27 Desember 2013

Menembus Bayang-bayang Ketidakpastian


oleh Sopliadi


Dalam kegalauan serta dipenuhi perasaan gelisah acap kali membuat seseorang diombang-ambingkan oleh bundaran keraguan. Harapan seolah-olah kian redup untuk menjadi sebuah kenyataan.  Masa lalu begitu absurd untuk direfleksikan ulang, bahkan masa depan yang idealnya sebagai spirit melangkah keburu ditepis oleh bayang-bayang ketidakpastian. Senyatanya kita telah kehilangan mutiara yang berharga oleh realitas semu. Masihkah di antara kita mau bangkit dan merenggut kembali mutiara yang hilang itu! Atau kita hanya berpangku tangan dan membiarkan semua tenggelam begitu saja tanpa ada keinginan sama sekali untuk menyelami hingga ke dasar samudera. Apakah pasrah dan keikhlasan dibenarkan menjadi kata terakhir untuk menjadi diam. Dasar kemauan adalah tapak awal untuk memberi jawaban atas semua kegelisahan akan keterhilangan suatu yang berharga dalam diri kita.
Dunia bukanlah suatu yang terberi secara alamiah melainkan hasil konstruksi yang diciptakan segelintir manusia. Besar kemungkinan ada rahasia di balik kenapa manusia diberikan akal fikiran oleh sang khalik dibanding makhluk lain, agar manusia dapat menggunakannnya sesuai kapasitas yang dimilki demi kebutuhan tertentu sejauh masih berada dalam standar norma yang berlaku, sehingga misteri yang belum terpecahkan sesegera mungkin diminimalisir via akal dan fikiran dalam setiap manusia. Kendatipun, tak banyak sebagian kita yang mampu menggunakan akal sesuai dengan potensi masing-masing individu untuk memahami makna setiap apa yang bisa ditangkap oleh panca indera. Memandang sejauh apa yang dijangkau oleh mata telanjang tanpa keinginan untuk mengetahui arti di balik itu semua. Kebenaran hanya dipandang selagi itu dianggap baik dengan standar kebenaran konvensional yang berlaku dalam msayarakat umum. Lebih lagi panca indera digunakan hanya sebatas  memahami makna yang tersurat akan realitas dan melupakan makna yang tersirat di dalamnya.  
Egoisme sudah mendominasi jiwa-jiwa yang tak tercerahkan oleh aroma pengetahuan. Sejauh ia krisis akan epistimologi kebenaran saat itu pulalah dengan mudah digoyah oleh kehendak nafsu yang sarat melahirkan kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan implikasi dari semua itu. Rintihan jiwa tak lagi terdengar akibat bendungan nafsu begitu merajalela tanpa menyisakan ruang bagi jiwa akan sebuah kebenaran. Logika kapitalistik semakin menjadi-jadi setiap tindak-tanduk langkah kebijakan nafsu. Tubuh pun menjadi penjara bagi jiwa meminjam istilah hegel, kepemilikan  sebatang tubuh menjadi kontradiksi tak terelakkan oleh dualisme yang tinggal dalam satu rumah. Mana yang kuat dialah yang akan mengusai samudera, begitulah filsuf Hobbes mengatakan. Sungguh ironis, namun apa mau dikata nafsu mengalahkan semuanya, jiwapun kian meronta-ronta dan penuh kesakitan karena harus tinggal dengan musuh dalam satu atap.
Sinergesitas antara jiwa dan fikiran memiliki jalan yang sungguh berbeda untuk menciptakan totalitas kehidupan harmonis. Komunikasi antar keduanya semakin tak terjalin bahkan sudah berada di gerbang kehancuran. Hanya tersisa satu langkah untuk sampai pada titik di mana mereka tidak akan pernah saling tatap muka. Di tengah ketidakpastian, jiwa menjadi sangat penting untuk mengembalikan mutiara yang hilang. Namun egoisme fikiran menolak sebuah kebaikan. Sampai kapan kontardiksi ini akan berakhir? Di sinilah kematangan spritual dibutuhkan agar fikiran refres ulang atas perbuatannya selama ini. Di samping itu juga kehilangan atas jiwanya sesegera mungkin ditemukan kembali yang sudah sekian lama tak hadir dalam pengambilan kebijakan di negerinya sendiri. Dengan harapan jiwa dan fikiran dapat bersatu dalam menciptakan totalitas tubuh secara bersama demi terwujudnya kehidupan yang lebih bermakna dari sebelumnya.
Tulisan ini tak hanya berhenti di sini, lebih lanjut jika seandainya negeri dianologikan dengan tubuh tanpa kontribusi jiwa dijalankan dengan cara berfikir masyarakat global dewasa ini yang sangat didominasi oleh cara berfikir rasional dan hanya mengagungkan satu rasio tanpa memperdulikan emosional seperti jiwa dalam sebatang tubuh. Tentu akan mengalami hal yang sama seperti tubuh umpamanya. Di mana setiap lini kehidupan sosial, baik itu di kalangan cendekiawan, ilmuan, sastrawan, politisi maupun masyarakat, sudah dikuasai oleh akal fikiran fokusnya lagi adalah nafsu. Ketika jiwa sudah dikesampingkan, negeri ini tak akan menemukan apa yang dinamakan kebahagiaan.  Dunia global sekarang ini menuju ke arah apa yang dikatakan oleh Antonio Giddens  sebagai “dunia yang tunggang langgang”. Manusia semakin kehilangan dunianya, tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Speed perkembangan zaman kian mengalahkan sifat alamiah manusia, rasio sudah menguasai segala aspek kehidupan, tidak hanya di bidang ekonomi jauh dari itu bagaimana kebersamaan yang dulu sangat rentan terjadi kini semakin memudar. Globalisasi membuat manusia semakin buas dan banal terhadap sesama. Sikap individualistik menjadi-jadi dan semakin menciptakan tatanan yang chaos jauh dari apa yang diharapkan.
Negeri semakin melahirkan ketidaksadaran manusia akan sebuah arti kehidupan bersama. Kedalaman makna terhadap realitas tak lagi menjadi keprihatinan bersama, ironisnya lagi, ketidakpercayaan semakin meningkatkan intensitasnya. Konflik dimana-mana, bahkan pembunuhan tak jarang terlihat oleh mata telanjang. Setiap hari kita menyaksikan kasus demi kasus semakin meningkat, dan sudah menjadi bahan konsusmsi media setiap ada insiden pembunuhan. Ini menunjukkan bagaimana tingginya tingkat kriminalitas di negeri ini. Para birokrat tak lagi memiliki rasa malu tampil di layar kaca yang terjerat kasus korupsi, bahkan kian membahana. Diberitakan bagaimana kekayaan yang dimiliki aparat begitu boombastis melebihi pendapatan sesuai jabatannya. Negeri ini terlunta-lunta dan sedih melihat penghuninya yang tidak lagi bisa mengindahkan dunianya.
Sama halnya dengan tubuh manusia jika penghuninya hanya menempuh satu jalan tanpa mengikutsertakan jiwanya, negeri ini akan selamanya mengalami hal yang sama jika manusia masih didominasi oleh nafsu tanpa ada kemauan untuk kembali pada yang esensial. Pemimpin tak lagi memimpin dengan hati dan perasaan, semua dikalahkan oleh logika keuntungan. Kecelakaan besar bila rasio dianggap suatu kebenaran tak terbantahkan. Di tengah amburadul yang dialami negeri ini berharap manusia mau kembali pada hakikatnya yaitu ciptaan Tuhan. Dengan begitu, kita bisa kembali pada spritualitas agar jiwa yang terkubur dapat bangkit kembali ke permukaan untuk memberi secercah harapan. Munggkin sudah menjadi cita-cita bersama untuk menjadikan negeri ini menjadi lebih bermartabat sesuai denga cita-cita Bung Besar kita. Kepercayaan adalah kekuatan luhur bangsa ini.
Perlu adanya singkronisasi antara fikiran dan jiwa manusia agar ketidakpastian tidak lagi menajdi hantu yang menakutkan. Sudah saatnya kita kembali pada apa yang menjadi hakikat sebagai makhluk pengembara. Saling menyayangi satu sama lain, menghilangkan sikap apatisme yang berlebihan agar jiwa kita tetap bersih. Hanya itu yang bisa mengobati luka bangsa ini. Kejahatan tak lagi dibalas dengan kejahatan, kejahatan hanya bisa ditaklukan dengan kebaikan. Betapa indanhnya negeri ini jika manusainya saling memiliki rasa akan penderitaan orang lain. Rasa itu tak perlu dicari ke negeri paman sam sana, kerena dia sudah ada sejak kita menginjakkan kaki di bumi nusantara ini. Hanya saja perlu ada keinginan untuk menumbuhkannya kembali. Percayalah Tuhan sangat senang melihat mahkluknya jauh dari pertikaian.



Tidak ada komentar: