27 Mei 2014

Distorsi Penguasaan Media Massa


Oleh: Sopliadi

Tiga puluh dua tahun Indonesia di bawah bayangan hantu otoritarian yang dipimpin oleh seorang diktator dengan begitu represif. Era kekuasaannya semua dibungkam dengan segala cara yang bervariatif. Termasuk membenarkan kekerasan sebagai amunisi bagi pihak yang ingin mencoba melawan. Apa yang dikatakan Alquin “vok populi, vok dei” (suara rakyat adalah suara tuhan) tiada pernah diindahkan. Gaungan rakyat hanyalah nyanyian pengantar tidur bagi mereka yang terlelap dalam kemewahan hasil jeri payah orang-orang kecil.
Saluran-saluran demokratisasi pada masa orde baru sangat tertutup. Di kampus diterapkan apa yang disebut sebagai Badan Koordinasi Kampus. Normalisasi Kehidupan Kampus, yang sangat mengekang gerakan mahasiswa. Kreatifitas dan kebebasan berekspresi tak lagi dapat dinikmati. Tak ada lagi ruang bagi media untuk meyampaikan kebenaran informasi kepada masyarakat akibat tekanan begitu kuat.
Kebebasan pers dikekang untuk menutupi kebusukan atas perbuatan rezim saat itu. Pers tak ada lagi yang kritis, sehingga penerbitan pers mahasiswa sebagai pers alternatif pun menjadi media pendidikan politik yang sangat strategis bagi masyarakat. Walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, kita harus menyadari bahwa pers akan menjadi bebas atau tidaknya tergantung kepada rezim yang sedang berkuasa. Tapi, bukan bearti kebenaran diharamkan.
Kendati demikian, hantu orde baru dengan segala kerakusannya tidak bertahan lama. Seiring perjalanan tepat pada tahun 1997-1998 keruntuhannya mulai terasa, buah ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat. Hingga sekarang peristiwa itu masih menjadi misteri, tumbangnya rezim tersebut memang bukti nyata dari ketidakpuasan rakyat atau ada intervensi “imposible hand” yang punya kepentingan dan hajatan. Atau jangan-jangan masyarakat hanya dijadikan aktor dalam sebuah pertunjukan, dan skenario dari semua itu tergantung dalang yang mempunyai hajatan.
Seiring perjalanan, pasca tumbangnya rezim Soeharto, reformasi pun dikumandangkan manifestasi berakihirnya era kediktatoran. Pada masa ini arus reformasi membawa kebebasan serta demokratisasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Maka pengekangan pada pers tidak terjadi lagi, baik umum maupun pers mahasiswa.
Demokrasi dituntut agar kebebasan sedapat mungkin melebarkan sayap disegala dimensi supaya rakyat menikmati dan ikut serta dalam agenda pemerintahan. Ragam agenda digulirkan dalam lingkup reformasi sejauh demi kepentingan masyarakat dan tidak menyalahi asas yang telah ditentukan maka dapat dibenarkan. Begitu juga dengan pers, mendapat tempat secara proporsional sesuai dengan koridor undang-undang pers. Bahkan pers menjadi pilar ke-empat. Sekaligus mendapat posisi strategis dalam mengambil peran sebagai instrumen untuk menyampaikan informasi secara objektif.
Berbagai media pers pun bermuculan dengan landasan ingin mengabdi kepada masyarakat dan menampung aspirasi-aspirasi suara mereka lewat media yang ada. Di dalam pers dikatakan, dalam mencari fakta pers harus objektif dan selalu berpijak pada kode etik. Karena dia merupakan kompas petunjuk arah selama operasional media berjalan. Dengan harapan, ke-depan pers menjadi anjing penjaga setiap perjalanan pemerintahan negeri ini. Daya kontrol media sangat diharapkan agar tercipta pemerintahan good governance sesuai dengan apa yang telah menjadi cita-cita semangat demokrasi. Karena demokrasi dianggap dapat memberikan ruang partisipasi masyarakat yang tidak hanya sebatas bersuara, tapi juga termasuk di dalamnya bagaimana perlindungan dan hak-hak dapat dijamin dengan sebaik mungkin.
Tapi, yang terjadi jauh dari apa yang didambakan. Semangat yang dibawa reformasi kehilangan ruh, kepingan-kepingan kebenaran mulai terlihat kabur. Demokrasi hanya menjadi ajang pengais rezeki bagi para elit. Rasa malu tak lagi tertanam dalam wajah-wajah para birokrat bangsa ini. Apa yang diimpikan oleh Bapak Proklamator kelahiran Bukit Tinggi itu masih sangat jauh dari apa yang pernah dia bayangkan. Demokrasi kian menciptakan abnormalitas, kian memperdalam jurang bagi orang-orang kecil.
Begitu juga dengan media-media mulai kehilangan independensi dalam menyampaikan informasi. Kebenaran seringkali diambil secara sepihak tanpa ada interpretasi secara mendalam terhadap sebuah realitas. Fenomena menjadi kebenaran tunggal hasil kontruksi pemikiran moderen, tanpa mempertimbangkan noumena sebagai wujud kebenaran yang lebih tinggi. Masih mengagungkan imajiner dan menghilangkan imajinasi.
Bulan madu media dengan partai politik kian mencuat di permukaan. Seakan-akan media mengalami distorsi dan disorientasi. Apa yang dibicarakan media sudah dikonstruksi sebaik mungkin sehingga ada kesan ingin mengubah pandangan pendapat publik terhadap sebuah peristiwa yang terjadi. Isu yang satu belum clar isu lain pun muncul untuk menutupi isu yang lebih besar.
Pemandangan seperti ini sudah menjadi kelaziman media-media saat ini. Bahkan tak pelak media kerap memberitakan peristiwa di luar kelaziman. Apa yang disampaikan media hanya kebenaran yang terpotong-potong, sehingga menimbulkan multi-interpretasi membabi buta terhadap sebuah fenomena. Media menjadikan peristiwa tidak penting menjadi penting, seolah-olah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, padahal kenyataannya tidak. Membesar-besarkan suatu peristiwa, namun dampaknya terhadap masyarakat  menjadi nihil.
Apalagi mendekati ajang pemilu 2014, panggung bersimbah uang. Segala kekuatan dikerahkan demi singgasana kekuasaan. Bahkan media sendiri ikut andil dalam menyokong kesuksesan pemilu. Dengan berbagai cara dilakukan, baik lewat iklan politik maupun dengan cara membangun citra masing-masing kandidat. Kebenaran dikesampingkan dan terkesan menutupi kenyataan yang sebenarnya karena harus memenuhi apa yang menjadi kehendak penguasa. Ketika media tidak lagi berjalan dalam koridor yang ada dan lebih mengedepankan kepentingan tertentu ketimbang menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat, apakah itu layak dikatakan independen?
Selain memberitakan keadaan yang sebenarnya media juga semestinya harus bisa keluar dari tekanan di atas. Karena jika apa yang tengah terjadi sekarang dan seterusnya media tetap berjalan di bawah kepentingan kelompok selamanya pemilu tidak akan berjalan dengan maksimal. Tiap kali pemberitaan disampaikan dengan lugas agar terkesan orisinil, dan menafikan apa yang tengah terjadi. Dengan lantang menampilkan sosok revolusioner yang berwajah populis seakan-akan terlihat layaknya Imam Mahdi sang juru penyelamat. Berslogan dengan rangkaian kata-kata penuh kebijaksanaa demi kepentingan masyarakat, “kalau bukan kita siapa lagi”. Menampilkan senyuman yang indah dipenuhi gelak ketawa masyarakat agar terkesan inilah pemimpin yang akan membawa perubahan.
“Demi menegakkan demokrasi kita harus senantiasa membuka ruang bagi orang kecil untuk mengemukakan pendapatnya. Memberi mereka pekerjaan. Menjadikan pendidikan gratis”. Begitulah yang terlihat tiap kali menatap layar kaca televisi. Pemilu layaknya panggung penuh kepura-puraan. Penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Ditambah semua stasiun yang ada dimiliki oleh orang tertentu yang notabene juga menjadi salah figur yang akan mencalonkan diri untuk tahun 2014. Dapatkah masyarakat memetik itu semua?
Bukankah pemilu sudah berjalan selama beberapa tahun yang lalu. Mereka juga menampilkan hal yang sama dan janji yang tak jauh berbeda. Hanya tampilan yang beda tapi isinnya tetap sama. Namun tetap saja dalam kenyataan tidak mengalami perubahan yang fundmental. Malah kian menjadikan negeri ini kian bobrok. Memperbesar angka kemiskinan ulah uang negara dikunyah habis-habisan. Apakah mereka bukan hasil pemilu? Masih ingat ketika mereka dengan lantang mengatakan stop korupsi, katakan tidak dengan korupsi. Kalau bukan bohong terus namanya apa?
Begitulah citra yang dibangun media. Mendesain sesuatu agar terlihat asli tapi malah terlihat tidak orisinil. Karena ribuan mata pernah menyaksikan tiap kali janji yang dilemparkan tak kunjung berbuah manis. Masyarakat bukan keledai yang mau jatuh ke lubanag sama. Karena pengalaman cukup memberikan mereka pelajaran yang dapat dipetik untuk dijadikan senjata bagi nasib masa depan bangsa. Nasib bangsa bukan di tangan pemimpin, juga bukan di tangan para elit di sana. Kita semua yang akan menentukan kemana bangsa ini akan melangkah.
Pemimpin tidak hanya dibutuhkan ketegasan, wibawa, sosialis, atau apalah nama yang lebih indah lagi. Di saat krisis kepemimpinan kita kembali mendambakam akan datang seorang pemimpin seorang filsuf yang memilik arete yang pernah diungkapkan Plato, selain bertanggung jawab juga dapat memimpin denga rasa, memimpin dengan hati dan perasaan. Merasakan apa itu kelaparan, pahitnya kehidupan yang harus mengemis kepada pemerintah yang hanya tahu makan enak dari hasil pajak rakyat. Itulah yang bangsa ini harapkan.


Tidak ada komentar: