Dalam kegalauan serta dipenuhi perasaan gelisah
acap kali membuat seseorang diombang-ambingkan oleh bundaran keraguan. Harapan seolah-olah
kian redup untuk menjadi sebuah kenyataan.
Masa lalu begitu absurd untuk direfleksikan ulang, bahkan masa depan
yang idealnya sebagai spirit melangkah keburu ditepis oleh bayang-bayang
ketidakpastian. Senyatanya kita telah kehilangan mutiara yang berharga oleh
realitas semu. Masihkah di antara kita mau bangkit dan merenggut kembali
mutiara yang hilang itu! Atau kita hanya berpangku tangan dan membiarkan semua tenggelam
begitu saja tanpa ada keinginan sama sekali untuk menyelami hingga ke dasar
samudera. Apakah pasrah dan keikhlasan dibenarkan menjadi kata terakhir untuk menjadi
diam. Dasar kemauan adalah tapak awal untuk memberi jawaban atas semua
kegelisahan akan keterhilangan suatu yang berharga dalam diri kita.
Dunia bukanlah suatu yang terberi secara alamiah
melainkan hasil konstruksi yang diciptakan segelintir manusia. Besar kemungkinan
ada rahasia di balik kenapa manusia diberikan akal fikiran oleh sang khalik dibanding
makhluk lain, agar manusia dapat menggunakannnya sesuai kapasitas yang dimilki
demi kebutuhan tertentu sejauh masih berada dalam standar norma yang berlaku, sehingga
misteri yang belum terpecahkan sesegera mungkin diminimalisir via akal dan
fikiran dalam setiap manusia. Kendatipun, tak banyak sebagian kita yang mampu
menggunakan akal sesuai dengan potensi masing-masing individu untuk memahami makna
setiap apa yang bisa ditangkap oleh panca indera. Memandang sejauh apa yang
dijangkau oleh mata telanjang tanpa keinginan untuk mengetahui arti di balik
itu semua. Kebenaran hanya dipandang selagi itu dianggap baik dengan standar
kebenaran konvensional yang berlaku dalam msayarakat umum. Lebih lagi panca
indera digunakan hanya sebatas memahami
makna yang tersurat akan realitas dan melupakan makna yang tersirat di
dalamnya.
Egoisme sudah mendominasi jiwa-jiwa yang tak
tercerahkan oleh aroma pengetahuan. Sejauh ia krisis akan epistimologi
kebenaran saat itu pulalah dengan mudah digoyah oleh kehendak nafsu yang sarat
melahirkan kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan implikasi dari semua itu.
Rintihan jiwa tak lagi terdengar akibat bendungan nafsu begitu merajalela tanpa
menyisakan ruang bagi jiwa akan sebuah kebenaran. Logika kapitalistik semakin
menjadi-jadi setiap tindak-tanduk langkah kebijakan nafsu. Tubuh pun menjadi
penjara bagi jiwa meminjam istilah hegel, kepemilikan sebatang tubuh menjadi kontradiksi tak terelakkan
oleh dualisme yang tinggal dalam satu rumah. Mana yang kuat dialah yang akan
mengusai samudera, begitulah filsuf Hobbes mengatakan. Sungguh ironis, namun
apa mau dikata nafsu mengalahkan semuanya, jiwapun kian meronta-ronta dan penuh
kesakitan karena harus tinggal dengan musuh dalam satu atap.
Sinergesitas antara jiwa dan fikiran memiliki jalan
yang sungguh berbeda untuk menciptakan totalitas kehidupan harmonis. Komunikasi
antar keduanya semakin tak terjalin bahkan sudah berada di gerbang kehancuran.
Hanya tersisa satu langkah untuk sampai pada titik di mana mereka tidak akan
pernah saling tatap muka. Di tengah ketidakpastian, jiwa menjadi sangat penting
untuk mengembalikan mutiara yang hilang. Namun egoisme fikiran menolak sebuah
kebaikan. Sampai kapan kontardiksi ini akan berakhir? Di sinilah kematangan
spritual dibutuhkan agar fikiran refres ulang atas perbuatannya selama ini. Di
samping itu juga kehilangan atas jiwanya sesegera mungkin ditemukan kembali
yang sudah sekian lama tak hadir dalam pengambilan kebijakan di negerinya
sendiri. Dengan harapan jiwa dan fikiran dapat bersatu dalam menciptakan
totalitas tubuh secara bersama demi terwujudnya kehidupan yang lebih bermakna
dari sebelumnya.
Tulisan ini tak hanya berhenti di sini, lebih
lanjut jika seandainya negeri dianologikan dengan tubuh tanpa kontribusi jiwa dijalankan
dengan cara berfikir masyarakat global dewasa ini yang sangat didominasi oleh
cara berfikir rasional dan hanya mengagungkan satu rasio tanpa memperdulikan emosional
seperti jiwa dalam sebatang tubuh. Tentu akan mengalami hal yang sama seperti
tubuh umpamanya. Di mana setiap lini kehidupan sosial, baik itu di kalangan
cendekiawan, ilmuan, sastrawan, politisi maupun masyarakat, sudah dikuasai oleh
akal fikiran fokusnya lagi adalah nafsu. Ketika jiwa sudah dikesampingkan,
negeri ini tak akan menemukan apa yang dinamakan kebahagiaan. Dunia global sekarang ini menuju ke arah apa
yang dikatakan oleh Antonio Giddens
sebagai “dunia yang tunggang langgang”. Manusia semakin kehilangan
dunianya, tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Speed
perkembangan zaman kian mengalahkan sifat alamiah manusia, rasio sudah
menguasai segala aspek kehidupan, tidak hanya di bidang ekonomi jauh dari itu
bagaimana kebersamaan yang dulu sangat rentan terjadi kini semakin memudar. Globalisasi
membuat manusia semakin buas dan banal terhadap sesama. Sikap individualistik
menjadi-jadi dan semakin menciptakan tatanan yang chaos jauh dari apa yang
diharapkan.
Negeri semakin melahirkan ketidaksadaran manusia
akan sebuah arti kehidupan bersama. Kedalaman makna terhadap realitas tak lagi
menjadi keprihatinan bersama, ironisnya lagi, ketidakpercayaan semakin
meningkatkan intensitasnya. Konflik dimana-mana, bahkan pembunuhan tak jarang
terlihat oleh mata telanjang. Setiap hari kita menyaksikan kasus demi kasus
semakin meningkat, dan sudah menjadi bahan konsusmsi media setiap ada insiden pembunuhan.
Ini menunjukkan bagaimana tingginya tingkat kriminalitas di negeri ini. Para
birokrat tak lagi memiliki rasa malu tampil di layar kaca yang terjerat kasus
korupsi, bahkan kian membahana. Diberitakan bagaimana kekayaan yang dimiliki
aparat begitu boombastis melebihi pendapatan sesuai jabatannya. Negeri ini
terlunta-lunta dan sedih melihat penghuninya yang tidak lagi bisa mengindahkan
dunianya.
Sama halnya dengan tubuh manusia jika penghuninya
hanya menempuh satu jalan tanpa mengikutsertakan jiwanya, negeri ini akan
selamanya mengalami hal yang sama jika manusia masih didominasi oleh nafsu
tanpa ada kemauan untuk kembali pada yang esensial. Pemimpin tak lagi memimpin
dengan hati dan perasaan, semua dikalahkan oleh logika keuntungan. Kecelakaan
besar bila rasio dianggap suatu kebenaran tak terbantahkan. Di tengah amburadul
yang dialami negeri ini berharap manusia mau kembali pada hakikatnya yaitu
ciptaan Tuhan. Dengan begitu, kita bisa kembali pada spritualitas agar jiwa
yang terkubur dapat bangkit kembali ke permukaan untuk memberi secercah
harapan. Munggkin sudah menjadi cita-cita bersama untuk menjadikan negeri ini
menjadi lebih bermartabat sesuai denga cita-cita Bung Besar kita. Kepercayaan
adalah kekuatan luhur bangsa ini.
Perlu adanya singkronisasi antara fikiran dan jiwa
manusia agar ketidakpastian tidak lagi menajdi hantu yang menakutkan. Sudah
saatnya kita kembali pada apa yang menjadi hakikat sebagai makhluk pengembara.
Saling menyayangi satu sama lain, menghilangkan sikap apatisme yang berlebihan
agar jiwa kita tetap bersih. Hanya itu yang bisa mengobati luka bangsa ini.
Kejahatan tak lagi dibalas dengan kejahatan, kejahatan hanya bisa ditaklukan
dengan kebaikan. Betapa indanhnya negeri ini jika manusainya saling memiliki
rasa akan penderitaan orang lain. Rasa itu tak perlu dicari ke negeri paman sam
sana, kerena dia sudah ada sejak kita menginjakkan kaki di bumi nusantara ini.
Hanya saja perlu ada keinginan untuk menumbuhkannya kembali. Percayalah Tuhan
sangat senang melihat mahkluknya jauh dari pertikaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar