Di sana hiduplah sebuah komunitas kecil. Punya
masyarakat, pemimpin, nilai, dan tradisi serta perangkat-perangkat lainnya yang
beranjak, mengatur, mengurus, dan memerintah sendiri. Pola pengorganisasiannya
khas, ikut pada irama dan logika ekosentris. Mereka pun tumbuh dalam mekanisme
tradisional, kekerabatan, dan komunalisme. Bahkan rentetan jumlah mereka dapat
diasumsi dengan jari tangan. Mayoritas penduduk bekerja di bidang petanian. Tak
ayal, bercocok tanam satu-satunya mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
Demikian juga tempat tinggal yang mereka huni.
Arsitektur bangunan rumah nampak amat sederhana. Tak jarang dinding terbuat
dari kayu rentan lapuk , begitu pun dengan atap rumah, sungguh mudah dirembes
oleh rintik-rintik hujan. Di sekitarnya dikelilingi oleh berbagai jenis
pepohonan. Dan dipenuhi oleh semak belukar yang melingkari setiap sudut
pedesaan. Sayup mata memandang terlihat panorama kawasan sawah terbentang luas,
diwarnai oleh tetumbuhan padi yang sudah mulai menghijau.
Itulah kampung. Sebuah nama yang sungguh usang.
Hidup di kawasan terpencil dan tata letaknya jauh dari titik keramaian. Ketika petang
hendak berganti malam tiada lagi terlihat kilapan listrik, hanya ada lampu
semprong yang menerangi. Juga tak terdengar bunyi gaung hiruk-pikuk manusia. Semua
sunyi-senyap ditelan oleh gelap-gulita. Malam menjadi momentum bagi mereka
untuk bersama-sama demi melepas lelah. Karena keesokan hari mesti harus
bekerja.
Ketika fajar menyingsing, terdengar alunan
burung yang merdu di sekitar rumah. Pertanda malam telah berganti pagi.
Panggilan kerja pun sudah tiba. Segala kelengkapan kerja mesti disiapkan sebelum
matahari menampakkan sinarnya. Di persimpangan jalan rentetan petani mulai
kelihatan. Dengan pakaian rompang dan pacul di bahunya telah menjadi ciri khas.
Langkah demi langkah menelusuri pematang sawah yang hendak digarap. Berharap
kelak akan menuai hasil jerih payah.
Bersusah payah sudah biasa bagi mereka di
pedalaman. Namun keinginan tiada pernah reda. Untuk memperoleh hasil yang
sebanding, banting tulang sudah semestinya dilakukan. “Tanah Air yang kaya akan
alamnya,” duduk senyum-simpul bukanlah alasan untuk berpangku tangan. Itu hanyalah
semboyan usang, warisan dari nenek moyang dahulu yang dilenyapkan oleh
modernitas. Hidup di kampung bak “katak dalam tempurung,” saat keluar terperengah
dengan keadaan luar yang megah.
Begitu juga dengan sarana dan prasarana yang
ada. Secara totalitas belum terpenuhi, dan kurangnya kesungguhan aparat dalam
memfasilitasi. Minimnya pusat perhatian pemerintah dalam membangun fasilitas
sosial seperti sekolah, klinik, tempat ibadah, jalan, dan alat penerangan umum
adalah bukti nyata dari kinerja aparatur yang pilih-kasih dalam menegakkan
kesejahteraan sosial. Cenderung lebih tunduk ke pusat perkotaan ditimbang desa,
terutama dari segi pembangunan infastruktur.
Implikasinya
dirasakan oleh masyarakat desa itu sendiri, juga bagian warga Indonesia.
Sebagai bangsa yang terdiri dari ragam desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, bangsa
multikultur istilah bapaknya pluralisme alias Gusdur. Yang dituangkan ke dalam bingkai
ideologi Pancasila. Merefleksikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Tapi
cita-cita itu tak berfungsi dengan baik. Masyarakat di pedesaan kian bodoh,
ortodoks, dan dianggap ketinggalan zaman. Karena sebagian besar pemuda di desa tidak
dapat mengenyam pendidikan tinggi, lantaran keterbatasan yang berkepanjangan. Pengaruh
dari sistem pendidikan yang pilih-kasih.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat lebih
bersikap apatis dalam melihat pelbagai persoalan yang terjadi. Lebih-lebih
tehadap masalah yang muncul, rendahnya pendidikan cenderung mengarah ke
tindakan kekerasan dalam peneyelesaiannya. Tak jarang berakhir dengan
pertumpahan darah yang berakibat fatal. Masalah semacam ini sudah kian menjadi
hal yang tabu dimana tengah mengalami keterjepitan ekonomi membuat mereka jadi
predator dan saling membenarkan tindakan masing-masing. Fenomena meperkuat
alasan karena adanya orang ketiga yang sengaja mengambil kesempatan di tengah
konflik yang terjadi demi keuntungan semata. Masyarakat sengaja diadu dombakan
layaknya binatang buas yang saling memangsa satu sama lain.
Apabila ditelisik dari sejarahnnya, Indonesia konon
terbentuk dari yang namanya desa. Zaman telah menjadikan kawasan hulu layaknya
anak tiri yang numpang tinggal di Negeri sendiri. Jika kota dan desa adalah
sama-sama warga Indonesia secara teritorial, pertannyaannya, mengapa terdapat
distingsi antara desa-kota dari segi infastruktur? Kota diprioritaskan dan desa
menjadi Negeri yang terabaikan. Jika dilihat dengan kacamata ekonomi, potensi
pangan terbesar adalah hasil distribusi dari desa. Namun 75% angka kemiskinan
di Indonesia terdapat di desa. Sungguh ironis memang, tapi itulah kenyataan
pahit yang harus ditelan oleh penduduk kampung.
Namun itulah desa “kampung jauh di sana” yang
teralienasi oleh era modernisasi disegala aspek multidimensional. Pengetahuan yang
dangkal mendorong penduduk desa menjadi bodoh. Hanya bisa menerima kenyataan
hidup seperti kapas yang terombang-ambing oleh angin, kemana arus angin
kesitulah dia akan berlabuh. Berada di buntut ideologi kekuasaan, ingin menantang
arus tapi tak punya power untuk melawan. Demokrasi tidak memberikan ruang partisipatif
bagi kemajuan desa, ironisnya lagi, demokrasi malah menjadikan manusia
individualistik dan melenyapkan kebersamaan NKRI.
Demokrasi juga telah melahirkan sikap
apatistik terhadap sesama manusia, terutama kultur masyarakat urban. Kemajuan
teknologi kian membuat mereka adu speed dalam menyongsong masa depan yang
dianggap kemajuan. Namun kelupaan telah melanggengkan kebodohan yang
beranak-pinak dari generasi ke generasi oleh sistem yang berunsur kesengajaan
agar mereka tetap diperbudak untuk selamanya.
Sama halnya pada masa lalu kolonial di negeri
ini yang pernah menancapkan tongkatnya. Dimana, warga akar rumput sengaja tidak
diberikan pendidikan layak dengan metode meningkatkan biaya pendidikan dengan
setinggi-tingginya sejauh tidak terjangkau oleh masyarakat. Ada semacam
ketakutan manakala masyarakat lebih pintar tentu menjadi ancaman terhadap
eksistensi mereka. Sedikit berbeda pada era sekarang, dimana tidak lagi
menggunakan metode dan secara lantang dapat terlihat, tetapi digunakan dengan
cara yang lebih halus sehingga luput dari penglihatan.
Inilah sisi gelap bangsa ini, demokrasi
diagungkan seakan-akan dijadikan sebuah ideologi suci dan dianggap dapat
memberikan hak terhadap masing-masing orang sesuai dengan asas tertentu. Tapi
masyarakat tidak pernah lupa akan luka yang mereka alami, demokrasi tidak mampu
memberikan kesempatan pada masyarakat desa untuk memilih mana yang layak untuk
keberlangsungan kehidupan desa.
Jika dilihat dari sejarah penduduk yang tinggal dipedalaman, mereka
cukup pintar dalam menjaga kelestarian walau memang masih tradisional tapi itu
cukup memberikan kebutuhan yang mencukupi. Seiring perjalanan mereka dihantui
oleh kemajuan sehingga ada sesuatu terenggut dari kebiasaan sehari-hari yang
sudah berjalan dari puluhan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar