31 Desember 2013

Sepenggal Cerita Suku Anak Dalam



Suku Anak Dalam
Oleh Sopliadi

Tiada yang berbeda di antara kita. Punya cita-cita, harapan, dan semua itu sudah dimiliki oleh setiap insan di muka bumi ini. Hanya saja masih ada yang sudah mewujudkannya dan sebagian masih ada yang terkatung-katung di tengah hutan belantara. Cita-cita dan harapan tak pernah memilih dan memilah dimana ia akan nangkring. Juga tak membedakan kelas sosial yang dikatakan Marx, baik itu suku, agama, ras, semua dihinggapinya selama manusia itu masih menghirup udara segar di pagi hari. Tapi kenapa kita selalu mencari perbedaan? Dan kenapa perbedaan itu harus ada. Atau manusia saat ini sudah berhenti berfikir sehingga pertanyaan itu sudah dianggap usang, tinggal menunggu kapan ajal akan menjemputnya. Matinya rasionalitas yang berujung pada kelupaan, lupa mencari kesamaan yang tersembunyi di balik perbedaan. Akal fikiran yang dikatakan hegel tak kunjung melampaui animalitas, sehingga perbedaan kian melebarkan tabir pemisah. Tatkala ruang sosial sudah mengalami kematian tak ada lagi kebaikan yang bisa diciptakan, manusia semakin buas dan menjadi predator satu sama lain.
Entah kenapa perbedaan seringkali membuat seseorang lupa akan warna, mana yang merah dan mana yang abu-abu. Semuanya jadi kabur. Warna merah selamanya akan merah, namun tak ada keinginan untuk mengkombinasikannya dengan warna abu-abu untuk menciptakan panorama yang indah. Betapa indahnya dunia ini andaikata semua penghuninya mengkombinasikan warna perbedaan menjadi sebuah warna yang sama dengan nilai estetika yang tinggi tanpa harus meninggalkan perbedaan yang ada. Itulah harapan yang masih terombang-ambing oleh banalitas dunia. Sebagai manusia yang diciptakan tak seharusnya mencari perbedaan. Betapa pilunya hidup seorang anak manusia jika dikucilkan dari kehidupan sosial hanya karena perbedaan. Begitu juga halnya dengan Suku Anak Dalam yang memiliki harapan yang sama dengan manusia pada umunya. Masih terngiang di telinga bangsa ini akan sebait syair “rocker juga manusia” yang sempat populer tahun 2000-an. Selain enak didengar, pesan moral yang disampaikan juga sangat menyayat hati, bagaimana segerombolan anak-anak muda yang menyuarakan aspirasinya lewat sebuah lirik lagu agar eksistensi mereka dapat diterima oleh khalayak umum tanpa harus membeda-bedakan.
Suku Anak Dalam juga manusia! Tapi kenapa kita harus memberi perlakuan semena-mena terhadap mereka. Tanpa pernah mengindahkan nilai-nilai moral yang pernah tumbuh-kembang di negeri pertiwi ini. Bahkan ada sebagian kita merusak dan merampas hak-hak mereka demi kepentingan birahi belaka. Tak mau tau bahkan tak pernah akan tau bagaimana perasaan manakala semua kepemilikan warisan para leluhur mereka harus diserahkan begitu saja tanpa ada balasan setimpal. Bahkan tidak hanya kehilangan tempat tinggal, isteri dan anak-anak ikut menjadi korban buah perlakuan rentek-rentek kaum penguasa. Yang notabene lulusan megister of...tapi minus nurani. Hasil pendidikan kapitalisme global yang sangat memuja-muja hasil tapi minim martabat. Degradasi moral kian melanda, pendidikan tak lagi memanusiakan manusia mengutip kata Freire. Ironisnya lagi, pendidikan hanya menciptakan lulusan yang siap melayani kepentingan pemilik modal. Akhirnya, masyarakat jualah yang menelan pil pahit buah dari salah kaprahnya implementasi pengetahuan tanpa pencerahan.
Kisah seputar Suku Anak Dalam  tiada hentinya dibicarakan, baik itu di media massa maupun di kalangan akademisi. Jauh sebelum kehadiran dunia modern, manusia sudah menginjakkan kaki di muka bumi. Dulu, kehidupan manusia masih sangat subsisten, alam digunakan sebatas kebutuhan semata. Untuk bertahan hidup, mereka harus belajar dengan alam. Bercocok tanam menjadi pilihan agar kelangsungan alam dapat terjaga dengan baik. Di sekolah dasar kita diajarkan sejarah, bagaimana siklus kehidupan nenek moyang dahulu kala yang dikenal “manusia purba” dengan segala simbol melekat pada diri mereka. Begitu juga dengan kehidupan Suku Anak Dalam, sangat identik dengan latar kehidupan masa silam. Seiring perkembangan zaman SAD kian dipinggirkan oleh kehadiran globalisasi super canggih. Bahkan mereka kehilangan dunianya, kehadiran dunia modern membuat mereka harus hidup dalam hutan belantara. Jauh dari segala hiruk-pikuk dunia dan aroma kemewahan.
Itulah sepenggal kisah Suku Anak Dalam, masih jauh dari apa yang pernah terlintas di benak kepala. Sebelum peristiwa yang menimpa SAD atas penggusuran yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melibatkan beberapa aparat militer yang konon “keamanan” negeri ini, bukannya mengamankan masyarakat malah menjadi ancaman. Sungguh ironis, tapi itulah kenyataan. Namun,  ada sebuah peristiwa tak kalah menarik yang sangat menyayat hati. Dimana cerita ini berawal dari meninggalnya salah seorang Suku Anak Dalam. Saat deketahui kematiannya, tak satupun dari warga kampung  memiliki keinginan untuk melayat jenazahnya layak manusia pada lazimnya. Ironisnya lagi, jasad tersebut dibiarkan begitu saja terkapar dan membiarkan menjadi lahapan ulat-ulat ganas. Layaknya kematian seekor binatang di tengah semak belukar. Alasan yang paling mendasar kenapa jenazah tidak dimakamkan adalah karena mereka dianggap tidak memiliki agama.
Siapapun mendengar kisah-kisah tersebut pasti akan berkata “sungguh keterlaluan”. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri, dia lahir sebagai realitas yang nyata. Karena alasan agama menjadi penghalang untuk berbuat kebajikan. Tidak ada yang mengatakan kalau Suku Anak Dalam bukan manusia, dia sama-sama ciptaan Tuhan dan sudah sewajar mereka mendapat perlakuan yang sama. Tapi karena perbedaan membuat manusia kehilangan cinta satu sama lain. Agama kian membuat sekolompok orang menjadi abnormal. Satu sisi agama mengajarkan kepada manusia bagaimana mencintai satu sama lain, di sisi lain membuat kita saling membenci. Benci terhadap orang yang berbeda agama, benci terhadap orang non-agama. Pemahaman agama seringkali terkota-terkotak, dan sarat dengan kekerasan. Ya, itulah agama, dia tidak hanya melahirkan manusia paradoks, juga meretas fanatisme.
Latar belakang agama bukanlah parameter untuk tidak berbuat kebajikan. Apalagi menyangkut kemaslahatan manusia. Biar bagaimanapun seseorang yang tidak memiliki agama, tapi pandanglah mereka sebagai manusia. Memiliki hak terhadap negeri sendiri. Ada harapan yang coba mereka bangun, mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud.  Tapi kenapa kita harus mengubur mimpi-mimpi mereka hanya demi kepentingan semata. Melakukan kekerasan dengan gencatan senjata untuk kepentingan penguasa. Hati nurani bukanlah barang komoditas di pasar global. Dia merupakan mutiara berharga dalam diri manusia agar dapat merasakan arti sebuah kebersamaan. Sama rasa dan sama rata.



29 Desember 2013

Esai: Pengaruh Politik Etnis di Pemilukada


oleh Sopliadi

Otonomi daerah sebagai rupa Reformasi diharapkan sanggup memeratakan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat tradisional dan meredakan kekakuan sosial politik akibat sistem sentralistik yang sepanjang 32 tahun berwenang. Kendatipun  demikian, otonomi daerah belum mampu sepenuhnya meredup luapan masyarakat di tingkat lokal. Pertikaian di aras nasional dengan mobilisasi rakyat merobohkan sang penguasa terangkut ke tingkat daerah. Percekcokan sosial politik meningkatkan intensitasnya.
Otonomi daerah menjadi detenator pemicu pemindahan konflik dari tingkat Nasional ke daerah, terjadi konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, atau pemerintah daerah tataran Provinsi dengan tataran di bawahnya. Selain itu juga terjadi konflik horizontal, berkisar antara anggota masyarakat sendiri. Reformasi yang diharapkan mewujudkan kehidupan demokrasi yang betul-betul di Indonesia, masih menjadi khyalan di banyak kalangan. Dalam rangkaian demokratisasi, persoalan partisipasi masyarakat yang lebih besar, representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di tingkat lokal.
Tuntutan bagi partisipasi dan representasi yang berpegang kepada kebenaran, sesungguhnya bukan hanya-sanya gugatan demokratisasi, tetapi juga prakondisi  untuk melahirkan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan keutamaan mayoritas penduduk Indonesia. Dipraktekkannya desentralisasi  dan otonomi daerah serta upaya  demokratisasi di jenjang lokal kian menghadirkan jumlah perkara baru, salah satunya  adalah tumbuhnya identitas-identitas lokal yang dijadikan sebagai karakter sebuah daerah.
Salah satu bentuk penciptaan identitas lokal ini adalah etnisitas. Masyarakat di daerah dalam rancangan mencari eksistensi diri menggunakan etnis sebagai basis kekuatan, keadaan ini berdampak pada munculnya konflik horizontal yang terjadi antar etnis dalam suatu daerah. Dalam perktek pemerintahan daerah selama ini, kerap kita temui adanya pemanfaatan etnis sebagai instrumen untuk medapatkan kedudukan strategis dalam pemerintahan daerah. Fenomena ini sering dijumpai ketika adanya kudeta kekuasaan di daerah, sehingga politik etnis menjadi kabar yang amat peka untuk dijadikan kekuatan politik segelintir elit lokal.
Berdasarkan undang-undang partai politik, tahun 2008 pasal 1 ayat 1 partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas basis kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarkat, Bangsa dan Negara, serta merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Juga sebagai salah satu sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi, platform dan dasar pemikiran. Bahwa fungsi platform parpol itulah  yang salah satunya bisa dijadikan pertimbangan untuk menilai demokratis tidaknya suatu pemerintahan.
Dari uraian di atas nyata bahwa partai politik dibentuk untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara universal, kepentingan anggota partai dalam artian bahwa partai politik merupakan salah satu tunggangan untuk memperoleh kekuasaan dalam legislatf dan eksekutif. Maka, dalam hal ini partai politik harus menjalankan fungsinnya sebagai kendaraan politik secara baik dan benar. Fungsi partai politik di Negara berkembang adalah mengakomodasikan basis massa yang stabil, saran integrasi dan mobilisasi, serta menjaga kelangsungan kehidupan politik.
Partai politik berfungsi sebagai sindikalisme pemerintah untuk menetaskan pemerintahan yang waras dan dapat menyejahterakan rakyat. Jika dilihat dari fungsi partai politik, partai politik merupakan wadah masyarakat untuk belajar berpolitik, penampung aspirasi masyarakat. Partai politik juga sebagai media pengontrol dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Parpol juga menjadi sarana untuk mencapai penigkatan kualitas dan kapasitas para kader parpol khususnya di tingkat lokal untuk memperkuat peran pemerintah daerah.
Sebutan etnis memang merupakan nama baru, adapun istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah istilah suku. Seiring dengan perkembangan zaman, suku atau etnis yang mula-mula merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai nilai-nilai budaya yang positif yang terbentuk sebagai sebuah komunitas paguyuban adat, serta membentuk dewan adat yang berfungsi sebagai lembaga adat  yang memfasilitasi masyarakat dalam membereskan konflik internal yang mulai merembes ke ranah politik. Persoalan ini muncul karena minimnya pemahaman dan kurangnya pendidikan politik yang selama ini diberikan oleh parpol.
Akibatnya, masyarakat mempersepsikan bahwa politik itu adalah perampasan kekuasaan setiap golongan etnis. Padahal politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik, dan juga politik adalah upaya untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, serta membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang seia sekata. Lebih tegas diungkapkan Rod Hague bahwa politik adalah kegiatan  yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggotanya.
Wacana mengenai politik etnisitas kembali menguat pada masa transisi politik ditataran lokal dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Konsep nasionalisme yang dibangun selama enam puluh tahun lebih kemudian menjadi konsep yang diperdebatkan eksistensinya. Pasca kemerdekaan, upaya membangun nasionalisme didasarkan atas jargon revolusi yang perasaan senasib sepenanggungan pun secara drastis. Sejarah munculnya politik etnisitas disebabkan terjadinya diskriminasi masa lalu. Karena itu, partai politik dituntut untuk menjalankan fungsinya dalam membuat keputusan secara kolektif.
Potensi-potensi konflik di antara kelompok asli dan negara akan terpicu ketika golongan mayoritas berhasrat menguasai sumber daya ekologis, ekonomi, atau sumber daya manusia di dalam wilayah penduduk asli. Dalam bentuk yang lebih konkret, konflik primordial ini berupa diskriminasi terhadap kelompok primordial yang jumlahnya lebih sedikit, bahkan dapat juga mengarah pada berkembangnya etnosentrisme atau antusiasme kedaerahan yang berlebihan. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah melingkapkan semakin meluasnya penggunaan istilah “putra daerah” sebagai parameter etnisitas.
Hal ini karena tidak diimbangi oleh pertimbangan profesionalisme dan prinsip persamaan hak bagi setiap komponen masyarakat lokal untuk berkompetisi, rekrutmen politik maupun rekrutmen birokrasi. Demikian pula, tuntutan untuk melakukan pemekaran wilayah atu pembentukkan kabupaten baru dapat menggambarkan fenomena pemuaian etnisitas, sekaligus perebutan penguasaan sumber daya alam tertentu. Ini juga bentuk gaya segar politik yang dilakukan oleh kandidat yang kalah dalam pemilihan kepala daerah. Kerena dengan adanya pemekaran daerah melebarkan peluang baru untuk menjadi pemimpin di derah baru, juga bagi koleganya. Yang kita tahu untuk menjadi sebuah daerah kabupaten baru bakal terbuka lebih banyak lowongan jabatan yang tersedia; mulai dari jabatan kepala daerah dan wakilnya, para asisten, Sekda, para KABAG, kepala dinas, dan lain sebagainya.

Dapat disimpulakan bahwa dampak politik etnisitas bagi kehidupan masyarakat di tingkat lokal yang dulu tidak ada perbedaan dalam status sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Kemudian politik etnisitas dalam pemilukada dapat berujung pada konflik yang fatal apabila elit-elit lokal tidak mempunyai kesiapan untuk menerima kekalahan. Konflik juga bisa terjadi karena parpol menjadikan etnis sebagai basis massa yang mengakibatkan sentimen antar golongan etnis yang berakhir pada konflik kepentingan. Dalam hal ini, institusi politik dianggap dapat meminimalisirkan konflik malah membuat egoisme etnisitas yang ada.

27 Desember 2013

Cinta itu Pelik

oleh Sopliadi

Cinta memang mudah untuk diucapkan, namun susah untuk memaknainya. Dalam rentang yang cukup lama dia bersemayam di relung hati dengan segala gundah gulana. Kekinian telah menuntut pribadi seseorang harus tunduk dengan tuntutan sosok yang dicintainya. Begitu juga halnya dengan penyampaian kata-kata, tak ada kemurnian. Selalu dibingkai dan dipermak semaksimal mungkin agar terkesan orisinal terhadap penerimanya. Gombal-gombalan menjadi kunci pamungkas yang dianggap senjata apik untuk meluluhkan hati pasangan. Segala cara bervariasi digunakan untuk menunjukkan keseriusan saat hubungan asmara berjalan. Begitulah adanya, cinta adalah panggung sandiwara dan kita sebagai aktor harus tunduk pada pembuat skenario.
Bohong dan benar tidak lagi bisa dibedakan, karena sudah menjadi satu dalam arti yang sama. Dalam kebohongan terkadang ada kebenaran dan dalam kebenaran ditemukan kebohongan. Apalagi menjalani hubungan kejauhan antar dua insan, kata-kata menjadi instrumen untuk meligitimasi kebingungan pasangan supaya benar-benar meyakinkan perasaan si-dia agar asmara tetap terjalin dan semakin memperkokoh posisi seseorang dalam menunjukkan kesetiaan. Pemberi harapan paslu (PHP) begitulah istilah mereka. Setia di era kekinian adalah modal utama untuk menggaetkan kaum hawa layaknya magnetis pemikat perhatian. Di jejaring sosial media kerap kita temukan sastrawan gadungan yang menggelembungkan citra dengan semboyan puitis “Cowok Setia” dengan rangkaian indah untuk mencuri perhatian para gadis.
Kesetiaan menjadi komoditas di pasar cinta dan menjadi akses seseorang untuk menuju singgasana “kebahagiaan”. Makna cinta menjadi absur ketika jatuh ke tangan yang salah, apalagi cinta kekinian  menjadi mediator bagi kedua insan untuk melakukan hubungan intim layaknya suami-istri yang sah. Bahkan fenomena semacam ini sudah tumbuh seperti jamur di musim hujan, parahnya lagi tidak hanya di kalangan dewasa tapi sudah merambah ke kalangan remaja akibat dari kurangnya kontrol orang tua. Ini hanyalah sekelumit persoalan dari sekian banyak masalah yang ada. Tapi itu patut kita waspadai dan menjadi tugas kita semua sebagai mahkluk yang mencintai satu dengan lainnya.
Peliknya perjalanan cinta membuat hubungan seseorang harus berhenti di persimpangan, berbagai alasan hipotesis kian bermunculan; pacaran kejauhan itu sulit, tidak ada kecocokan, tak dapat restu dari orang tua dan paling kerap menimpa yang berujung retak adalah hadirnya orang ketiga karena dianggap benalu perusak hubungan. Pernyataan seperti itu sering dijumpai di sekitar kita, bahkan kita sendiri tanpa disadari telah menjadi korban atas akibat salah mencintai. Namun lagi-lagi selalu cinta yang disalahkan. Manusia selalu benar, dan cinta selalu di pihak yang salah. Namun pernyataan itu akan menjadi lemah ketika ada yang putus cinta disebabkan oleh mahalnya ongkos. Sehingga pernyataan “cinta berat diongkos” menjadi kendala dan dianggap pembawa sial yang berakhir bumerang.
Bukan cinta yang salah tapi kita sudah salah mencintai, saya lebih sepakat dengan pernytaan ini, apabila ditelisik lebih jauh bukanlah salahnya cinta tapi memang terkadang kita sudah keliru dalam memaknakan cinta sesungguhnya. Ketika kita sendirian alias jomblo kata cinta tak akan berarti apa-apa, karena kata “cinta” bermakna terhadap orang yang memiliki pasangan. Tapi bukan berarti jomblowan tidak memiliki perasaan mencintai bukan juga tidak normal atau alergi dengan perempuan, namun ada alasan tersendiri terhadap memilih sendirian. Cinta adalah kata-kata yang tidak satupun orang yang bisa memaknainya apalagi menggambarkannya. Karena dia bersifat abstraks, tak bisa dilihat oleh indera tapi dapat dirasakan oleh hati, dan cinta bersemayam di lubuk hati yang paling dalam. Ini membuktikan kalau cinta itu tak kasat mata, perlu ada pemahaman yang luas dalam memberikan definisi terhadap cinta. Cinta tak perlu didefinisikan karena dia tak mampu diutarakan oleh ribuan kata-kata.
Cinta akan menjadi indah dan bermartabat jika jatuh ke tangan orang yang benar, namun dia akan bermakna kabur andaikata nangkring dalam tubuh yang salah. Dangkalnya pemahaman tentang cinta membuat seseorang inkosisten dalam menjalani sebuah hubungan, yang berbuah keretakkan dan perpecahan. Dalam percintaan, perempuan selalu menjadi objek sasaran para laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Perempuan selalu identik dengan barang tukar tambah layaknya barang bekas. Bahkan ada perempuan isi ulang, inilah kekeliruan terhadap interpretasi terhadap sosok perempuan yang dicintai. Bentuk dari warisan budaya patriarki yang sudah menjamur dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Stigma negatif terhadap perempuan sudah kian kuat buah dari kontruksi sosial yang dianggap mempersempit ruang bagi kaun hawa untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai ciptaan Tuhan.
Perempuan dan laki-laki adalah subyek dalam cinta, stigma yang berkembang dengan lantang mengatakan wanita adalah objek sangat sebuah kekeliruan dalam memahami apa itu cinta. Laki-laki mencintai seorang perempuan sudah wajar sebagai mahkluk normalitas ciptaan Tuhan, perempuan mencintai laki-laki juga sudah lumrah terjadi karena sama-sama memiliki perasaan mencintai. Tapi kebanyakan dikhalayak laki-laki menjadi pemecah rekor yang mencintai perempuan lebih dahulu. Karena pria mudah mencintai dan gampang meninggalkan, tapi perempuan lebih berhati-hati dalam memilih dan memilah mana pasangan yang dianggap cocok dan mampu menjadi imam baginya. Wanita terkesan hati-hati dan selalu mempertimbangkan dalam segala hal, tapi perempuan juga dianggap lemah dan gampang putus asa sebagai kodrat Ilahi yang harus diterima.




Menembus Bayang-bayang Ketidakpastian


oleh Sopliadi


Dalam kegalauan serta dipenuhi perasaan gelisah acap kali membuat seseorang diombang-ambingkan oleh bundaran keraguan. Harapan seolah-olah kian redup untuk menjadi sebuah kenyataan.  Masa lalu begitu absurd untuk direfleksikan ulang, bahkan masa depan yang idealnya sebagai spirit melangkah keburu ditepis oleh bayang-bayang ketidakpastian. Senyatanya kita telah kehilangan mutiara yang berharga oleh realitas semu. Masihkah di antara kita mau bangkit dan merenggut kembali mutiara yang hilang itu! Atau kita hanya berpangku tangan dan membiarkan semua tenggelam begitu saja tanpa ada keinginan sama sekali untuk menyelami hingga ke dasar samudera. Apakah pasrah dan keikhlasan dibenarkan menjadi kata terakhir untuk menjadi diam. Dasar kemauan adalah tapak awal untuk memberi jawaban atas semua kegelisahan akan keterhilangan suatu yang berharga dalam diri kita.
Dunia bukanlah suatu yang terberi secara alamiah melainkan hasil konstruksi yang diciptakan segelintir manusia. Besar kemungkinan ada rahasia di balik kenapa manusia diberikan akal fikiran oleh sang khalik dibanding makhluk lain, agar manusia dapat menggunakannnya sesuai kapasitas yang dimilki demi kebutuhan tertentu sejauh masih berada dalam standar norma yang berlaku, sehingga misteri yang belum terpecahkan sesegera mungkin diminimalisir via akal dan fikiran dalam setiap manusia. Kendatipun, tak banyak sebagian kita yang mampu menggunakan akal sesuai dengan potensi masing-masing individu untuk memahami makna setiap apa yang bisa ditangkap oleh panca indera. Memandang sejauh apa yang dijangkau oleh mata telanjang tanpa keinginan untuk mengetahui arti di balik itu semua. Kebenaran hanya dipandang selagi itu dianggap baik dengan standar kebenaran konvensional yang berlaku dalam msayarakat umum. Lebih lagi panca indera digunakan hanya sebatas  memahami makna yang tersurat akan realitas dan melupakan makna yang tersirat di dalamnya.  
Egoisme sudah mendominasi jiwa-jiwa yang tak tercerahkan oleh aroma pengetahuan. Sejauh ia krisis akan epistimologi kebenaran saat itu pulalah dengan mudah digoyah oleh kehendak nafsu yang sarat melahirkan kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan implikasi dari semua itu. Rintihan jiwa tak lagi terdengar akibat bendungan nafsu begitu merajalela tanpa menyisakan ruang bagi jiwa akan sebuah kebenaran. Logika kapitalistik semakin menjadi-jadi setiap tindak-tanduk langkah kebijakan nafsu. Tubuh pun menjadi penjara bagi jiwa meminjam istilah hegel, kepemilikan  sebatang tubuh menjadi kontradiksi tak terelakkan oleh dualisme yang tinggal dalam satu rumah. Mana yang kuat dialah yang akan mengusai samudera, begitulah filsuf Hobbes mengatakan. Sungguh ironis, namun apa mau dikata nafsu mengalahkan semuanya, jiwapun kian meronta-ronta dan penuh kesakitan karena harus tinggal dengan musuh dalam satu atap.
Sinergesitas antara jiwa dan fikiran memiliki jalan yang sungguh berbeda untuk menciptakan totalitas kehidupan harmonis. Komunikasi antar keduanya semakin tak terjalin bahkan sudah berada di gerbang kehancuran. Hanya tersisa satu langkah untuk sampai pada titik di mana mereka tidak akan pernah saling tatap muka. Di tengah ketidakpastian, jiwa menjadi sangat penting untuk mengembalikan mutiara yang hilang. Namun egoisme fikiran menolak sebuah kebaikan. Sampai kapan kontardiksi ini akan berakhir? Di sinilah kematangan spritual dibutuhkan agar fikiran refres ulang atas perbuatannya selama ini. Di samping itu juga kehilangan atas jiwanya sesegera mungkin ditemukan kembali yang sudah sekian lama tak hadir dalam pengambilan kebijakan di negerinya sendiri. Dengan harapan jiwa dan fikiran dapat bersatu dalam menciptakan totalitas tubuh secara bersama demi terwujudnya kehidupan yang lebih bermakna dari sebelumnya.
Tulisan ini tak hanya berhenti di sini, lebih lanjut jika seandainya negeri dianologikan dengan tubuh tanpa kontribusi jiwa dijalankan dengan cara berfikir masyarakat global dewasa ini yang sangat didominasi oleh cara berfikir rasional dan hanya mengagungkan satu rasio tanpa memperdulikan emosional seperti jiwa dalam sebatang tubuh. Tentu akan mengalami hal yang sama seperti tubuh umpamanya. Di mana setiap lini kehidupan sosial, baik itu di kalangan cendekiawan, ilmuan, sastrawan, politisi maupun masyarakat, sudah dikuasai oleh akal fikiran fokusnya lagi adalah nafsu. Ketika jiwa sudah dikesampingkan, negeri ini tak akan menemukan apa yang dinamakan kebahagiaan.  Dunia global sekarang ini menuju ke arah apa yang dikatakan oleh Antonio Giddens  sebagai “dunia yang tunggang langgang”. Manusia semakin kehilangan dunianya, tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Speed perkembangan zaman kian mengalahkan sifat alamiah manusia, rasio sudah menguasai segala aspek kehidupan, tidak hanya di bidang ekonomi jauh dari itu bagaimana kebersamaan yang dulu sangat rentan terjadi kini semakin memudar. Globalisasi membuat manusia semakin buas dan banal terhadap sesama. Sikap individualistik menjadi-jadi dan semakin menciptakan tatanan yang chaos jauh dari apa yang diharapkan.
Negeri semakin melahirkan ketidaksadaran manusia akan sebuah arti kehidupan bersama. Kedalaman makna terhadap realitas tak lagi menjadi keprihatinan bersama, ironisnya lagi, ketidakpercayaan semakin meningkatkan intensitasnya. Konflik dimana-mana, bahkan pembunuhan tak jarang terlihat oleh mata telanjang. Setiap hari kita menyaksikan kasus demi kasus semakin meningkat, dan sudah menjadi bahan konsusmsi media setiap ada insiden pembunuhan. Ini menunjukkan bagaimana tingginya tingkat kriminalitas di negeri ini. Para birokrat tak lagi memiliki rasa malu tampil di layar kaca yang terjerat kasus korupsi, bahkan kian membahana. Diberitakan bagaimana kekayaan yang dimiliki aparat begitu boombastis melebihi pendapatan sesuai jabatannya. Negeri ini terlunta-lunta dan sedih melihat penghuninya yang tidak lagi bisa mengindahkan dunianya.
Sama halnya dengan tubuh manusia jika penghuninya hanya menempuh satu jalan tanpa mengikutsertakan jiwanya, negeri ini akan selamanya mengalami hal yang sama jika manusia masih didominasi oleh nafsu tanpa ada kemauan untuk kembali pada yang esensial. Pemimpin tak lagi memimpin dengan hati dan perasaan, semua dikalahkan oleh logika keuntungan. Kecelakaan besar bila rasio dianggap suatu kebenaran tak terbantahkan. Di tengah amburadul yang dialami negeri ini berharap manusia mau kembali pada hakikatnya yaitu ciptaan Tuhan. Dengan begitu, kita bisa kembali pada spritualitas agar jiwa yang terkubur dapat bangkit kembali ke permukaan untuk memberi secercah harapan. Munggkin sudah menjadi cita-cita bersama untuk menjadikan negeri ini menjadi lebih bermartabat sesuai denga cita-cita Bung Besar kita. Kepercayaan adalah kekuatan luhur bangsa ini.
Perlu adanya singkronisasi antara fikiran dan jiwa manusia agar ketidakpastian tidak lagi menajdi hantu yang menakutkan. Sudah saatnya kita kembali pada apa yang menjadi hakikat sebagai makhluk pengembara. Saling menyayangi satu sama lain, menghilangkan sikap apatisme yang berlebihan agar jiwa kita tetap bersih. Hanya itu yang bisa mengobati luka bangsa ini. Kejahatan tak lagi dibalas dengan kejahatan, kejahatan hanya bisa ditaklukan dengan kebaikan. Betapa indanhnya negeri ini jika manusainya saling memiliki rasa akan penderitaan orang lain. Rasa itu tak perlu dicari ke negeri paman sam sana, kerena dia sudah ada sejak kita menginjakkan kaki di bumi nusantara ini. Hanya saja perlu ada keinginan untuk menumbuhkannya kembali. Percayalah Tuhan sangat senang melihat mahkluknya jauh dari pertikaian.



26 Desember 2013

Bosisme Elit Lokal

oleh Sopliadi

Bosisme juga dikenal dengan sebutan “pialang” atau pengusaha lokal yang memiliki posisi monopolitik abadi terhadap keoersi dan sumber-sumber di daerah kekuasaan masing-masing. Politik lokal menurut John T. Sidel ditandai oleh pemilihan kepala daerah; pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Yang memperoleh kakayaan dan kekuasaan bukan dari kepemilikan pribadi, tetapi dari sumber pendapatan negara, misalnya APBD. Ini adalah fenomena monopolitik otonomi daerah lebih dikenal dengan desentralisasi hasil peleburan dari sentralistik. Transformasi dari sentrifugal ke sentripetal, terjadinya transnarasi; dari narasi besar ke narasi-narasi kecil.
Bosisme lokal untuk mendapatkan kekuasaan dengan ragam cara, ada yang menggunakan sistem politik moneter dan ada juga dengan poltik ancaman. Melalui mafia dan premanisme dianggap salah satu strategi kompetisi politik yang menjanjikan untuk memenangkan pemilu kepala daerah. Cara ini juga dipakai oleh filsuf Machiavelli; menggunakan ancaman untuk mengkerahkan ketakutan terhadap masyarakat sipil agar tunduk kepada kekuasaan. Janji kesejahteraan rakyat dimanifulasi oleh bosisme lokal demi menciptkan kesejahteraan elit politik. Keberhasilan dalam menempatkan diri atau menarik anggota keluarga mereka dalam jabatan jabatan penting di daerah untuk menjadikan alokasi sumber daya berjalan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Tumbuh subur di dalam masyarakat dengan membangun jaringan keluarga mirip dengan jaringan laba-laba dengan kontrol sosial yang efektif dan terpecah-pecah. Bagaimana jaring laba-laba menjadi perangkap setiap musuh yang lewat, bahkan sampai ada yang mati karena tidak bisa keluar dari jebakan laba-laba. Para bosisme menjalankan bisnis keluar daerah dengan menggunakan anggaran APBD, bukan untuk mensejahterakan masyarakat. Contoh kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, elit politik lokal mengeksploitasi anggaran dana APBD untuk kekayaan kelompok. Menurut hasil riset Komisi Transparansi Indonesia, NTT dikenal dengan sarangnya koruptor terbesar di indonesia dan menjadi tempat penumpukan kekayaan bagi para elit lokal.
Setiap pemilu berlangsung menjadi pertarungan tim sukses dalam menaikkan pamor bosisme lokal. Untuk menggenjot keuntungan besar, rela menghabiskan waktu mereka dengan kesibukan untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat. Ketidakberdayaan masyarakat karena keterbelakangan pendidikan mempermudah jalan masuk bagi tim sukses dalam menjalankan visi dan misinya dengan segala rayuan dan gombalan. Ingar bingar pemilu pun terjadi dengan bagi-bagi uang bagi mereka yang akan memilih. Pesta demokrasi dengan segala janji palsu menjadi cara efektif yang dilakukan para bosisme untuk mendapatkan kekuasaan. Akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi demokrasi, hanya sebatas simbol tanpa substansi.

Pemilu tetap dijalankan secara reguler, namun tidak ada perubahan yang konkret, institusi nampak bekerja, namun persoalan hidup masyarakat, seperti penegakan HAM, pemberantasan korupsi tetap tidak tersentuh oleh kinerja institusi. Ingar bingar kompetisi antar partai politik berubah menjadi kolusi antar elit setelah pemilu. Demokrasi hanya ritus prosedural minus dengan isi. Politik sekarang menggunakan metode manipulasi dan persuasi dengan menggelembungkan citra dan semboyan “politik santun” lewat media massa. Akhirnya masa yang jinak tidak mampu melawan kekuasaan yang semakin menindas, karena berada di bawah pantat kekuasaan.

Manusia Pragmatis


oleh Sopliadi
Pandangan manusia yang diharapkan menentukan kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bangsa  terumus dalam Pancasila. Dengan sendirinya kita bertanya, bagaimana pelbagai pemandangan tentang manusia yang berpengaruh dalam percaturan ideologis dewasa ini harus dinilai dari segi Pancasila. Membicarakan manusia pragmatis yang positivistik perlu bertanya dulu yang dimaksud dengan pandangan pragmatis yang positivistik itu.
Manusia macam apa yang lazim disebut pragmatis? Manusia pragmatis adalah manusia yang sanggup untuk bertindak, yang tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul, melainkan sscara nyata berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Manusia pragmatis dalam mengahadapi kebakaran misalnya, tidak akan berdebat panjang lebar tentang cara penanggulangan kebakaran mana yang paling sesuai dengan manusia seutuhnya, melainkan segera akan memanggil dinas pemadam kebakaran, kemudian berusaha untuk sekedar membatasi amukan api.
Manusia pragmatis adalah manusia yang masih cukup manusawi untuk tidak melupakan kebutuhan orang-orang demi teori-teorinya. Pendek kata kalau kita mau maju dalam usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, kita memerlukan orang-orang yang pragmatis. Tidak banyak bicara dalam melakukan suatu pekerjaan dan langsung berbuat.
Masalah kita menjadi ruwet, apabila watak pragmatis  menjadi filsafat pragmatisme. Pragmatisme bersifat dua. Ia sekaligus merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagai kritik terhadap pendekatan ideologis pragmatisme mempertanyakan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan sebuah masalah, misalnya bagi pembangunan masyarakat. Apakah benar-tidaknya ideologi itu akan mengubah sesuatu pada pembangunan?
Pragmatisme mengkritik segala macam omongan tentang cita-cita, falsafah hidup, rumusan-rumusan suci yang tidak nyata memajukan masyarakat. Bukan keindahan suatu konsepsi, melainkan sumbangan nyata pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, itulah yang menentukan. Omongan hanyalah retorika yang memanifulasi dan persuasi akan makna itu sendiri.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi membuktikan kebenarannya apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, artinya, mengubah situasi yang penuh keraguan-keraguan dan keresahan sedemekian rupa hingga keraguan-keraguan dan keresahan itu hilang. Secara lebih sederhana malah terlalu sederhana; para tokoh pragmatisme sendiri  justru tidak sesederhana itu, maka filsafat mereka tetap penting; tetapi yang kita bicarakan adalah pragmatisme dalam vulgarisasi, pragmatisme menurut pengertian umum;  ayo jangan banyak omong, atasilah kesulitan yang ada.
Di mana pendekatan pragmatisme itu menjadi problematis? Sedikit menceritakan kisah sebuah desa yang terdengar ceritanya dari Romo yang bekerja di daerahanya. Di desa itu tidak ada petani kaya. Ada petani yang keadaannya lumayan, ada banyak yang cukup miskin. Masalah desa itu ialah bahwa letaknya sangat terpencil. Jalan yang dapat dilalui kendaraan beroda empat terhadang oleh sebuah sungai di dasar jurang yang dalam.
Hasli pertanian yang mau dijual ke kota dipikul oleh pemuda-pemuda desa itu turun menyeberangi sungai dan di seberang naik lagi, baru dapat diangkut dengan Colt. Untuk membuka itu pak lurah akhirnya uberhasil mendapat dana Inpres untuk membangun jembatan. Jembatan dibuka dengan upacara besar, bahkan pak bupati hadir. Sekarang hasil para petani dapat langsung diangkut dengan Colt ke kota.
Kita dapat menyebut pembangunan jembatan itu sebagai tindakan yang pragmatis. Ada masalah, isolasi desa itu, maka diambil tindakan; mengatasi isolasi itu dengan membangun jembatan. Tetapi apa akibat jembatan baru itu? Petani-petani yang cukup banyak hasil buminya langsung merasakan keuntungannya karena pemasaran hasil produksi mereka sekarang lebih cepat dan lebih murah.
Akan tetapi, para pemuda miskin yang dulu dapat hidup dari pemikulan desa menyeberang sungai, kehilangan pekerjaan. Uang yang dulu mereka peroleh, sekarang masuk kantung para pemilik Colt dari luar desa. Apa yang menarik perhatian dalam contoh itu? Bahwa pemecahan pragmatis masalah isolasi desa itu ternyata tidak netral, melainkan memihak; yang beruntung adalah mereka yang sudah lumayan keadaannya; mereka itu sekarang menjadi kaya.
Sedangkan yang hidupnya pasi-pasan sekarang kehilangan nafkah hidup sama sekali dan menjadi miskin betul. Mengapa sampai pemecahan pragmatis itu ternyata tidak adil? Kalau pragmatisme hanya sekedar mengutamakan tindakan nyata daripada omong kosong, tidak ada masalah. Tetapi kalau pragmatisme menolak apa yang disebut perselisihan teoretis, debat tentang prioritas, pertengkaran ideologis, pembahasan nilai-nilai dan sebagainya demi tindakan langsung, maka pragmatisme de facto melarang diskusi tentang legitimasi suatu tindakan.
Pragmatisme itu dapat kita sebut pragmatisme positivistik. Positivistik, karena positivisme menganggap pertengkaran tentang norma dan nilai sebagai omongan kosong yang irasional. Apa akibat pragmatisme positivistik itu? Akibatnya ialah bahwa tidak lagi terjadi diskusi terbuka tentang alternatif mana yang lebih baik. Seperti dalam contoh tadi; alternatif bahwa jembatan itu tetap tidak dibangun---agar jangan sampai penduduk pas-pasan menjadi miskin semata-mata demi kepentingan petani yang sudah lumayan keadaannya supaya bisa menjadi kaya,---atau agar jembatan itu hanya dibangun dengan jaminan-jaminan tertentu, tidak didiskusikan sama sekali; dianggap sudah barang tentu dengan adanya jembatan adalah lebih baik daripada tidak ada.
Padahal selalu ada beberapa alternatif. Kalau tidak ada diskusi mengenai baik-buruknya masing-masing alternatif yang ada, alternatif mana yang akan dipilih? Pertanyaan itu mudah dijawab; tentu alternatif yang dianggap paling baik oleh para perencana dan mereka yang berkuasa untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain, pragmatisme adalah sebuah ideologi terselubung, yaitu ideologi terselubung kaum teknorat dan para penguasa.
Terselubung karena pura-pura antiideologis, praktis, netral. Tetapi ideologis karena diam-diam menunjang kepentingan dan nilai-nilai para perencana dan kaum kuasa. Pragmatisme merupakan siasat para decision makers untuk mencegah perdebatan demokratis tentang arah mana yang mau kita ambil, untuk mencegah kontrol demokratis oleh semua pihak yang bersangkutan, dan sekaligus menjamin bahwa arah yang ditempuh sesuai dengan kepentingan para decision makers itu sendiri.
Apabila pembangunan pragmatis ditolak, apakah pembangunan harus ideologis? Dengan ideologis dimaksud setiap usaha yang memutlakkan suatu ide tertentu (selain hormat terhadap setiap manusia dalam kemampuannya untuk mengembangkan diri dalan dimensi-dimensi hakikinya). Jelaslah bahwa suatu pembangunan ideologis berlawanan dengan martabat manusia karena mengorbankan kebahagiaan dan kebebasannya demi suatu ide.
Setiap ide ciptaan manusia yang dimutlakkan mengorbankan manusia kongkret, karena orang lebih luas dan lebih kaya daripada segenap pikiran manusia tentang sesuatu. Dan setiap norma manusiawi yang dimutlakkan, selain hormat dan cinta terhadap segenap orang akhirnya menjadi pembunuh. Kecuali itu, setiap ideologi sekaligus merupakan legitimasi privilese penguasa sebagai pengemban ideologi itu untuk secara sepihak menentukan kehidupan masyarakat; atau dengan kata lain untuk mengembangkan masyarakat demi kepentingan mereka sendiri.
Apabila pendekatan ideologis tidak memadai untuk menghadapi pragmatisme, apa ada pendekatan lain lagi? Suatu pendekatan ketiga memang ada; yaitu pola pembangunan masyarakat yang dipertanggungjawabkan terhadap suatu sistem nilai dan cita-cita  yang dikemukakan secara eksplisit dan secara implisit termuat dalam pembenaran arah pembangunan itu oleh seluruh masyarakat yang bersangkutan.
Jadi pembangunan tidak secara pragmatis diserahkan kepada para perencana dan decision makers, juga tidak secara ideologis ditentukan oleh suatu sistem ide-ide ciptaan sementara orang, melainkan dipertanggungjawabkan pada nilai-nilai dasar masyarakat yang bersangkutan. Secara sederhana alternatif pembangunan yang dipilih seharusnya alternatif yang paling baik. Dan apa maksud ‘’paling baik” itu?
Baik-tidaknya suatu alternatif tergantung dari sesuai tindaknya dengan nilai-nilai dasar masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai itu harus dikemukakan dengan terbuka. Fakta bahwa suatu pembangunan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat itu akan kelihatan dalam tingkat persetujuan masyarakat terhadapnya. Dalam pengertan tidak ada semacam represi antara nilai-nilai yang menjadi alternatif yang diambil oleh masyaarakat yang bersangkutan.
Akan tetapi masih ada lubang yang perlu kita tutup. Kadang-kadang kita dapat menyaksikan bahwa pragmatisme tegas-tegas ditolak. Pembangunan dikatakan dijalankan sesuai dengan nilai-nilai bangsa itu. Nilai-nilai itu sendiri bagus-bagus, orang asing yang sopan mengangkat topi. Namun apa yang dihasilkan oleh pembangunan itu ternyata jauh dari apa yang diharapkan menurut nilai-nilai itu. Bagaimana itu mungkin?
Hal ini bisa saja terjadi, dan dengan mudah.pengumandangan nilai-nilai itu dapat menjadi tirai asap untuk menutup-nutupi kenyataan bahwa pembangunan tetap dijalankan secara pragmatis saja, sesuai dengan kepentingan para decision makers sendiri. Kita dapat berbicara tentang pragmatisme terselubung karena pragmatisme ini tertutup dengan hiasan nilai-nilai.
Untuk mencegah pragmatisme terselubung itu, perlu dirumuskan dan dilembagakan prinsip-prinsip pengoperasionalisasiannya. Karena yang menentukan martabat sebuah negara bukanlah prinsip-prinsip luhur yang dikumandangkan, melainkan bagaimana masyarakat itu secara nyata memperlakukan anggota-anggotanya. Atau, sebagaimana dirumus oleh kolumnis Theo Sommer dalam Newsweek baru-baru ini: “Proper procedures  are more important than lofty aims. This is what distinguishes civitilized states from arbitrary rule.”
Apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pengoperasionalisasian nilai-nilai dasar? Secara formal perlu ada undang-undang, peraturan, prosedur dan kebiasaan bertindak nyata yang mem memastikan bahwa negara secara nyata memperlakukan masyarakat menurut nilai-nilai dasar itu. Nilai-nilai itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum dan politik yang operasional. Untuk itu perlu disusun daftar hak-hak manusia sesuai dengan nilai-nilai itu.
Hak-hak manusia itu tidak boleh dijamah karena di dalamnya justru terungkap nilai-nilai dasar masyarakat yang normatif bagi setiap usaha pembangunan. Dengan pertimbangan ini dapat dimengerti mengapa di banyak negara di dunia terdapat kecondongan untuk membicarakan nilai-nilai dasar yang memang bagus, sedangkan penerjemahannya ke dalam realitas politik seret. Soalnya, bicara tentang nilai-nilai dasar itu belum mempunyai akibat operasional dan oleh karena itu belum menjamin sikap hormat yang nyata terhadap manusia. Jadi kita dapat saja bicara tentang nilai-nilai yang luhur, dan tetap menganut pragmatisme.
Kiranya tidak perlu diperlihatkan dengan panjang lebar lagi bahwa suatu pembangunan yang pragmatis-positivistik tidak sesuai dengan tuntutan Pancasila. Pancasila adalah sistem nilai-nilai dasar dan kepribadian bangsa Indonesia. Pembangunan di Indonesia tidak boleh pragmatis, tidak boleh berdasarkan salah satu ideologi, melainkan harus sesuai dengan Pancasila.
Tetapi perlu juga ditekankan: apakah pembangunan masyarakat kita betul-betul sesuai dengan Pancasila itu belum terjamin asal saja di mana-mana Pancasila diakui, melainkan hanyalah kalau sikap-sikap Pancasila betul-betul terwujud dalam hukum, peraturan, dan terutama dalam praktek dan kebiasaan bertindak aparatur negara. Jadi Pancasila baru berwujud apabila hak-hak asasi manusia Indonesia sebagai manusia, yaitu hak-hak yang mengungkapkan keyakinan bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa umat manusia seluruhnya tentang martabat segenap manusia, di mana pun juga dan terhadap siapa pun juga suci adanya.


