. Tapi sayang! Emak belum mendengarkannya.
Itulah kegelisahan yang dialaminya akhir-akhir ini. Ia pun membenarkan apa yang pernah ia baca dalam salah satu buku, ternyata awal yang indah belum tentu berjalan dengan indah.
 Ya, mungkin itulah faktanya.
Walaupun mak tidak bisa mendengarkannya, ia tetap melanjutkan kegelisahannya.
Jadi wajar jika sikap pesimistik tak kunjung pergi dalam diri mereka yang mencoba menarik diri dari parta-partai politik. Trust sudah dipudarkan oleh logam-logam yang berharga. Dikikis oleh kemewahan yang dijanjikan. Setiap celah kebaikan ditutupi oleh kegelapan duniawi demi memenuhi kebutuhan fisik agar terlihat berasal dari kaum bangsawan.
Bahkan tak jarang raja kecil daerah hadir dengan tampilan necis agar terlihat wow?? Kenyataannya masih memperjuangkan sesuap nasi.  Iman sudah terjualbelikan demi keuntungan yang bersifat temporal. Sungguh sebuah keniscayaan. Lupa, jika mereka dijadikan layaknya barang dagangan.
Begitulah mak,  kehidupan politik sekarang, hidup dalam penuh kepalsuan. Biar kehidupan kita pas-pasan yang penting tidak mengemis kepada rakyat. Tonil kian pinta bermain kata-kata. Kebetulan ia mengambil jurusan ilmu politik.
Agar sepulangnya dapat membantu pak lurah dalam membenahi kampung halamannya. Karena sampai saat ini listrik tak kunjung masuk, bahkan tiang listrik yang diterima oleh Pak Lurah dulu malah kian lapuk karena dibiarkan begitu saja. Tapi bukan cita-citanya, karena dia hanya ingin membahagiakan emak. Tapi, tidak ada salahnya juga, karena itukan demi kebaikan seperti pesan emak dulu.
Emak-mak!! Pesanmu selalu mensugestikan diriku.
Tak terasa sudah lima tahun ia berada di bangku kuliah. Kegelisahan itu kian mengganggu. Hingga membuat diriku terpaku pada suatu kondisi dimana sendirian adalah yang terbaik untuk dapat kembali pada apa yang sebelumnya terjadi. Heningnya kehidupan sudah makanan sehari-hari. Tapi, di tengah keheningan bukan berarti berdiam diri dan menyalahkan apa yang dilihat.
Sebaliknya, mencoba mencari sesuatu yang perlu dicari. Agar secercah inspirasi datang agar bisa memberikan sumbangsih terhadap persoalan yang menimpa negeri ini. Namun, di tengah itu juga rasa jenuh sering menerpa. Disaat yang sama kerinduanpun ikut menghampiri. Berada pada situasi seperti ini sering mulut ini berucap, betapa senang mereka berada di tengah orang-orang yang mereka cintai. Kita hanya perlu memetik hikmah dengan jalan yang sudah kita lewati agar semua perasaan menyesal dapat direduksi. Inilah harapan terakhir untuk bisa merangkul matahari yang berada di depan kita. Sebelum pulang untuk menemui emak.
Dengan suara keras seperti panggilan mak ketika tengah main bola. Tonil berteriak. Emak..........
aku merindukanmu.
Membuat teman-teman kosannya serentak keluar. Sembari berkata:

Dimana kebakaran???????

Tidak ada komentar: