Suku Anak Dalam |
Tiada yang berbeda di
antara kita. Punya cita-cita, harapan, dan semua itu sudah dimiliki oleh setiap
insan di muka bumi ini. Hanya saja masih ada yang sudah mewujudkannya dan
sebagian masih ada yang terkatung-katung di tengah hutan belantara. Cita-cita
dan harapan tak pernah memilih dan memilah dimana ia akan nangkring. Juga tak
membedakan kelas sosial yang dikatakan Marx, baik itu suku, agama, ras, semua
dihinggapinya selama manusia itu masih menghirup udara segar di pagi hari. Tapi
kenapa kita selalu mencari perbedaan? Dan kenapa perbedaan itu harus ada. Atau manusia
saat ini sudah berhenti berfikir sehingga pertanyaan itu sudah dianggap usang,
tinggal menunggu kapan ajal akan menjemputnya. Matinya rasionalitas yang
berujung pada kelupaan, lupa mencari kesamaan yang tersembunyi di balik
perbedaan. Akal fikiran yang dikatakan hegel tak kunjung melampaui animalitas,
sehingga perbedaan kian melebarkan tabir pemisah. Tatkala ruang sosial sudah
mengalami kematian tak ada lagi kebaikan yang bisa diciptakan, manusia semakin
buas dan menjadi predator satu sama lain.
Entah kenapa perbedaan
seringkali membuat seseorang lupa akan warna, mana yang merah dan mana yang
abu-abu. Semuanya jadi kabur. Warna merah selamanya akan merah, namun tak ada
keinginan untuk mengkombinasikannya dengan warna abu-abu untuk menciptakan panorama
yang indah. Betapa indahnya dunia ini andaikata semua penghuninya
mengkombinasikan warna perbedaan menjadi sebuah warna yang sama dengan nilai
estetika yang tinggi tanpa harus meninggalkan perbedaan yang ada. Itulah harapan
yang masih terombang-ambing oleh banalitas dunia. Sebagai manusia yang
diciptakan tak seharusnya mencari perbedaan. Betapa pilunya hidup seorang anak
manusia jika dikucilkan dari kehidupan sosial hanya karena perbedaan. Begitu juga
halnya dengan Suku Anak Dalam yang memiliki harapan yang sama dengan manusia
pada umunya. Masih terngiang di telinga bangsa ini akan sebait syair “rocker
juga manusia” yang sempat populer tahun 2000-an. Selain enak didengar, pesan
moral yang disampaikan juga sangat menyayat hati, bagaimana segerombolan
anak-anak muda yang menyuarakan aspirasinya lewat sebuah lirik lagu agar
eksistensi mereka dapat diterima oleh khalayak umum tanpa harus
membeda-bedakan.
Suku Anak Dalam juga
manusia! Tapi kenapa kita harus memberi perlakuan semena-mena terhadap mereka. Tanpa
pernah mengindahkan nilai-nilai moral yang pernah tumbuh-kembang di negeri
pertiwi ini. Bahkan ada sebagian kita merusak dan merampas hak-hak mereka demi
kepentingan birahi belaka. Tak mau tau bahkan tak pernah akan tau bagaimana
perasaan manakala semua kepemilikan warisan para leluhur mereka harus
diserahkan begitu saja tanpa ada balasan setimpal. Bahkan tidak hanya
kehilangan tempat tinggal, isteri dan anak-anak ikut menjadi korban buah perlakuan
rentek-rentek kaum penguasa. Yang notabene lulusan megister of...tapi minus nurani.
Hasil pendidikan kapitalisme global yang sangat memuja-muja hasil tapi minim
martabat. Degradasi moral kian melanda, pendidikan tak lagi memanusiakan
manusia mengutip kata Freire. Ironisnya lagi, pendidikan hanya menciptakan
lulusan yang siap melayani kepentingan pemilik modal. Akhirnya, masyarakat
jualah yang menelan pil pahit buah dari salah kaprahnya implementasi pengetahuan
tanpa pencerahan.
Kisah seputar Suku Anak
Dalam tiada hentinya dibicarakan, baik
itu di media massa maupun di kalangan akademisi. Jauh sebelum kehadiran dunia
modern, manusia sudah menginjakkan kaki di muka bumi. Dulu, kehidupan manusia
masih sangat subsisten, alam digunakan sebatas kebutuhan semata. Untuk bertahan
hidup, mereka harus belajar dengan alam. Bercocok tanam menjadi pilihan agar
kelangsungan alam dapat terjaga dengan baik. Di sekolah dasar kita diajarkan
sejarah, bagaimana siklus kehidupan nenek moyang dahulu kala yang dikenal “manusia
purba” dengan segala simbol melekat pada diri mereka. Begitu juga dengan
kehidupan Suku Anak Dalam, sangat identik dengan latar kehidupan masa silam. Seiring
perkembangan zaman SAD kian dipinggirkan oleh kehadiran globalisasi super
canggih. Bahkan mereka kehilangan dunianya, kehadiran dunia modern membuat
mereka harus hidup dalam hutan belantara. Jauh dari segala hiruk-pikuk dunia
dan aroma kemewahan.
Itulah sepenggal kisah
Suku Anak Dalam, masih jauh dari apa yang pernah terlintas di benak kepala. Sebelum
peristiwa yang menimpa SAD atas penggusuran yang dilakukan oleh sekelompok
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melibatkan beberapa aparat militer
yang konon “keamanan” negeri ini, bukannya mengamankan masyarakat malah menjadi
ancaman. Sungguh ironis, tapi itulah kenyataan. Namun, ada sebuah peristiwa tak kalah menarik yang
sangat menyayat hati. Dimana cerita ini berawal dari meninggalnya salah seorang
Suku Anak Dalam. Saat deketahui kematiannya, tak satupun dari warga
kampung memiliki keinginan untuk melayat
jenazahnya layak manusia pada lazimnya. Ironisnya lagi, jasad tersebut dibiarkan
begitu saja terkapar dan membiarkan menjadi lahapan ulat-ulat ganas. Layaknya kematian
seekor binatang di tengah semak belukar. Alasan yang paling mendasar kenapa
jenazah tidak dimakamkan adalah karena mereka dianggap tidak memiliki agama.
Siapapun mendengar
kisah-kisah tersebut pasti akan berkata “sungguh keterlaluan”. Tapi kenyataan
tak bisa dipungkiri, dia lahir sebagai realitas yang nyata. Karena alasan agama
menjadi penghalang untuk berbuat kebajikan. Tidak ada yang mengatakan kalau
Suku Anak Dalam bukan manusia, dia sama-sama ciptaan Tuhan dan sudah sewajar
mereka mendapat perlakuan yang sama. Tapi karena perbedaan membuat manusia kehilangan
cinta satu sama lain. Agama kian membuat sekolompok orang menjadi abnormal. Satu
sisi agama mengajarkan kepada manusia bagaimana mencintai satu sama lain, di
sisi lain membuat kita saling membenci. Benci terhadap orang yang berbeda
agama, benci terhadap orang non-agama. Pemahaman agama seringkali
terkota-terkotak, dan sarat dengan kekerasan. Ya, itulah agama, dia tidak hanya
melahirkan manusia paradoks, juga meretas fanatisme.
Latar belakang agama
bukanlah parameter untuk tidak berbuat kebajikan. Apalagi menyangkut
kemaslahatan manusia. Biar bagaimanapun seseorang yang tidak memiliki agama,
tapi pandanglah mereka sebagai manusia. Memiliki hak terhadap negeri sendiri. Ada
harapan yang coba mereka bangun, mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud. Tapi kenapa kita harus mengubur mimpi-mimpi
mereka hanya demi kepentingan semata. Melakukan kekerasan dengan gencatan
senjata untuk kepentingan penguasa. Hati nurani bukanlah barang komoditas di
pasar global. Dia merupakan mutiara berharga dalam diri manusia agar dapat
merasakan arti sebuah kebersamaan. Sama rasa dan sama rata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar