oleh Sopliadi
Bosisme juga dikenal
dengan sebutan “pialang” atau pengusaha lokal yang memiliki posisi monopolitik
abadi terhadap keoersi dan sumber-sumber di daerah kekuasaan masing-masing.
Politik lokal menurut John T. Sidel ditandai oleh pemilihan kepala daerah;
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Yang memperoleh kakayaan dan
kekuasaan bukan dari kepemilikan pribadi, tetapi dari sumber pendapatan negara,
misalnya APBD. Ini adalah fenomena monopolitik otonomi daerah lebih dikenal
dengan desentralisasi hasil peleburan dari sentralistik. Transformasi dari
sentrifugal ke sentripetal, terjadinya transnarasi; dari narasi besar ke
narasi-narasi kecil.
Bosisme lokal untuk mendapatkan
kekuasaan dengan ragam cara, ada yang menggunakan sistem politik moneter dan
ada juga dengan poltik ancaman. Melalui mafia dan premanisme dianggap salah
satu strategi kompetisi politik yang menjanjikan untuk memenangkan pemilu
kepala daerah. Cara ini juga dipakai oleh filsuf Machiavelli; menggunakan
ancaman untuk mengkerahkan ketakutan terhadap masyarakat sipil agar tunduk
kepada kekuasaan. Janji kesejahteraan rakyat dimanifulasi oleh bosisme lokal
demi menciptkan kesejahteraan elit politik. Keberhasilan dalam menempatkan diri
atau menarik anggota keluarga mereka dalam jabatan jabatan penting di daerah
untuk menjadikan alokasi sumber daya berjalan sesuai dengan kepentingan mereka
masing-masing.
Tumbuh subur di dalam
masyarakat dengan membangun jaringan keluarga mirip dengan jaringan laba-laba
dengan kontrol sosial yang efektif dan terpecah-pecah. Bagaimana jaring
laba-laba menjadi perangkap setiap musuh yang lewat, bahkan sampai ada yang
mati karena tidak bisa keluar dari jebakan laba-laba. Para bosisme menjalankan
bisnis keluar daerah dengan menggunakan anggaran APBD, bukan untuk
mensejahterakan masyarakat. Contoh kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur,
elit politik lokal mengeksploitasi anggaran dana APBD untuk kekayaan kelompok.
Menurut hasil riset Komisi Transparansi Indonesia, NTT dikenal dengan sarangnya
koruptor terbesar di indonesia dan menjadi tempat penumpukan kekayaan bagi para
elit lokal.
Setiap pemilu
berlangsung menjadi pertarungan tim sukses dalam menaikkan pamor bosisme lokal.
Untuk menggenjot keuntungan besar, rela menghabiskan waktu mereka dengan
kesibukan untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat. Ketidakberdayaan
masyarakat karena keterbelakangan pendidikan mempermudah jalan masuk bagi tim
sukses dalam menjalankan visi dan misinya dengan segala rayuan dan gombalan.
Ingar bingar pemilu pun terjadi dengan bagi-bagi uang bagi mereka yang akan
memilih. Pesta demokrasi dengan segala janji palsu menjadi cara efektif yang
dilakukan para bosisme untuk mendapatkan kekuasaan. Akhirnya bermuara pada
hancurnya fungsi institusi demokrasi, hanya sebatas simbol tanpa substansi.
Pemilu tetap
dijalankan secara reguler, namun tidak ada perubahan yang konkret, institusi
nampak bekerja, namun persoalan hidup masyarakat, seperti penegakan HAM,
pemberantasan korupsi tetap tidak tersentuh oleh kinerja institusi. Ingar
bingar kompetisi antar partai politik berubah menjadi kolusi antar elit setelah
pemilu. Demokrasi hanya ritus prosedural minus dengan isi. Politik sekarang
menggunakan metode manipulasi dan persuasi dengan menggelembungkan citra dan
semboyan “politik santun” lewat media massa. Akhirnya masa yang jinak tidak
mampu melawan kekuasaan yang semakin menindas, karena berada di bawah pantat
kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar