11 Januari 2014

Kampung, Nasibmu yang Malang

Oleh : Sopliadi

Di sana hiduplah sebuah komunitas kecil. Punya masyarakat, pemimpin, nilai, dan tradisi serta perangkat-perangkat lainnya yang beranjak, mengatur, mengurus, dan memerintah sendiri. Pola pengorganisasiannya khas, ikut pada irama dan logika ekosentris. Mereka pun tumbuh dalam mekanisme tradisional, kekerabatan, dan komunalisme. Bahkan rentetan jumlah mereka dapat diasumsi dengan jari tangan. Mayoritas penduduk bekerja di bidang petanian. Tak ayal, bercocok tanam satu-satunya mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Demikian juga tempat tinggal yang mereka huni. Arsitektur bangunan rumah nampak amat sederhana. Tak jarang dinding terbuat dari kayu rentan lapuk , begitu pun dengan atap rumah, sungguh mudah dirembes oleh rintik-rintik hujan. Di sekitarnya dikelilingi oleh berbagai jenis pepohonan. Dan dipenuhi oleh semak belukar yang melingkari setiap sudut pedesaan. Sayup mata memandang terlihat panorama kawasan sawah terbentang luas, diwarnai oleh tetumbuhan padi yang sudah mulai menghijau.
Itulah kampung. Sebuah nama yang sungguh usang. Hidup di kawasan terpencil dan tata letaknya jauh dari titik keramaian. Ketika petang hendak berganti malam tiada lagi terlihat kilapan listrik, hanya ada lampu semprong yang menerangi. Juga tak terdengar bunyi gaung hiruk-pikuk manusia. Semua sunyi-senyap ditelan oleh gelap-gulita. Malam menjadi momentum bagi mereka untuk bersama-sama demi melepas lelah. Karena keesokan hari mesti harus bekerja.
Ketika fajar menyingsing, terdengar alunan burung yang merdu di sekitar rumah. Pertanda malam telah berganti pagi. Panggilan kerja pun sudah tiba. Segala kelengkapan kerja mesti disiapkan sebelum matahari menampakkan sinarnya. Di persimpangan jalan rentetan petani mulai kelihatan. Dengan pakaian rompang dan pacul di bahunya telah menjadi ciri khas. Langkah demi langkah menelusuri pematang sawah yang hendak digarap. Berharap kelak akan menuai hasil jerih payah.
Bersusah payah sudah biasa bagi mereka di pedalaman. Namun keinginan tiada pernah reda. Untuk memperoleh hasil yang sebanding, banting tulang sudah semestinya dilakukan. “Tanah Air yang kaya akan alamnya,” duduk senyum-simpul bukanlah alasan untuk berpangku tangan. Itu hanyalah semboyan usang, warisan dari nenek moyang dahulu yang dilenyapkan oleh modernitas. Hidup di kampung bak “katak dalam tempurung,” saat keluar terperengah dengan keadaan luar yang megah.
Begitu juga dengan sarana dan prasarana yang ada. Secara totalitas belum terpenuhi, dan kurangnya kesungguhan aparat dalam memfasilitasi. Minimnya pusat perhatian pemerintah dalam membangun fasilitas sosial seperti sekolah, klinik, tempat ibadah, jalan, dan alat penerangan umum adalah bukti nyata dari kinerja aparatur yang pilih-kasih dalam menegakkan kesejahteraan sosial. Cenderung lebih tunduk ke pusat perkotaan ditimbang desa, terutama dari segi pembangunan infastruktur.
 Implikasinya dirasakan oleh masyarakat desa itu sendiri, juga bagian warga Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri dari ragam desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bangsa multikultur istilah bapaknya pluralisme alias Gusdur. Yang dituangkan ke dalam bingkai ideologi Pancasila. Merefleksikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Tapi cita-cita itu tak berfungsi dengan baik. Masyarakat di pedesaan kian bodoh, ortodoks, dan dianggap ketinggalan zaman. Karena sebagian besar pemuda di desa tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi, lantaran keterbatasan yang berkepanjangan. Pengaruh dari sistem pendidikan yang pilih-kasih.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat lebih bersikap apatis dalam melihat pelbagai persoalan yang terjadi. Lebih-lebih tehadap masalah yang muncul, rendahnya pendidikan cenderung mengarah ke tindakan kekerasan dalam peneyelesaiannya. Tak jarang berakhir dengan pertumpahan darah yang berakibat fatal. Masalah semacam ini sudah kian menjadi hal yang tabu dimana tengah mengalami keterjepitan ekonomi membuat mereka jadi predator dan saling membenarkan tindakan masing-masing. Fenomena meperkuat alasan karena adanya orang ketiga yang sengaja mengambil kesempatan di tengah konflik yang terjadi demi keuntungan semata. Masyarakat sengaja diadu dombakan layaknya binatang buas yang saling memangsa satu sama lain.
Apabila ditelisik dari sejarahnnya, Indonesia konon terbentuk dari yang namanya desa. Zaman telah menjadikan kawasan hulu layaknya anak tiri yang numpang tinggal di Negeri sendiri. Jika kota dan desa adalah sama-sama warga Indonesia secara teritorial, pertannyaannya, mengapa terdapat distingsi antara desa-kota dari segi infastruktur? Kota diprioritaskan dan desa menjadi Negeri yang terabaikan. Jika dilihat dengan kacamata ekonomi, potensi pangan terbesar adalah hasil distribusi dari desa. Namun 75% angka kemiskinan di Indonesia terdapat di desa. Sungguh ironis memang, tapi itulah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh penduduk kampung.
Namun itulah desa “kampung jauh di sana” yang teralienasi oleh era modernisasi disegala aspek multidimensional. Pengetahuan yang dangkal mendorong penduduk desa menjadi bodoh. Hanya bisa menerima kenyataan hidup seperti kapas yang terombang-ambing oleh angin, kemana arus angin kesitulah dia akan berlabuh. Berada di buntut ideologi kekuasaan, ingin menantang arus tapi tak punya power untuk melawan. Demokrasi tidak memberikan ruang partisipatif bagi kemajuan desa, ironisnya lagi, demokrasi malah menjadikan manusia individualistik dan melenyapkan kebersamaan NKRI.
Demokrasi juga telah melahirkan sikap apatistik terhadap sesama manusia, terutama kultur masyarakat urban. Kemajuan teknologi kian membuat mereka adu speed dalam menyongsong masa depan yang dianggap kemajuan. Namun kelupaan telah melanggengkan kebodohan yang beranak-pinak dari generasi ke generasi oleh sistem yang berunsur kesengajaan agar mereka tetap diperbudak untuk selamanya.
Sama halnya pada masa lalu kolonial di negeri ini yang pernah menancapkan tongkatnya. Dimana, warga akar rumput sengaja tidak diberikan pendidikan layak dengan metode meningkatkan biaya pendidikan dengan setinggi-tingginya sejauh tidak terjangkau oleh masyarakat. Ada semacam ketakutan manakala masyarakat lebih pintar tentu menjadi ancaman terhadap eksistensi mereka. Sedikit berbeda pada era sekarang, dimana tidak lagi menggunakan metode dan secara lantang dapat terlihat, tetapi digunakan dengan cara yang lebih halus sehingga luput dari penglihatan.
Inilah sisi gelap bangsa ini, demokrasi diagungkan seakan-akan dijadikan sebuah ideologi suci dan dianggap dapat memberikan hak terhadap masing-masing orang sesuai dengan asas tertentu. Tapi masyarakat tidak pernah lupa akan luka yang mereka alami, demokrasi tidak mampu memberikan kesempatan pada masyarakat desa untuk memilih mana yang layak untuk keberlangsungan kehidupan desa.
Jika dilihat dari sejarah  penduduk yang tinggal dipedalaman, mereka cukup pintar dalam menjaga kelestarian walau memang masih tradisional tapi itu cukup memberikan kebutuhan yang mencukupi. Seiring perjalanan mereka dihantui oleh kemajuan sehingga ada sesuatu terenggut dari kebiasaan sehari-hari yang sudah berjalan dari puluhan tahun.


Tidak ada komentar: