31 Desember 2013

Sepenggal Cerita Suku Anak Dalam



Suku Anak Dalam
Oleh Sopliadi

Tiada yang berbeda di antara kita. Punya cita-cita, harapan, dan semua itu sudah dimiliki oleh setiap insan di muka bumi ini. Hanya saja masih ada yang sudah mewujudkannya dan sebagian masih ada yang terkatung-katung di tengah hutan belantara. Cita-cita dan harapan tak pernah memilih dan memilah dimana ia akan nangkring. Juga tak membedakan kelas sosial yang dikatakan Marx, baik itu suku, agama, ras, semua dihinggapinya selama manusia itu masih menghirup udara segar di pagi hari. Tapi kenapa kita selalu mencari perbedaan? Dan kenapa perbedaan itu harus ada. Atau manusia saat ini sudah berhenti berfikir sehingga pertanyaan itu sudah dianggap usang, tinggal menunggu kapan ajal akan menjemputnya. Matinya rasionalitas yang berujung pada kelupaan, lupa mencari kesamaan yang tersembunyi di balik perbedaan. Akal fikiran yang dikatakan hegel tak kunjung melampaui animalitas, sehingga perbedaan kian melebarkan tabir pemisah. Tatkala ruang sosial sudah mengalami kematian tak ada lagi kebaikan yang bisa diciptakan, manusia semakin buas dan menjadi predator satu sama lain.
Entah kenapa perbedaan seringkali membuat seseorang lupa akan warna, mana yang merah dan mana yang abu-abu. Semuanya jadi kabur. Warna merah selamanya akan merah, namun tak ada keinginan untuk mengkombinasikannya dengan warna abu-abu untuk menciptakan panorama yang indah. Betapa indahnya dunia ini andaikata semua penghuninya mengkombinasikan warna perbedaan menjadi sebuah warna yang sama dengan nilai estetika yang tinggi tanpa harus meninggalkan perbedaan yang ada. Itulah harapan yang masih terombang-ambing oleh banalitas dunia. Sebagai manusia yang diciptakan tak seharusnya mencari perbedaan. Betapa pilunya hidup seorang anak manusia jika dikucilkan dari kehidupan sosial hanya karena perbedaan. Begitu juga halnya dengan Suku Anak Dalam yang memiliki harapan yang sama dengan manusia pada umunya. Masih terngiang di telinga bangsa ini akan sebait syair “rocker juga manusia” yang sempat populer tahun 2000-an. Selain enak didengar, pesan moral yang disampaikan juga sangat menyayat hati, bagaimana segerombolan anak-anak muda yang menyuarakan aspirasinya lewat sebuah lirik lagu agar eksistensi mereka dapat diterima oleh khalayak umum tanpa harus membeda-bedakan.
Suku Anak Dalam juga manusia! Tapi kenapa kita harus memberi perlakuan semena-mena terhadap mereka. Tanpa pernah mengindahkan nilai-nilai moral yang pernah tumbuh-kembang di negeri pertiwi ini. Bahkan ada sebagian kita merusak dan merampas hak-hak mereka demi kepentingan birahi belaka. Tak mau tau bahkan tak pernah akan tau bagaimana perasaan manakala semua kepemilikan warisan para leluhur mereka harus diserahkan begitu saja tanpa ada balasan setimpal. Bahkan tidak hanya kehilangan tempat tinggal, isteri dan anak-anak ikut menjadi korban buah perlakuan rentek-rentek kaum penguasa. Yang notabene lulusan megister of...tapi minus nurani. Hasil pendidikan kapitalisme global yang sangat memuja-muja hasil tapi minim martabat. Degradasi moral kian melanda, pendidikan tak lagi memanusiakan manusia mengutip kata Freire. Ironisnya lagi, pendidikan hanya menciptakan lulusan yang siap melayani kepentingan pemilik modal. Akhirnya, masyarakat jualah yang menelan pil pahit buah dari salah kaprahnya implementasi pengetahuan tanpa pencerahan.
Kisah seputar Suku Anak Dalam  tiada hentinya dibicarakan, baik itu di media massa maupun di kalangan akademisi. Jauh sebelum kehadiran dunia modern, manusia sudah menginjakkan kaki di muka bumi. Dulu, kehidupan manusia masih sangat subsisten, alam digunakan sebatas kebutuhan semata. Untuk bertahan hidup, mereka harus belajar dengan alam. Bercocok tanam menjadi pilihan agar kelangsungan alam dapat terjaga dengan baik. Di sekolah dasar kita diajarkan sejarah, bagaimana siklus kehidupan nenek moyang dahulu kala yang dikenal “manusia purba” dengan segala simbol melekat pada diri mereka. Begitu juga dengan kehidupan Suku Anak Dalam, sangat identik dengan latar kehidupan masa silam. Seiring perkembangan zaman SAD kian dipinggirkan oleh kehadiran globalisasi super canggih. Bahkan mereka kehilangan dunianya, kehadiran dunia modern membuat mereka harus hidup dalam hutan belantara. Jauh dari segala hiruk-pikuk dunia dan aroma kemewahan.
Itulah sepenggal kisah Suku Anak Dalam, masih jauh dari apa yang pernah terlintas di benak kepala. Sebelum peristiwa yang menimpa SAD atas penggusuran yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melibatkan beberapa aparat militer yang konon “keamanan” negeri ini, bukannya mengamankan masyarakat malah menjadi ancaman. Sungguh ironis, tapi itulah kenyataan. Namun,  ada sebuah peristiwa tak kalah menarik yang sangat menyayat hati. Dimana cerita ini berawal dari meninggalnya salah seorang Suku Anak Dalam. Saat deketahui kematiannya, tak satupun dari warga kampung  memiliki keinginan untuk melayat jenazahnya layak manusia pada lazimnya. Ironisnya lagi, jasad tersebut dibiarkan begitu saja terkapar dan membiarkan menjadi lahapan ulat-ulat ganas. Layaknya kematian seekor binatang di tengah semak belukar. Alasan yang paling mendasar kenapa jenazah tidak dimakamkan adalah karena mereka dianggap tidak memiliki agama.
Siapapun mendengar kisah-kisah tersebut pasti akan berkata “sungguh keterlaluan”. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri, dia lahir sebagai realitas yang nyata. Karena alasan agama menjadi penghalang untuk berbuat kebajikan. Tidak ada yang mengatakan kalau Suku Anak Dalam bukan manusia, dia sama-sama ciptaan Tuhan dan sudah sewajar mereka mendapat perlakuan yang sama. Tapi karena perbedaan membuat manusia kehilangan cinta satu sama lain. Agama kian membuat sekolompok orang menjadi abnormal. Satu sisi agama mengajarkan kepada manusia bagaimana mencintai satu sama lain, di sisi lain membuat kita saling membenci. Benci terhadap orang yang berbeda agama, benci terhadap orang non-agama. Pemahaman agama seringkali terkota-terkotak, dan sarat dengan kekerasan. Ya, itulah agama, dia tidak hanya melahirkan manusia paradoks, juga meretas fanatisme.
Latar belakang agama bukanlah parameter untuk tidak berbuat kebajikan. Apalagi menyangkut kemaslahatan manusia. Biar bagaimanapun seseorang yang tidak memiliki agama, tapi pandanglah mereka sebagai manusia. Memiliki hak terhadap negeri sendiri. Ada harapan yang coba mereka bangun, mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud.  Tapi kenapa kita harus mengubur mimpi-mimpi mereka hanya demi kepentingan semata. Melakukan kekerasan dengan gencatan senjata untuk kepentingan penguasa. Hati nurani bukanlah barang komoditas di pasar global. Dia merupakan mutiara berharga dalam diri manusia agar dapat merasakan arti sebuah kebersamaan. Sama rasa dan sama rata.



Tidak ada komentar: