11 Januari 2014

Kampus Mati Suri



Lunturnya subkultur aktivitas Mahasiswa, Kampus semakin terlihat lengang. Bak rumah ditinggal oleh penghuninya. Barang kali itulah kata yang tepat untuk dilisankan. Segala kronologis yang menghiasi peristiwa seputar lingkungan APMD sudah jarang ditemui. Semacam diskusi publik, seminar, debat dan lain sebagainya. Baik yang diselenggarakan oleh Akademik atau pun sekretariat internal itu sendiri. Kadang-kadang tanpa disadari luput dari penglihatan. Tidak seperti masa-masa sebelumnya, dimana kreativitas Mahasiswa rentan untuk menampakkan wujudnya disetiap sudut ruang hampa. Di sela obrolan, selalu dihiasi dengan aroma pengetahuan. Terciptanya diskusi kecil, bahkan tidak jarang pihak kemahasiswaan mendapatkan ocehan-ocehan hangat yang diorasikan oleh aktivis-aktivis kampus, buah dari tanggapan mereka. Sebagai acuan reaktansi terhadap program seandainya dianggap merugikan Mahasiswa. Redupnya antusiasme aktor kampus menimbulkan kecemasan yang curam. Di paruh sistematisasi amburadul, kita mendambakan kembali asa itu untuk menampakkan wujud ke permukaan. Mendambakan kembali wajah simpatik yang akan membawa secercah angin segar. Di lubuk hatinya menjelma jiwa reaktif terhadap segala sesuatu yang muncul. Umpama sumber mata air bagi kehidupan. Kritis atas persoalan yang ada untuk menciptakan kehidupan Kampus yang dinamis. Fenomena itu telah sukar ditemukan. Hanya saja sekelumit pengalaman yang terdengar dari teman-teman alumni. Mahasiswa sekarang mulai enggan mengisi waktu senggang dengan banyak membaca. Kampus idealnya dijadikan sebagai wadah untuk menggali pengetahuan, justru terpancing oleh beringasnya keduniawian yang menawarkan ingar-bingar fantastis. Kilaunya ingar duniawi telah berhasil menunggangi mereka yang tidak piawai memaknai kejamnya kehidupan. Agent of change adalah sebutan yang persis bagi Mahasiswa, konon akan menjadi perintis jalan kebenaran. Akan tetapi julukan itu tidak berarti apa-apa manakala semua berdiam dan membiarkan persoalan sekeliling Kampus kian hari tambah pelik. Dan melahirkan normalisasi seakan-akan tanpa noda, lantaran sudah mentradisi. akhirnya menjadi momentum bagi elit Kampus untuk memenuhi ambisi individualitas masing-masing. Pernyataan ini menunjukkan respons Mahasiswa terhadap loyalitas Kampus mulai berkurang. Sebutan “Mahasiswa” hanya menjadi simbol. Makna apa yang tersembunyi di baliknya bukan lagi pencarian. Justru turut merayakan kematian makna penyembunyian itu sendiri. Apalagi warna-warni kekinian kian menampakkan eksistensinya di paruh budaya yang didatangkan oleh modernitas. Dunia berwajah ganda. Konon telah menjadi konsumsi sehari-hari. Akhirnya antusiasme berorganisasi lenyap ditelan zaman. Lantaran keduniawian telah menjadi darah daging yang sulit dihilangkan. Gaya hidup seperti ini akan tambah parah manakala sistematisasi kemahasiswaan dalam keadaan stagnan. Kekurangan Fasilitas yang memadai semakin mempersempit ruang kreativitas. Ditambah keefektifan lembaga dalam menggerak program Akademis terkesan inkonsisten. Dosen yang kerap absen tidak lagi menjadi keprihatinan bersama demi kelangsungan kelas yang kondusif, lebih-lebih menjadi tindakan yang spontanitas. Mendirikan pekarangan berlimpit kian menandakan kurangnya intensitas lembaga dalam menjalankan roda Akademik. Demi Keamanan melandasi argumen tak terbantahkan untuk menutupi kelalaian dalam pengambilan kebijakan. Mewujudkan perasaan aman sudah semestinya dilakukan. Tapi apakah dengan perkarangan berlapis keamanan dapat terlaksana? Sementara belakangan ini kampus menjadi momok yang menakutkan. Apakah kecemasan itu yang diharapkan? Toh, sebelumnya justru aman-aman saja. Keamanan adalah keseharusan yang tak terelakkan, untuk menjaga keselamatan civitas Kampus manapun tanpa terkecuali. Termasuk kompleks APMD itu sendiri. Sungguh pun demikian membangun karakter Mahasiswa jauh lebih unggul dibandingkan pembangunan pekarangan berlapis-lapis. Kalau dikatakan, bila pendanaan itu dimanfaatkan untuk keperluan Mahasiswa, terutama di segi pengetahuan, barangkali lebih bermanfaat. Benar apa yang dikatakan oleh Kant ‘’alam menghendaki agar manusia berkembang melampaui animalitasnya dan, melalui akalnya, menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan”. Alam menganugerahi manusia bukan saja insting, tetapi juga akal budi dan kehendak bebas. Alam ingin agar manusia berkembang dalam akalnya, bukan dalam animalitasnya saja. Dengan artian, jika akal sudah didominasi oleh hawa nafsu, yang timbul bukan lagi kebajikan namun kebalikannya. Dalam menggerakkan program akademis, pengoptimalan akan sumber daya yang ada sangat diperlukan. Lebih-lebih ketika mengambil sebuah kebijakan. Dibutuhkan dialektis antar kemahasiswaan dan Mahasiswa, supaya tercapainya kesepakatan bersama. Dialektika menjadi pemicu terjalinnya komunikasi antara dosen dan Mahasiswa. Juga menjadi cekatan bagi Mahasiswa secara komprehensif, terutama dalam mengambil keputusan. Sikap apatisme pun tumbuh kembang dalam diri Mahasiswa, karena sudah dipengaruhi oleh sistem yang ada. Parahnya lagi, keterlibatannya saat proses transfer ilmu hanya sebatas pengisian daftar kehadiran untuk memenuhi hasrat angka kuantitatif, secara substansional miskin makna. Apalagi ketika proses produksi pengetahuan cenderung unilinear dengan satu arah. Apa yang disampaikan oleh seorang dosen sudah menjadi kebenaran mutlak, ahirnya Mahasiswa hanya menjadi bejana kosong dalam bahasanya Paulo Freire. Fenomena ini juga disinggung dalam bukunya Yashraf Amir Piliang. Di mana sistem pendidikan tinggi kontemporer lebih condong ke arah yang disebut dengan “pendidikan tinggi monologis,”yaitu proses pengetahuan satu arah, antara dosen yang dianggap pakar kepada mahasiswa yang tidak pakar. Di dalamnya tidak terjalinnya interaksi komunikatif timbal balik (dialogism). Tidak terbentuknya produksi pengetahuan, atau pengembangan pengetahuan, hanya ada pengalihan pengetahuan atau reproduksi pengetahuan. Akhirnya tidak lagi tercipta produksi wacana secara argumentatif, kritis, dan analitis.

Kampung, Nasibmu yang Malang

Oleh : Sopliadi

Di sana hiduplah sebuah komunitas kecil. Punya masyarakat, pemimpin, nilai, dan tradisi serta perangkat-perangkat lainnya yang beranjak, mengatur, mengurus, dan memerintah sendiri. Pola pengorganisasiannya khas, ikut pada irama dan logika ekosentris. Mereka pun tumbuh dalam mekanisme tradisional, kekerabatan, dan komunalisme. Bahkan rentetan jumlah mereka dapat diasumsi dengan jari tangan. Mayoritas penduduk bekerja di bidang petanian. Tak ayal, bercocok tanam satu-satunya mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Demikian juga tempat tinggal yang mereka huni. Arsitektur bangunan rumah nampak amat sederhana. Tak jarang dinding terbuat dari kayu rentan lapuk , begitu pun dengan atap rumah, sungguh mudah dirembes oleh rintik-rintik hujan. Di sekitarnya dikelilingi oleh berbagai jenis pepohonan. Dan dipenuhi oleh semak belukar yang melingkari setiap sudut pedesaan. Sayup mata memandang terlihat panorama kawasan sawah terbentang luas, diwarnai oleh tetumbuhan padi yang sudah mulai menghijau.
Itulah kampung. Sebuah nama yang sungguh usang. Hidup di kawasan terpencil dan tata letaknya jauh dari titik keramaian. Ketika petang hendak berganti malam tiada lagi terlihat kilapan listrik, hanya ada lampu semprong yang menerangi. Juga tak terdengar bunyi gaung hiruk-pikuk manusia. Semua sunyi-senyap ditelan oleh gelap-gulita. Malam menjadi momentum bagi mereka untuk bersama-sama demi melepas lelah. Karena keesokan hari mesti harus bekerja.
Ketika fajar menyingsing, terdengar alunan burung yang merdu di sekitar rumah. Pertanda malam telah berganti pagi. Panggilan kerja pun sudah tiba. Segala kelengkapan kerja mesti disiapkan sebelum matahari menampakkan sinarnya. Di persimpangan jalan rentetan petani mulai kelihatan. Dengan pakaian rompang dan pacul di bahunya telah menjadi ciri khas. Langkah demi langkah menelusuri pematang sawah yang hendak digarap. Berharap kelak akan menuai hasil jerih payah.
Bersusah payah sudah biasa bagi mereka di pedalaman. Namun keinginan tiada pernah reda. Untuk memperoleh hasil yang sebanding, banting tulang sudah semestinya dilakukan. “Tanah Air yang kaya akan alamnya,” duduk senyum-simpul bukanlah alasan untuk berpangku tangan. Itu hanyalah semboyan usang, warisan dari nenek moyang dahulu yang dilenyapkan oleh modernitas. Hidup di kampung bak “katak dalam tempurung,” saat keluar terperengah dengan keadaan luar yang megah.
Begitu juga dengan sarana dan prasarana yang ada. Secara totalitas belum terpenuhi, dan kurangnya kesungguhan aparat dalam memfasilitasi. Minimnya pusat perhatian pemerintah dalam membangun fasilitas sosial seperti sekolah, klinik, tempat ibadah, jalan, dan alat penerangan umum adalah bukti nyata dari kinerja aparatur yang pilih-kasih dalam menegakkan kesejahteraan sosial. Cenderung lebih tunduk ke pusat perkotaan ditimbang desa, terutama dari segi pembangunan infastruktur.
 Implikasinya dirasakan oleh masyarakat desa itu sendiri, juga bagian warga Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri dari ragam desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bangsa multikultur istilah bapaknya pluralisme alias Gusdur. Yang dituangkan ke dalam bingkai ideologi Pancasila. Merefleksikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Tapi cita-cita itu tak berfungsi dengan baik. Masyarakat di pedesaan kian bodoh, ortodoks, dan dianggap ketinggalan zaman. Karena sebagian besar pemuda di desa tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi, lantaran keterbatasan yang berkepanjangan. Pengaruh dari sistem pendidikan yang pilih-kasih.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat lebih bersikap apatis dalam melihat pelbagai persoalan yang terjadi. Lebih-lebih tehadap masalah yang muncul, rendahnya pendidikan cenderung mengarah ke tindakan kekerasan dalam peneyelesaiannya. Tak jarang berakhir dengan pertumpahan darah yang berakibat fatal. Masalah semacam ini sudah kian menjadi hal yang tabu dimana tengah mengalami keterjepitan ekonomi membuat mereka jadi predator dan saling membenarkan tindakan masing-masing. Fenomena meperkuat alasan karena adanya orang ketiga yang sengaja mengambil kesempatan di tengah konflik yang terjadi demi keuntungan semata. Masyarakat sengaja diadu dombakan layaknya binatang buas yang saling memangsa satu sama lain.
Apabila ditelisik dari sejarahnnya, Indonesia konon terbentuk dari yang namanya desa. Zaman telah menjadikan kawasan hulu layaknya anak tiri yang numpang tinggal di Negeri sendiri. Jika kota dan desa adalah sama-sama warga Indonesia secara teritorial, pertannyaannya, mengapa terdapat distingsi antara desa-kota dari segi infastruktur? Kota diprioritaskan dan desa menjadi Negeri yang terabaikan. Jika dilihat dengan kacamata ekonomi, potensi pangan terbesar adalah hasil distribusi dari desa. Namun 75% angka kemiskinan di Indonesia terdapat di desa. Sungguh ironis memang, tapi itulah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh penduduk kampung.
Namun itulah desa “kampung jauh di sana” yang teralienasi oleh era modernisasi disegala aspek multidimensional. Pengetahuan yang dangkal mendorong penduduk desa menjadi bodoh. Hanya bisa menerima kenyataan hidup seperti kapas yang terombang-ambing oleh angin, kemana arus angin kesitulah dia akan berlabuh. Berada di buntut ideologi kekuasaan, ingin menantang arus tapi tak punya power untuk melawan. Demokrasi tidak memberikan ruang partisipatif bagi kemajuan desa, ironisnya lagi, demokrasi malah menjadikan manusia individualistik dan melenyapkan kebersamaan NKRI.
Demokrasi juga telah melahirkan sikap apatistik terhadap sesama manusia, terutama kultur masyarakat urban. Kemajuan teknologi kian membuat mereka adu speed dalam menyongsong masa depan yang dianggap kemajuan. Namun kelupaan telah melanggengkan kebodohan yang beranak-pinak dari generasi ke generasi oleh sistem yang berunsur kesengajaan agar mereka tetap diperbudak untuk selamanya.
Sama halnya pada masa lalu kolonial di negeri ini yang pernah menancapkan tongkatnya. Dimana, warga akar rumput sengaja tidak diberikan pendidikan layak dengan metode meningkatkan biaya pendidikan dengan setinggi-tingginya sejauh tidak terjangkau oleh masyarakat. Ada semacam ketakutan manakala masyarakat lebih pintar tentu menjadi ancaman terhadap eksistensi mereka. Sedikit berbeda pada era sekarang, dimana tidak lagi menggunakan metode dan secara lantang dapat terlihat, tetapi digunakan dengan cara yang lebih halus sehingga luput dari penglihatan.
Inilah sisi gelap bangsa ini, demokrasi diagungkan seakan-akan dijadikan sebuah ideologi suci dan dianggap dapat memberikan hak terhadap masing-masing orang sesuai dengan asas tertentu. Tapi masyarakat tidak pernah lupa akan luka yang mereka alami, demokrasi tidak mampu memberikan kesempatan pada masyarakat desa untuk memilih mana yang layak untuk keberlangsungan kehidupan desa.
Jika dilihat dari sejarah  penduduk yang tinggal dipedalaman, mereka cukup pintar dalam menjaga kelestarian walau memang masih tradisional tapi itu cukup memberikan kebutuhan yang mencukupi. Seiring perjalanan mereka dihantui oleh kemajuan sehingga ada sesuatu terenggut dari kebiasaan sehari-hari yang sudah berjalan dari puluhan tahun.


03 Januari 2014

Cerpen: Perempuan Bertubuh Sintal


Oleh Sopliadi
S
iapa yang tidak kenal sebait syair itu.
terlena”
            “terlena”
                        “aku terlena”
Siang sehabis perkuliahan. Cahaya matahari kelembapan menghembuskan angin hingga menembus liang renik pada kulit. Cukup melepaskan  penat bagi seorang Lie. “Tumpukan tugas kian melilit otak , tak ada lagi waktu bersantai”, gumam ia dalam hati.
Seperti biasanya! Di bawah pepohonan tak begitu rindang dihiasi tonggokan dedaunan yang sudah menguning, sejenak ia merebahkan tubuhnya sembari merenungi fenomena atmosfer, memandang, menerobos dahan-dahan, pada debu-debu bertaburan.
Dari kejauhan terlihat sepasang burung tengah asyik menari-nari di atas ranting pepohonan.
Waktu burung-burung mengambil tempat di antara dahan-dahan pohon, dan keheningan syahdu mulai turun ke bumi, terdengar gemersik langkah kaki menginjaki rerumputan.
Di sela-sela tebaran debu, Lie menaruh perhatian dan melihat sosok perempuan bertubuh sintal yang aduhai. Berjalan di bawah sebatang pohon sehingga ia dapat melihat sesosok perempuan tanpa ia sendiri terlihat.

Mengenakan busana putih seputih warna putih-seputih kulitnya. Semilir angin membuat rambut sebatas bahu itu tergerai sehingga mata ini tak lagi mampu berkedip. Lie diam tanpa berucap apa-apa. Pikirannya kian melayang-layang menjelajahi samudera yang tak bertepian. Seketika itu juga wajah perempuan terlihat samar oleh pusaran debu. Selang beberapa menit, angin pun menurunkan temponya, debu-debu berjatuhan, sosoknya pun hilang tak meninggalkan bekas apapun.

Lie sungguh terkesima dengan sosok yang ia lihat.

Bayangan tubuhnya masih membekas di benak Lie. Aroma parfumnya masih menyelinap dalam rongga hidung. “Akankah peristiwa itu terulang untuk ke dua kalinya?”. Ia pun menaruh secuil harapan. Dalam hati diselimuti perasaan gelisah bercampur penyesalan karena waktu tak memberi kesempatan untuk bertatap muka.

“Hidup memang penuh banyak pertanyaan”

“Ada apa dengan ini semua?” Bisik Lie dalam hati.

“Bukankah selama ini aku selalu disibukkan oleh pertanyaan yang seharusnya tak perlu dijawab”

“Benar, tapi aku takkan pernah tahu sesuatu jika jawabannya tak dicari, apalagi tentang siapanya dia. Itu sangat menggangguku”. Bisik ia kembali.

Hembusan angin kian reda. Hatinya tak karuan, dengan wajah penuh kekosongan sembari menatap jauh ke langit dan berkata “hidup ini memang indah jika dinikmati, tapi tak akan bermakna apa-apa jika masih banyak menyisakan pertanyaan yang tak kunjung memberikan jawaban”.

Berkutat dalam budaya pencarian sungguh menyenangkan, tapi akan sakit manakala tak menemukan jawaban apa-apa. Hmm, Lie tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Itulah seorang Lie. Hidupnya dipenuhi ribuan pertanyaan. Tak hanya siapa dirinya, nasib masa depan bangsa tak jarang nangkring di benaknya. Hanya bisa menunggu waktu, kapan? Jawaban semua itu ditemukan.

“Berkutat dalam pertanyaan besar seringkali membuat kita lupa peristiwa kecil yang cukup berarti tersisihkan. Dengan rasa percaya diri bercampur kegundahan ia pun segera beranjak agar sejanak dapat dilupakan, dan membiarkan bayangan itu menjadi mimpi-mimpi di kala tidur.

***
Keesokan harinya, seperti hal tak terduga yang dialaminya, doa Lie dikabulkan, dimana perempuan itu muncul dengan pakaian tempo hari. “Ini adalah mimpi kemarin” Lie pun menghentakkan kaki karena perempuan itu muncul di tanah yang sama. “Kendati masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, setidaknya ini dapat memberikan salah satu jawaban dari sekian banyak pertanyaan”.

Dalam waktu bersamaan, sejenak Lie tersontak dan berkata “ ternyata dialah sosok perempuan yang selama ini diidam-idamkan”. Dia seperti seorang primadona di arena kehidupan. Kala ia berjalan dengan sandal keemasan tidak hanya membuat seluruh mata melotot, pepohonan pun ikut tunduk. Bahkan, burung-burung yang tengah asyik menari sejenak terdiam melihat gerakannya penuh dengan daya pikat. Semua itu membuat Lie merasa hidup.

Perempuan yang ia idamkan seperti perempuan-perempuan lainnya yang bisa membuat kalian menyerahkan jantung hati kalian kepada mereka. Dia memiliki kecantikan yang berbeda seakan-akan diciptakan oleh dewa. Dia adalah perpaduan dari segala kecantikan.

Namun, sosok perempuan itu tetap menjadi bayangan dalam hidupnya, karena Lie lebih memilih untuk memendamkan perasaan itu. Selain ia cukup pemalu, dan tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya, juga karena tahu, mencintai hanya akan menambah luka lama yang belum lekas sembuh. Namun, cukup membuat Lie terbuai olehnya. Terlena oleh keindahan cinta.

            “sungguh terharu dan terbuai”

                        “aku terlena”

Begitulah Lie, menaruh cintanya dengan perempuan yang tak kunjung dimiliki. Kadang ia masih berkhayal di tengah kontemplasi yang luas. Lie, memang tidak kunjung berterus terang, padahal perempuan itu sangat ia cintai.

Kegundahan yang dialaminya sengaja tak diungkapkan karena kata-kata terlalu sederhana untuk mengatakan apa yang ia rasakan. Tengah kesendirian hanya ditemani sunyi-senyapnya malam kerap sosok itu nangkring setiap lamunannya. Hanya itu yang ia bisa lakukan.

Tatkala malam, tak jarang Lie merindukan sosok perempuan itu, dan ia hanya bisa kembali ke tempat dimana ia melihat sosok perempuan dari kejauhan. Di tanah tempat ia bermimpi kemarin. Sembari mebayangi kembali perempuan itu, kendati dia entah dimana, mungkin telah pergi ke tempat yang jauh di tanah yang terlupakan. Karena Lie tak cukup tahu.

 “Semoga dia tidak kenapa-kenapa” pinta Lie dengan penuh harapan sambil menatap ke atas langit yang dipenuhi oleh kelap-kelip bintang. “Bintang bintang, kau hanyalah bintang! Dan takkan pernah tahu perasaan seseorang. Tapi aku cukup tahu, kau hanya bisa memberi kesempatan kepada diriku untuk menatapmu dari kejauhan, bukan untuk memilikinya”.

Lie, nampaknya sudah tidak bisa menyampaikan apa-apa lagi. Tidak bahasa dia juga tidak dengan bahasa cinta. Untuk beberapa lama ia masih berharap sosok perempuan itu muncul dari balik kegelapan, dengan pakaian putih waktu tebaran debu menghalanginya, dengan rambutnya yang tergerai ditiup angin. Dan sandal keemasan yang sering dia kenakan.

Begitulah malam-malam seorang bernama Lie berlalu. Perempuan bertubuh sintal itu tetap tinggal dalam khayalannya. Hari-hari terus berjalan, namun wajah itu menetap jauh ke dalam lubuk hatinya sepanjang siang dan malam.

Lie menatap malam penuh tatapan kosong, dan dengan refleksi mendalam ia menemukan kenyataan dari sesuatu yang begitu luas dan tidak berbatas. Sesuatu yang tidak bisa dituntut oleh kekuatan apapun, juga tidak bisa dibeli dengan harta kekayaan.

Entah kenapa Sosok itu sangat menghantui hidupnya. Tapi, sungguh pun demikian, dia tidak mau tenggelam oleh dunia cinta. Karena itu hanya akan membuat hidupnya jadi bumerang. Dan sadar inilah yang mampu meyatukan harapan dan kekuatan, tumbuh melawan rintangan.

Akhirnya, Lie memutuskan untuk meninggalkan tempat duduknya. Dan membiarkan semuanya pada sang waktu untuk menjawabnya. Lie pun melanjutkan kembali tugas yang melilit di otaknya.

01 Januari 2014

Tahun Baru, Asa Baru

Oleh Sopliadi

Pada dasarnya adalah waktu, sejak kecil sampai beranjak dewasa, kita telah mengikuti irama sang waktu. Kemajuan waktu telah mengubah segalanya. Sekali terlewati tak akan pernah kembali. Waktu ibarat pedang, jika tidak piawai menggunakannya, waktu kita akan ditebas oleh tajamnya pedang hingga menembus ke dalam jantung kehidupan. Waktu terus berputar tanpa ada henti-hentinya. Begitu juga halnya kehidupan, berputar terus-menerus tiada pernah jeda. Begitu banyak peluang yang telah terabaikan selama perjalanan waktu. Sehingga masa lalu yang suram seringkali meneror kenyataan. Luka masa lalu membuat seseorang merasa kesulitan untuk menerjang kenyataan. Sang waktu tak pernah menghiraukan, tetap terus melintas. Kepiluan masa lalu kian tak mau berpisah. Laksamana bisikan terus mendesis. Kepingan masa lalu semakin merongrong untain debu masa depan yang masih melayang-layang.
Tiada disadari tibalah pada saat-saat dimana kita harus meninggalkan deretan kisah yang pernah tertanam selama perjalanan waktu. Detik berganti menit, hari, minggu, bulan, hingga pergantian tahun. Begitulah sang waktu. Namun, masa lalu masih membayangi kenyataan. Rekaman memori tak pernah lekang oleh pergantian zaman. Hingga merembes ke dalam sum-sum otak. Begitu banyak momentum menghiasi tahun-tahun sebelumnya. Dari hal kecil sampai kepada fenomena yang lebih besar. Rangkaian demi rangkaian tersaji dalam ingatan, tidak hanya nyanyian bencana yang menimpa negeri ini, rentetan kisah  kehidupan anak-anak muda tengah sibuk mencari jati diri pun ikut menghiasi. Di tahun baru ini menjadi permulaan untuk mengukir kembali secuil mimpi-mimpi yang tak kunjung terwujud pada tahun sebelumnya. Agar asa baru kembali hadir untuk menerjang kenyataan yang semakin reda.
Pergantian tahun tidak hanya diartikan sebagai ajang perayaan seremonial belaka. Lebih daripada itu, di dalamnya tergores ragam kejadian untuk direfleksikan ulang. Juga menjadi harga tak ternilai sebagai referensi ketika melihat waktu yang akan datang. Tapi sayang! Tak banyak sebagian kita melakukan hal tersebut. Seringkali momen perpisahan tahun digunakan arena pelampiasan hasrat. Lebih banyak meretas moderat daripada menelorkan manfaat. Panorama esek-esekan sudah menjadi keharusan bagi sepasang kekasih. Pergantian tahun seketika menjelma menjadi sebuah panggung bagi kaula muda untuk mewujudkan mimpi-mimpi nakal yang belum terwujud. Manakala rasa “kebelet” sudah di titik sentral, apapun konsekuensinya lantas tak terfikir. Tengah gemerlapnya malam serta kelap-kelip kembang api, berhubungan layaknya suami isteri mendandani malam pergantian tahun.
Awal yang indah belum tentu berjalan dengan indah. Jika tidak ditopang dengan kematangan berfikir, selamanya menjadi panteon kesedihan. Hanya menambah kelamnya luka dan dosa-dosa masa lalu yang sukar disembuhkan. Bahkan akan lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Memasuki tahun baru tak hanya berhenti pada onggokan sepenggal niat, bukan sebatas bermimipi datangnya perubahan, tapi dibutuhkan sekepal perjuangan untuk mewujudkan harapan. Enigma malam pergantian tahun begitu banyak mengundang pertanyaan. Alih-alih sebagai bahan reflektif, malah jatuh ke dalam lembah fantastis. Tak pelak, kehadirannya pun disambut dengan perasaan suka-cita oleh setiap manusia diseluruh penjuru. Caranya pun beragam, ada yang mendatangkan band-band lokal, mendatangi tempat-tempat wisata, ada juga sebagian sengaja mencari tempat yang jauh dari keramaian, namun sarat akan tindakan abnormal.
Itulah sekelumit pemandangan menarik di malam pergantian tahun. Kita dituntut untuk membuka lembaran baru, namun lupa mengoreksi lembaran lama yang sudah kering-kersang. Seseorang dikatakan bijak apabila mau belajar dari kesalahan masa lampau. Orang hebat dimana pun pasti mengalami rasanya kegagalan, karena pengalaman begitu banyak menyimpan pelajaran untuk kita petik. Pergantian tahun tidak hanya sebatas transformasi angka dari 2013 ke 2014, secara bersamaan umur manusia pun kian bertambah, dari anak-anak menuju remaja, dari dewasa berubah menjadi tua begitu juga seterusnya. Dunia semakin bertambah tua, apakah kita sebagai makhluk berfikir hanya diam diri dan membiarkan peluang ditebas oleh sang waktu. Andaikata tidak digunanakan dengan baik maka sang waktu akan melewatinya.
Sudah menjadi harapan kita semua, awal tahun 2014 dapat memberi pencerahan terhadap bangsa ini. Kembali merangkul asa yang sudah hilang. Agar dapat menatap masa depan yang lebih bermakna. Bencana yang melanda negeri ini dengan rentetan kasus demi kasus berharap tak lagi kembali terjadi. Para koruptor yang berada di balik bui agar didatangkan hidayah lewat pentelasi jeruji, supaya kelak ketika keluar tidak melakukan tindakan yang merugikan rakyat. Sembari itu, tahun 2014 menjadi refleksi bagi kita semua untuk menggunakan kesempatan yang telah banyak disia-siakan pada tahun sebelumnya. Kembali menata apa yang belum selesai, menciptakan pola yang belum terpola. Karena kesempatan hanya datang satu kali, dan pedang selalu siaga untuk menebas peluang yang ada jika tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.