26 Desember 2013

Bosisme Elit Lokal

oleh Sopliadi

Bosisme juga dikenal dengan sebutan “pialang” atau pengusaha lokal yang memiliki posisi monopolitik abadi terhadap keoersi dan sumber-sumber di daerah kekuasaan masing-masing. Politik lokal menurut John T. Sidel ditandai oleh pemilihan kepala daerah; pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Yang memperoleh kakayaan dan kekuasaan bukan dari kepemilikan pribadi, tetapi dari sumber pendapatan negara, misalnya APBD. Ini adalah fenomena monopolitik otonomi daerah lebih dikenal dengan desentralisasi hasil peleburan dari sentralistik. Transformasi dari sentrifugal ke sentripetal, terjadinya transnarasi; dari narasi besar ke narasi-narasi kecil.
Bosisme lokal untuk mendapatkan kekuasaan dengan ragam cara, ada yang menggunakan sistem politik moneter dan ada juga dengan poltik ancaman. Melalui mafia dan premanisme dianggap salah satu strategi kompetisi politik yang menjanjikan untuk memenangkan pemilu kepala daerah. Cara ini juga dipakai oleh filsuf Machiavelli; menggunakan ancaman untuk mengkerahkan ketakutan terhadap masyarakat sipil agar tunduk kepada kekuasaan. Janji kesejahteraan rakyat dimanifulasi oleh bosisme lokal demi menciptkan kesejahteraan elit politik. Keberhasilan dalam menempatkan diri atau menarik anggota keluarga mereka dalam jabatan jabatan penting di daerah untuk menjadikan alokasi sumber daya berjalan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Tumbuh subur di dalam masyarakat dengan membangun jaringan keluarga mirip dengan jaringan laba-laba dengan kontrol sosial yang efektif dan terpecah-pecah. Bagaimana jaring laba-laba menjadi perangkap setiap musuh yang lewat, bahkan sampai ada yang mati karena tidak bisa keluar dari jebakan laba-laba. Para bosisme menjalankan bisnis keluar daerah dengan menggunakan anggaran APBD, bukan untuk mensejahterakan masyarakat. Contoh kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, elit politik lokal mengeksploitasi anggaran dana APBD untuk kekayaan kelompok. Menurut hasil riset Komisi Transparansi Indonesia, NTT dikenal dengan sarangnya koruptor terbesar di indonesia dan menjadi tempat penumpukan kekayaan bagi para elit lokal.
Setiap pemilu berlangsung menjadi pertarungan tim sukses dalam menaikkan pamor bosisme lokal. Untuk menggenjot keuntungan besar, rela menghabiskan waktu mereka dengan kesibukan untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat. Ketidakberdayaan masyarakat karena keterbelakangan pendidikan mempermudah jalan masuk bagi tim sukses dalam menjalankan visi dan misinya dengan segala rayuan dan gombalan. Ingar bingar pemilu pun terjadi dengan bagi-bagi uang bagi mereka yang akan memilih. Pesta demokrasi dengan segala janji palsu menjadi cara efektif yang dilakukan para bosisme untuk mendapatkan kekuasaan. Akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi demokrasi, hanya sebatas simbol tanpa substansi.

Pemilu tetap dijalankan secara reguler, namun tidak ada perubahan yang konkret, institusi nampak bekerja, namun persoalan hidup masyarakat, seperti penegakan HAM, pemberantasan korupsi tetap tidak tersentuh oleh kinerja institusi. Ingar bingar kompetisi antar partai politik berubah menjadi kolusi antar elit setelah pemilu. Demokrasi hanya ritus prosedural minus dengan isi. Politik sekarang menggunakan metode manipulasi dan persuasi dengan menggelembungkan citra dan semboyan “politik santun” lewat media massa. Akhirnya masa yang jinak tidak mampu melawan kekuasaan yang semakin menindas, karena berada di bawah pantat kekuasaan.

Tidak ada komentar: