Lunturnya subkultur aktivitas Mahasiswa, Kampus semakin terlihat lengang. Bak rumah ditinggal oleh penghuninya. Barang kali itulah kata yang tepat untuk dilisankan. Segala kronologis yang menghiasi peristiwa seputar lingkungan APMD sudah jarang ditemui. Semacam diskusi publik, seminar, debat dan lain sebagainya. Baik yang diselenggarakan oleh Akademik atau pun sekretariat internal itu sendiri. Kadang-kadang tanpa disadari luput dari penglihatan. Tidak seperti masa-masa sebelumnya, dimana kreativitas Mahasiswa rentan untuk menampakkan wujudnya disetiap sudut ruang hampa. Di sela obrolan, selalu dihiasi dengan aroma pengetahuan. Terciptanya diskusi kecil, bahkan tidak jarang pihak kemahasiswaan mendapatkan ocehan-ocehan hangat yang diorasikan oleh aktivis-aktivis kampus, buah dari tanggapan mereka. Sebagai acuan reaktansi terhadap program seandainya dianggap merugikan Mahasiswa. Redupnya antusiasme aktor kampus menimbulkan kecemasan yang curam. Di paruh sistematisasi amburadul, kita mendambakan kembali asa itu untuk menampakkan wujud ke permukaan. Mendambakan kembali wajah simpatik yang akan membawa secercah angin segar. Di lubuk hatinya menjelma jiwa reaktif terhadap segala sesuatu yang muncul. Umpama sumber mata air bagi kehidupan. Kritis atas persoalan yang ada untuk menciptakan kehidupan Kampus yang dinamis. Fenomena itu telah sukar ditemukan. Hanya saja sekelumit pengalaman yang terdengar dari teman-teman alumni. Mahasiswa sekarang mulai enggan mengisi waktu senggang dengan banyak membaca. Kampus idealnya dijadikan sebagai wadah untuk menggali pengetahuan, justru terpancing oleh beringasnya keduniawian yang menawarkan ingar-bingar fantastis. Kilaunya ingar duniawi telah berhasil menunggangi mereka yang tidak piawai memaknai kejamnya kehidupan. Agent of change adalah sebutan yang persis bagi Mahasiswa, konon akan menjadi perintis jalan kebenaran. Akan tetapi julukan itu tidak berarti apa-apa manakala semua berdiam dan membiarkan persoalan sekeliling Kampus kian hari tambah pelik. Dan melahirkan normalisasi seakan-akan tanpa noda, lantaran sudah mentradisi. akhirnya menjadi momentum bagi elit Kampus untuk memenuhi ambisi individualitas masing-masing. Pernyataan ini menunjukkan respons Mahasiswa terhadap loyalitas Kampus mulai berkurang. Sebutan “Mahasiswa” hanya menjadi simbol. Makna apa yang tersembunyi di baliknya bukan lagi pencarian. Justru turut merayakan kematian makna penyembunyian itu sendiri. Apalagi warna-warni kekinian kian menampakkan eksistensinya di paruh budaya yang didatangkan oleh modernitas. Dunia berwajah ganda. Konon telah menjadi konsumsi sehari-hari. Akhirnya antusiasme berorganisasi lenyap ditelan zaman. Lantaran keduniawian telah menjadi darah daging yang sulit dihilangkan. Gaya hidup seperti ini akan tambah parah manakala sistematisasi kemahasiswaan dalam keadaan stagnan. Kekurangan Fasilitas yang memadai semakin mempersempit ruang kreativitas. Ditambah keefektifan lembaga dalam menggerak program Akademis terkesan inkonsisten. Dosen yang kerap absen tidak lagi menjadi keprihatinan bersama demi kelangsungan kelas yang kondusif, lebih-lebih menjadi tindakan yang spontanitas. Mendirikan pekarangan berlimpit kian menandakan kurangnya intensitas lembaga dalam menjalankan roda Akademik. Demi Keamanan melandasi argumen tak terbantahkan untuk menutupi kelalaian dalam pengambilan kebijakan. Mewujudkan perasaan aman sudah semestinya dilakukan. Tapi apakah dengan perkarangan berlapis keamanan dapat terlaksana? Sementara belakangan ini kampus menjadi momok yang menakutkan. Apakah kecemasan itu yang diharapkan? Toh, sebelumnya justru aman-aman saja. Keamanan adalah keseharusan yang tak terelakkan, untuk menjaga keselamatan civitas Kampus manapun tanpa terkecuali. Termasuk kompleks APMD itu sendiri. Sungguh pun demikian membangun karakter Mahasiswa jauh lebih unggul dibandingkan pembangunan pekarangan berlapis-lapis. Kalau dikatakan, bila pendanaan itu dimanfaatkan untuk keperluan Mahasiswa, terutama di segi pengetahuan, barangkali lebih bermanfaat. Benar apa yang dikatakan oleh Kant ‘’alam menghendaki agar manusia berkembang melampaui animalitasnya dan, melalui akalnya, menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan”. Alam menganugerahi manusia bukan saja insting, tetapi juga akal budi dan kehendak bebas. Alam ingin agar manusia berkembang dalam akalnya, bukan dalam animalitasnya saja. Dengan artian, jika akal sudah didominasi oleh hawa nafsu, yang timbul bukan lagi kebajikan namun kebalikannya. Dalam menggerakkan program akademis, pengoptimalan akan sumber daya yang ada sangat diperlukan. Lebih-lebih ketika mengambil sebuah kebijakan. Dibutuhkan dialektis antar kemahasiswaan dan Mahasiswa, supaya tercapainya kesepakatan bersama. Dialektika menjadi pemicu terjalinnya komunikasi antara dosen dan Mahasiswa. Juga menjadi cekatan bagi Mahasiswa secara komprehensif, terutama dalam mengambil keputusan. Sikap apatisme pun tumbuh kembang dalam diri Mahasiswa, karena sudah dipengaruhi oleh sistem yang ada. Parahnya lagi, keterlibatannya saat proses transfer ilmu hanya sebatas pengisian daftar kehadiran untuk memenuhi hasrat angka kuantitatif, secara substansional miskin makna. Apalagi ketika proses produksi pengetahuan cenderung unilinear dengan satu arah. Apa yang disampaikan oleh seorang dosen sudah menjadi kebenaran mutlak, ahirnya Mahasiswa hanya menjadi bejana kosong dalam bahasanya Paulo Freire. Fenomena ini juga disinggung dalam bukunya Yashraf Amir Piliang. Di mana sistem pendidikan tinggi kontemporer lebih condong ke arah yang disebut dengan “pendidikan tinggi monologis,”yaitu proses pengetahuan satu arah, antara dosen yang dianggap pakar kepada mahasiswa yang tidak pakar. Di dalamnya tidak terjalinnya interaksi komunikatif timbal balik (dialogism). Tidak terbentuknya produksi pengetahuan, atau pengembangan pengetahuan, hanya ada pengalihan pengetahuan atau reproduksi pengetahuan. Akhirnya tidak lagi tercipta produksi wacana secara argumentatif, kritis, dan analitis.
11 Januari 2014
Kampus Mati Suri
Lunturnya subkultur aktivitas Mahasiswa, Kampus semakin terlihat lengang. Bak rumah ditinggal oleh penghuninya. Barang kali itulah kata yang tepat untuk dilisankan. Segala kronologis yang menghiasi peristiwa seputar lingkungan APMD sudah jarang ditemui. Semacam diskusi publik, seminar, debat dan lain sebagainya. Baik yang diselenggarakan oleh Akademik atau pun sekretariat internal itu sendiri. Kadang-kadang tanpa disadari luput dari penglihatan. Tidak seperti masa-masa sebelumnya, dimana kreativitas Mahasiswa rentan untuk menampakkan wujudnya disetiap sudut ruang hampa. Di sela obrolan, selalu dihiasi dengan aroma pengetahuan. Terciptanya diskusi kecil, bahkan tidak jarang pihak kemahasiswaan mendapatkan ocehan-ocehan hangat yang diorasikan oleh aktivis-aktivis kampus, buah dari tanggapan mereka. Sebagai acuan reaktansi terhadap program seandainya dianggap merugikan Mahasiswa. Redupnya antusiasme aktor kampus menimbulkan kecemasan yang curam. Di paruh sistematisasi amburadul, kita mendambakan kembali asa itu untuk menampakkan wujud ke permukaan. Mendambakan kembali wajah simpatik yang akan membawa secercah angin segar. Di lubuk hatinya menjelma jiwa reaktif terhadap segala sesuatu yang muncul. Umpama sumber mata air bagi kehidupan. Kritis atas persoalan yang ada untuk menciptakan kehidupan Kampus yang dinamis. Fenomena itu telah sukar ditemukan. Hanya saja sekelumit pengalaman yang terdengar dari teman-teman alumni. Mahasiswa sekarang mulai enggan mengisi waktu senggang dengan banyak membaca. Kampus idealnya dijadikan sebagai wadah untuk menggali pengetahuan, justru terpancing oleh beringasnya keduniawian yang menawarkan ingar-bingar fantastis. Kilaunya ingar duniawi telah berhasil menunggangi mereka yang tidak piawai memaknai kejamnya kehidupan. Agent of change adalah sebutan yang persis bagi Mahasiswa, konon akan menjadi perintis jalan kebenaran. Akan tetapi julukan itu tidak berarti apa-apa manakala semua berdiam dan membiarkan persoalan sekeliling Kampus kian hari tambah pelik. Dan melahirkan normalisasi seakan-akan tanpa noda, lantaran sudah mentradisi. akhirnya menjadi momentum bagi elit Kampus untuk memenuhi ambisi individualitas masing-masing. Pernyataan ini menunjukkan respons Mahasiswa terhadap loyalitas Kampus mulai berkurang. Sebutan “Mahasiswa” hanya menjadi simbol. Makna apa yang tersembunyi di baliknya bukan lagi pencarian. Justru turut merayakan kematian makna penyembunyian itu sendiri. Apalagi warna-warni kekinian kian menampakkan eksistensinya di paruh budaya yang didatangkan oleh modernitas. Dunia berwajah ganda. Konon telah menjadi konsumsi sehari-hari. Akhirnya antusiasme berorganisasi lenyap ditelan zaman. Lantaran keduniawian telah menjadi darah daging yang sulit dihilangkan. Gaya hidup seperti ini akan tambah parah manakala sistematisasi kemahasiswaan dalam keadaan stagnan. Kekurangan Fasilitas yang memadai semakin mempersempit ruang kreativitas. Ditambah keefektifan lembaga dalam menggerak program Akademis terkesan inkonsisten. Dosen yang kerap absen tidak lagi menjadi keprihatinan bersama demi kelangsungan kelas yang kondusif, lebih-lebih menjadi tindakan yang spontanitas. Mendirikan pekarangan berlimpit kian menandakan kurangnya intensitas lembaga dalam menjalankan roda Akademik. Demi Keamanan melandasi argumen tak terbantahkan untuk menutupi kelalaian dalam pengambilan kebijakan. Mewujudkan perasaan aman sudah semestinya dilakukan. Tapi apakah dengan perkarangan berlapis keamanan dapat terlaksana? Sementara belakangan ini kampus menjadi momok yang menakutkan. Apakah kecemasan itu yang diharapkan? Toh, sebelumnya justru aman-aman saja. Keamanan adalah keseharusan yang tak terelakkan, untuk menjaga keselamatan civitas Kampus manapun tanpa terkecuali. Termasuk kompleks APMD itu sendiri. Sungguh pun demikian membangun karakter Mahasiswa jauh lebih unggul dibandingkan pembangunan pekarangan berlapis-lapis. Kalau dikatakan, bila pendanaan itu dimanfaatkan untuk keperluan Mahasiswa, terutama di segi pengetahuan, barangkali lebih bermanfaat. Benar apa yang dikatakan oleh Kant ‘’alam menghendaki agar manusia berkembang melampaui animalitasnya dan, melalui akalnya, menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan”. Alam menganugerahi manusia bukan saja insting, tetapi juga akal budi dan kehendak bebas. Alam ingin agar manusia berkembang dalam akalnya, bukan dalam animalitasnya saja. Dengan artian, jika akal sudah didominasi oleh hawa nafsu, yang timbul bukan lagi kebajikan namun kebalikannya. Dalam menggerakkan program akademis, pengoptimalan akan sumber daya yang ada sangat diperlukan. Lebih-lebih ketika mengambil sebuah kebijakan. Dibutuhkan dialektis antar kemahasiswaan dan Mahasiswa, supaya tercapainya kesepakatan bersama. Dialektika menjadi pemicu terjalinnya komunikasi antara dosen dan Mahasiswa. Juga menjadi cekatan bagi Mahasiswa secara komprehensif, terutama dalam mengambil keputusan. Sikap apatisme pun tumbuh kembang dalam diri Mahasiswa, karena sudah dipengaruhi oleh sistem yang ada. Parahnya lagi, keterlibatannya saat proses transfer ilmu hanya sebatas pengisian daftar kehadiran untuk memenuhi hasrat angka kuantitatif, secara substansional miskin makna. Apalagi ketika proses produksi pengetahuan cenderung unilinear dengan satu arah. Apa yang disampaikan oleh seorang dosen sudah menjadi kebenaran mutlak, ahirnya Mahasiswa hanya menjadi bejana kosong dalam bahasanya Paulo Freire. Fenomena ini juga disinggung dalam bukunya Yashraf Amir Piliang. Di mana sistem pendidikan tinggi kontemporer lebih condong ke arah yang disebut dengan “pendidikan tinggi monologis,”yaitu proses pengetahuan satu arah, antara dosen yang dianggap pakar kepada mahasiswa yang tidak pakar. Di dalamnya tidak terjalinnya interaksi komunikatif timbal balik (dialogism). Tidak terbentuknya produksi pengetahuan, atau pengembangan pengetahuan, hanya ada pengalihan pengetahuan atau reproduksi pengetahuan. Akhirnya tidak lagi tercipta produksi wacana secara argumentatif, kritis, dan analitis.
Kampung, Nasibmu yang Malang
Di sana hiduplah sebuah komunitas kecil. Punya
masyarakat, pemimpin, nilai, dan tradisi serta perangkat-perangkat lainnya yang
beranjak, mengatur, mengurus, dan memerintah sendiri. Pola pengorganisasiannya
khas, ikut pada irama dan logika ekosentris. Mereka pun tumbuh dalam mekanisme
tradisional, kekerabatan, dan komunalisme. Bahkan rentetan jumlah mereka dapat
diasumsi dengan jari tangan. Mayoritas penduduk bekerja di bidang petanian. Tak
ayal, bercocok tanam satu-satunya mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
Demikian juga tempat tinggal yang mereka huni.
Arsitektur bangunan rumah nampak amat sederhana. Tak jarang dinding terbuat
dari kayu rentan lapuk , begitu pun dengan atap rumah, sungguh mudah dirembes
oleh rintik-rintik hujan. Di sekitarnya dikelilingi oleh berbagai jenis
pepohonan. Dan dipenuhi oleh semak belukar yang melingkari setiap sudut
pedesaan. Sayup mata memandang terlihat panorama kawasan sawah terbentang luas,
diwarnai oleh tetumbuhan padi yang sudah mulai menghijau.
Itulah kampung. Sebuah nama yang sungguh usang.
Hidup di kawasan terpencil dan tata letaknya jauh dari titik keramaian. Ketika petang
hendak berganti malam tiada lagi terlihat kilapan listrik, hanya ada lampu
semprong yang menerangi. Juga tak terdengar bunyi gaung hiruk-pikuk manusia. Semua
sunyi-senyap ditelan oleh gelap-gulita. Malam menjadi momentum bagi mereka
untuk bersama-sama demi melepas lelah. Karena keesokan hari mesti harus
bekerja.
Ketika fajar menyingsing, terdengar alunan
burung yang merdu di sekitar rumah. Pertanda malam telah berganti pagi.
Panggilan kerja pun sudah tiba. Segala kelengkapan kerja mesti disiapkan sebelum
matahari menampakkan sinarnya. Di persimpangan jalan rentetan petani mulai
kelihatan. Dengan pakaian rompang dan pacul di bahunya telah menjadi ciri khas.
Langkah demi langkah menelusuri pematang sawah yang hendak digarap. Berharap
kelak akan menuai hasil jerih payah.
Bersusah payah sudah biasa bagi mereka di
pedalaman. Namun keinginan tiada pernah reda. Untuk memperoleh hasil yang
sebanding, banting tulang sudah semestinya dilakukan. “Tanah Air yang kaya akan
alamnya,” duduk senyum-simpul bukanlah alasan untuk berpangku tangan. Itu hanyalah
semboyan usang, warisan dari nenek moyang dahulu yang dilenyapkan oleh
modernitas. Hidup di kampung bak “katak dalam tempurung,” saat keluar terperengah
dengan keadaan luar yang megah.
Begitu juga dengan sarana dan prasarana yang
ada. Secara totalitas belum terpenuhi, dan kurangnya kesungguhan aparat dalam
memfasilitasi. Minimnya pusat perhatian pemerintah dalam membangun fasilitas
sosial seperti sekolah, klinik, tempat ibadah, jalan, dan alat penerangan umum
adalah bukti nyata dari kinerja aparatur yang pilih-kasih dalam menegakkan
kesejahteraan sosial. Cenderung lebih tunduk ke pusat perkotaan ditimbang desa,
terutama dari segi pembangunan infastruktur.
Implikasinya
dirasakan oleh masyarakat desa itu sendiri, juga bagian warga Indonesia.
Sebagai bangsa yang terdiri dari ragam desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bangsa
multikultur istilah bapaknya pluralisme alias Gusdur. Yang dituangkan ke dalam bingkai
ideologi Pancasila. Merefleksikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Tapi
cita-cita itu tak berfungsi dengan baik. Masyarakat di pedesaan kian bodoh,
ortodoks, dan dianggap ketinggalan zaman. Karena sebagian besar pemuda di desa tidak
dapat mengenyam pendidikan tinggi, lantaran keterbatasan yang berkepanjangan. Pengaruh
dari sistem pendidikan yang pilih-kasih.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat lebih
bersikap apatis dalam melihat pelbagai persoalan yang terjadi. Lebih-lebih
tehadap masalah yang muncul, rendahnya pendidikan cenderung mengarah ke
tindakan kekerasan dalam peneyelesaiannya. Tak jarang berakhir dengan
pertumpahan darah yang berakibat fatal. Masalah semacam ini sudah kian menjadi
hal yang tabu dimana tengah mengalami keterjepitan ekonomi membuat mereka jadi
predator dan saling membenarkan tindakan masing-masing. Fenomena meperkuat
alasan karena adanya orang ketiga yang sengaja mengambil kesempatan di tengah
konflik yang terjadi demi keuntungan semata. Masyarakat sengaja diadu dombakan
layaknya binatang buas yang saling memangsa satu sama lain.
Apabila ditelisik dari sejarahnnya, Indonesia konon
terbentuk dari yang namanya desa. Zaman telah menjadikan kawasan hulu layaknya
anak tiri yang numpang tinggal di Negeri sendiri. Jika kota dan desa adalah
sama-sama warga Indonesia secara teritorial, pertannyaannya, mengapa terdapat
distingsi antara desa-kota dari segi infastruktur? Kota diprioritaskan dan desa
menjadi Negeri yang terabaikan. Jika dilihat dengan kacamata ekonomi, potensi
pangan terbesar adalah hasil distribusi dari desa. Namun 75% angka kemiskinan
di Indonesia terdapat di desa. Sungguh ironis memang, tapi itulah kenyataan
pahit yang harus ditelan oleh penduduk kampung.
Namun itulah desa “kampung jauh di sana” yang
teralienasi oleh era modernisasi disegala aspek multidimensional. Pengetahuan yang
dangkal mendorong penduduk desa menjadi bodoh. Hanya bisa menerima kenyataan
hidup seperti kapas yang terombang-ambing oleh angin, kemana arus angin
kesitulah dia akan berlabuh. Berada di buntut ideologi kekuasaan, ingin menantang
arus tapi tak punya power untuk melawan. Demokrasi tidak memberikan ruang partisipatif
bagi kemajuan desa, ironisnya lagi, demokrasi malah menjadikan manusia
individualistik dan melenyapkan kebersamaan NKRI.
Demokrasi juga telah melahirkan sikap
apatistik terhadap sesama manusia, terutama kultur masyarakat urban. Kemajuan
teknologi kian membuat mereka adu speed dalam menyongsong masa depan yang
dianggap kemajuan. Namun kelupaan telah melanggengkan kebodohan yang
beranak-pinak dari generasi ke generasi oleh sistem yang berunsur kesengajaan
agar mereka tetap diperbudak untuk selamanya.
Sama halnya pada masa lalu kolonial di negeri
ini yang pernah menancapkan tongkatnya. Dimana, warga akar rumput sengaja tidak
diberikan pendidikan layak dengan metode meningkatkan biaya pendidikan dengan
setinggi-tingginya sejauh tidak terjangkau oleh masyarakat. Ada semacam
ketakutan manakala masyarakat lebih pintar tentu menjadi ancaman terhadap
eksistensi mereka. Sedikit berbeda pada era sekarang, dimana tidak lagi
menggunakan metode dan secara lantang dapat terlihat, tetapi digunakan dengan
cara yang lebih halus sehingga luput dari penglihatan.
Inilah sisi gelap bangsa ini, demokrasi
diagungkan seakan-akan dijadikan sebuah ideologi suci dan dianggap dapat
memberikan hak terhadap masing-masing orang sesuai dengan asas tertentu. Tapi
masyarakat tidak pernah lupa akan luka yang mereka alami, demokrasi tidak mampu
memberikan kesempatan pada masyarakat desa untuk memilih mana yang layak untuk
keberlangsungan kehidupan desa.
Jika dilihat dari sejarah penduduk yang tinggal dipedalaman, mereka
cukup pintar dalam menjaga kelestarian walau memang masih tradisional tapi itu
cukup memberikan kebutuhan yang mencukupi. Seiring perjalanan mereka dihantui
oleh kemajuan sehingga ada sesuatu terenggut dari kebiasaan sehari-hari yang
sudah berjalan dari puluhan tahun.
03 Januari 2014
Cerpen: Perempuan Bertubuh Sintal
Oleh Sopliadi
S
|
iapa yang tidak kenal sebait
syair itu.
“terlena”
“terlena”
“aku terlena”
Siang sehabis
perkuliahan. Cahaya matahari kelembapan menghembuskan angin hingga menembus liang
renik pada kulit. Cukup melepaskan penat
bagi seorang Lie. “Tumpukan tugas kian melilit otak , tak ada lagi waktu
bersantai”, gumam ia dalam hati.
Seperti biasanya! Di
bawah pepohonan tak begitu rindang dihiasi tonggokan dedaunan yang sudah menguning,
sejenak ia merebahkan tubuhnya sembari merenungi fenomena atmosfer, memandang,
menerobos dahan-dahan, pada debu-debu bertaburan.
Dari kejauhan terlihat sepasang burung tengah asyik menari-nari di atas ranting pepohonan.
Dari kejauhan terlihat sepasang burung tengah asyik menari-nari di atas ranting pepohonan.
Waktu burung-burung mengambil tempat di antara
dahan-dahan pohon, dan keheningan syahdu mulai turun ke bumi, terdengar
gemersik langkah kaki menginjaki rerumputan.
Di sela-sela tebaran debu, Lie menaruh perhatian dan melihat sosok perempuan bertubuh sintal yang aduhai. Berjalan di bawah sebatang pohon sehingga ia dapat melihat sesosok perempuan tanpa ia sendiri terlihat.
Di sela-sela tebaran debu, Lie menaruh perhatian dan melihat sosok perempuan bertubuh sintal yang aduhai. Berjalan di bawah sebatang pohon sehingga ia dapat melihat sesosok perempuan tanpa ia sendiri terlihat.
Mengenakan busana putih
seputih warna putih-seputih kulitnya. Semilir angin membuat rambut sebatas bahu
itu tergerai sehingga mata ini tak lagi mampu berkedip. Lie diam tanpa berucap
apa-apa. Pikirannya kian melayang-layang menjelajahi samudera yang tak
bertepian. Seketika itu juga wajah perempuan terlihat samar oleh pusaran debu.
Selang beberapa menit, angin pun menurunkan temponya, debu-debu berjatuhan,
sosoknya pun hilang tak meninggalkan bekas apapun.
Lie sungguh terkesima
dengan sosok yang ia lihat.
Bayangan tubuhnya masih
membekas di benak Lie. Aroma parfumnya masih menyelinap dalam rongga hidung. “Akankah
peristiwa itu terulang untuk ke dua kalinya?”. Ia pun menaruh secuil harapan.
Dalam hati diselimuti perasaan gelisah bercampur penyesalan karena waktu tak
memberi kesempatan untuk bertatap muka.
“Hidup memang penuh
banyak pertanyaan”
“Ada apa dengan ini
semua?” Bisik Lie dalam hati.
“Bukankah selama ini aku
selalu disibukkan oleh pertanyaan yang seharusnya tak perlu dijawab”
“Benar, tapi aku takkan
pernah tahu sesuatu jika jawabannya tak dicari, apalagi tentang siapanya dia.
Itu sangat menggangguku”. Bisik ia kembali.
Hembusan angin kian
reda. Hatinya tak karuan, dengan wajah penuh kekosongan sembari menatap jauh ke
langit dan berkata “hidup ini memang indah jika dinikmati, tapi tak akan
bermakna apa-apa jika masih banyak menyisakan pertanyaan yang tak kunjung
memberikan jawaban”.
Berkutat dalam budaya pencarian
sungguh menyenangkan, tapi akan sakit manakala tak menemukan jawaban apa-apa.
Hmm, Lie tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Itulah seorang Lie.
Hidupnya dipenuhi ribuan pertanyaan. Tak hanya siapa dirinya, nasib masa depan bangsa
tak jarang nangkring di benaknya. Hanya bisa menunggu waktu, kapan? Jawaban
semua itu ditemukan.
“Berkutat dalam
pertanyaan besar seringkali membuat kita lupa peristiwa kecil yang cukup
berarti tersisihkan. Dengan rasa percaya diri bercampur kegundahan ia pun
segera beranjak agar sejanak dapat dilupakan, dan membiarkan bayangan itu
menjadi mimpi-mimpi di kala tidur.
***
Keesokan harinya, seperti
hal tak terduga yang dialaminya, doa Lie dikabulkan, dimana perempuan itu
muncul dengan pakaian tempo hari. “Ini adalah mimpi kemarin” Lie pun
menghentakkan kaki karena perempuan itu muncul di tanah yang sama. “Kendati
masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, setidaknya ini dapat memberikan
salah satu jawaban dari sekian banyak pertanyaan”.
Dalam waktu bersamaan, sejenak
Lie tersontak dan berkata “ ternyata dialah sosok perempuan yang selama ini
diidam-idamkan”. Dia seperti seorang primadona di arena kehidupan. Kala ia
berjalan dengan sandal keemasan tidak hanya membuat seluruh mata melotot,
pepohonan pun ikut tunduk. Bahkan, burung-burung yang tengah asyik menari
sejenak terdiam melihat gerakannya penuh dengan daya pikat. Semua itu membuat
Lie merasa hidup.
Perempuan yang ia
idamkan seperti perempuan-perempuan lainnya yang bisa membuat kalian
menyerahkan jantung hati kalian kepada mereka. Dia memiliki kecantikan yang
berbeda seakan-akan diciptakan oleh dewa. Dia adalah perpaduan dari segala
kecantikan.
Namun, sosok perempuan
itu tetap menjadi bayangan dalam hidupnya, karena Lie lebih memilih untuk
memendamkan perasaan itu. Selain ia cukup pemalu, dan tidak memiliki keberanian
untuk mendekatinya, juga karena tahu, mencintai hanya akan menambah luka lama
yang belum lekas sembuh. Namun, cukup membuat Lie terbuai olehnya. Terlena oleh
keindahan cinta.
“sungguh terharu
dan terbuai”
“aku terlena”
Begitulah Lie, menaruh
cintanya dengan perempuan yang tak kunjung dimiliki. Kadang ia masih berkhayal di
tengah kontemplasi yang luas. Lie, memang tidak kunjung berterus terang,
padahal perempuan itu sangat ia cintai.
Kegundahan yang
dialaminya sengaja tak diungkapkan karena kata-kata terlalu sederhana untuk
mengatakan apa yang ia rasakan. Tengah kesendirian hanya ditemani
sunyi-senyapnya malam kerap sosok itu nangkring setiap lamunannya. Hanya itu
yang ia bisa lakukan.
Tatkala malam, tak
jarang Lie merindukan sosok perempuan itu, dan ia hanya bisa kembali ke tempat
dimana ia melihat sosok perempuan dari kejauhan. Di tanah tempat ia bermimpi
kemarin. Sembari mebayangi kembali perempuan itu, kendati dia entah dimana, mungkin
telah pergi ke tempat yang jauh di tanah yang terlupakan. Karena Lie tak cukup
tahu.
“Semoga dia tidak kenapa-kenapa” pinta Lie dengan
penuh harapan sambil menatap ke atas langit yang dipenuhi oleh kelap-kelip
bintang. “Bintang bintang, kau hanyalah bintang! Dan takkan pernah tahu
perasaan seseorang. Tapi aku cukup tahu, kau hanya bisa memberi kesempatan
kepada diriku untuk menatapmu dari kejauhan, bukan untuk memilikinya”.
Lie, nampaknya sudah
tidak bisa menyampaikan apa-apa lagi. Tidak bahasa dia juga tidak dengan bahasa
cinta. Untuk beberapa lama ia masih berharap sosok perempuan itu muncul dari
balik kegelapan, dengan pakaian putih waktu tebaran debu menghalanginya, dengan
rambutnya yang tergerai ditiup angin. Dan sandal keemasan yang sering dia
kenakan.
Begitulah malam-malam
seorang bernama Lie berlalu. Perempuan bertubuh sintal itu tetap tinggal dalam
khayalannya. Hari-hari terus berjalan, namun wajah itu menetap jauh ke dalam
lubuk hatinya sepanjang siang dan malam.
Lie menatap malam penuh
tatapan kosong, dan dengan refleksi mendalam ia menemukan kenyataan dari
sesuatu yang begitu luas dan tidak berbatas. Sesuatu yang tidak bisa dituntut
oleh kekuatan apapun, juga tidak bisa dibeli dengan harta kekayaan.
Entah kenapa Sosok itu
sangat menghantui hidupnya. Tapi, sungguh pun demikian, dia tidak mau tenggelam
oleh dunia cinta. Karena itu hanya akan membuat hidupnya jadi bumerang. Dan
sadar inilah yang mampu meyatukan harapan dan kekuatan, tumbuh melawan
rintangan.
Akhirnya, Lie
memutuskan untuk meninggalkan tempat duduknya. Dan membiarkan semuanya pada
sang waktu untuk menjawabnya. Lie pun melanjutkan kembali tugas yang melilit di
otaknya.
01 Januari 2014
Tahun Baru, Asa Baru
Pada dasarnya adalah
waktu, sejak kecil sampai beranjak dewasa, kita telah mengikuti irama sang
waktu. Kemajuan waktu telah mengubah segalanya. Sekali terlewati tak akan
pernah kembali. Waktu ibarat pedang, jika tidak piawai menggunakannya, waktu
kita akan ditebas oleh tajamnya pedang hingga menembus ke dalam jantung
kehidupan. Waktu terus berputar tanpa ada henti-hentinya. Begitu juga halnya
kehidupan, berputar terus-menerus tiada pernah jeda. Begitu banyak peluang yang
telah terabaikan selama perjalanan waktu. Sehingga masa lalu yang suram
seringkali meneror kenyataan. Luka masa lalu membuat seseorang merasa kesulitan
untuk menerjang kenyataan. Sang waktu tak pernah menghiraukan, tetap terus melintas.
Kepiluan masa lalu kian tak mau berpisah. Laksamana bisikan terus mendesis.
Kepingan masa lalu semakin merongrong untain debu masa depan yang masih
melayang-layang.
Tiada disadari tibalah
pada saat-saat dimana kita harus meninggalkan deretan kisah yang pernah
tertanam selama perjalanan waktu. Detik berganti menit, hari, minggu, bulan,
hingga pergantian tahun. Begitulah sang waktu. Namun, masa lalu masih
membayangi kenyataan. Rekaman memori tak pernah lekang oleh pergantian zaman.
Hingga merembes ke dalam sum-sum otak. Begitu banyak momentum menghiasi
tahun-tahun sebelumnya. Dari hal kecil sampai kepada fenomena yang lebih besar.
Rangkaian demi rangkaian tersaji dalam ingatan, tidak hanya nyanyian bencana yang
menimpa negeri ini, rentetan kisah kehidupan anak-anak muda tengah sibuk mencari
jati diri pun ikut menghiasi. Di tahun baru ini menjadi permulaan untuk
mengukir kembali secuil mimpi-mimpi yang tak kunjung terwujud pada tahun
sebelumnya. Agar asa baru kembali hadir untuk menerjang kenyataan yang semakin
reda.
Pergantian tahun tidak
hanya diartikan sebagai ajang perayaan seremonial belaka. Lebih daripada itu,
di dalamnya tergores ragam kejadian untuk direfleksikan ulang. Juga menjadi
harga tak ternilai sebagai referensi ketika melihat waktu yang akan datang.
Tapi sayang! Tak banyak sebagian kita melakukan hal tersebut. Seringkali momen
perpisahan tahun digunakan arena pelampiasan hasrat. Lebih banyak meretas
moderat daripada menelorkan manfaat. Panorama esek-esekan sudah menjadi
keharusan bagi sepasang kekasih. Pergantian tahun seketika menjelma menjadi
sebuah panggung bagi kaula muda untuk mewujudkan mimpi-mimpi nakal yang belum
terwujud. Manakala rasa “kebelet” sudah di titik sentral, apapun konsekuensinya lantas
tak terfikir. Tengah gemerlapnya malam serta kelap-kelip kembang api, berhubungan
layaknya suami isteri mendandani malam pergantian tahun.
Awal yang indah belum
tentu berjalan dengan indah. Jika tidak ditopang dengan kematangan berfikir,
selamanya menjadi panteon kesedihan. Hanya menambah kelamnya luka dan dosa-dosa
masa lalu yang sukar disembuhkan. Bahkan akan lebih buruk dari tahun-tahun
sebelumnya. Memasuki tahun baru tak hanya berhenti pada onggokan sepenggal
niat, bukan sebatas bermimipi datangnya perubahan, tapi dibutuhkan sekepal perjuangan
untuk mewujudkan harapan. Enigma malam pergantian tahun begitu banyak mengundang
pertanyaan. Alih-alih sebagai bahan reflektif, malah jatuh ke dalam lembah
fantastis. Tak pelak, kehadirannya pun disambut dengan perasaan suka-cita oleh
setiap manusia diseluruh penjuru. Caranya pun beragam, ada yang mendatangkan
band-band lokal, mendatangi tempat-tempat wisata, ada juga sebagian sengaja
mencari tempat yang jauh dari keramaian, namun sarat akan tindakan abnormal.
Itulah sekelumit
pemandangan menarik di malam pergantian tahun. Kita dituntut untuk membuka
lembaran baru, namun lupa mengoreksi lembaran lama yang sudah kering-kersang.
Seseorang dikatakan bijak apabila mau belajar dari kesalahan masa lampau. Orang
hebat dimana pun pasti mengalami rasanya kegagalan, karena pengalaman begitu
banyak menyimpan pelajaran untuk kita petik. Pergantian tahun tidak hanya
sebatas transformasi angka dari 2013 ke 2014, secara bersamaan umur manusia pun
kian bertambah, dari anak-anak menuju remaja, dari dewasa berubah menjadi tua begitu
juga seterusnya. Dunia semakin bertambah tua, apakah kita sebagai makhluk
berfikir hanya diam diri dan membiarkan peluang ditebas oleh sang waktu. Andaikata
tidak digunanakan dengan baik maka sang waktu akan melewatinya.
Sudah menjadi harapan
kita semua, awal tahun 2014 dapat memberi pencerahan terhadap bangsa ini.
Kembali merangkul asa yang sudah hilang. Agar dapat menatap masa depan yang
lebih bermakna. Bencana yang melanda negeri ini dengan rentetan kasus demi
kasus berharap tak lagi kembali terjadi. Para koruptor yang berada di balik bui
agar didatangkan hidayah lewat pentelasi jeruji, supaya kelak ketika keluar
tidak melakukan tindakan yang merugikan rakyat. Sembari itu, tahun 2014 menjadi
refleksi bagi kita semua untuk menggunakan kesempatan yang telah banyak
disia-siakan pada tahun sebelumnya. Kembali menata apa yang belum selesai,
menciptakan pola yang belum terpola. Karena kesempatan hanya datang satu kali,
dan pedang selalu siaga untuk menebas peluang yang ada jika tidak dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
Langganan:
Postingan (Atom)