Pengaruh Budaya K-pop

Oleh: Sopliadi


         Sadar atau tidak, segala simbolisme Budaya Pop sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan autentisitas kebudayaan lokal. Di sini, implikasinya akan terlihat ketika budaya lokal didominasi oleh budaya kontemporer. Apalagi di Indonesia, negara yang sedang mencoba duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa luar. Apapun itu yang bersifat baru datang ke-Indonesia ditelan bulat-bulat tanpa peduli dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Dinamika kehidupan semacam itu akan mengesampingkan budaya tradisional yang ada, yang notabene merupakan warisan nenek moyang yang wajib dijaga serta dirawat oleh segenap masyarakat tanah air. Terutama bagi regenerasi muda, yang merupakan aset berharga sekaligus calon pemimpin bangsa. Yang akan menjadi perintis jalan kebenaran untuk kemaslahatan umat. Supaya budaya peninggalan para leluhur dahulu dapat dipertahankan dari kebinasaan.
Namun apa mau dikata, realitas berbicara lain. Bukannya menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang ada, tapi malah terjebak dalam kubang budaya populer. Dengan segala ingar-bingar kemewahan. Ironisnya lagi, sudah menjadi “gaya hidup” anak muda zaman sekarang. Hal yang paling mendasarinya adalah; busana, gaya rambut, cara bicara dan makanan, yang beraromakan pop. Tanpa disadari secara perlahan diadopsi oleh kehidupan Indonesia itu sendiri.
Sungguh memprihatinkan lagi, munculnya budaya pop juga kian diadopsi oleh sebagian mahasiswa. Yang katanya agen perubahan (agen of change). Tak pelak, gaya hidupnya pun ikut pada irama gerakan modern. Kampus tak lagi menjadi tempat mengais pengetahuan, tapi kian menjelma ajang show layaknya mal. Dan menjadi tempat pameran kemewahan yang diimpor oleh produk luar.

Budaya Pop merupakan gaya hidup trend kontemporer. Selain menarik, juga karena memiliki daya pikat yang lebih tinggi. Dan banyak disukai oleh sebagian golongan. Apalagi dalam budaya kawula muda khususnya. Seiring waktu berjalan, ragam produknya mulai berkembang di Indonesia. Tidak hanya di pusat, bahkan sudah merembes hingga pelosok. Mulai dar busana, baik itu baju, celana, kemudian dipermak seindah mungkin layaknya fashion budaya pop.
Masuknya Budaya Pop juga tidak lepas dari peran media, karena merupakan salah satu instrumen penghubung hingga menjamurnya mode populer di Indonesia. Baik via televisi, majalah remaja, VCD player dan lain sebagainya. Dan ini semua tidak lepas dari intervensi pemilik modal yang sengaja memanfaatkan kesempatan yang terbuka demi meraup keuntungan yang lebih besar.
Budaya Populer sengaja didesain seindah mungkin agar generasi muda tergiur serta dapat merangsang rasa ingin memiliki atas produk yang mereka tawarkan. Akhirnya, anak-anak muda lebih memilih kepada nilai simbolik dengan segala pernak-pernik yang ada, bukan lagi pada nilai substansial dari barang tersebut.
 Sebagian ada yang mengatakan Budaya Pop lebih identik dengan ke- Indonesiaan, tetapi pemikiran mereka lebih cenderung Holliwood. Inilah yang membedakan dengan kebudayaan Indonesia. Di Indonesia sendiri gaya hidup pop juga dibilang lebay” dan terlalu berlebihan dan sangat dipuja. Sampai rela-relain beli alat aksesoris yang mahal demi mengikuti trendnya mode pop yang lagi membooming istilah anak muda sekarang. Sehingga muncul dengan istilah I-pop (Indonesia pop).  
 Kehadiran Budaya Pop ke-Indonesia pengaruhnya sangat besar, dan dapat memberi ancaman atas eksistensi kebudayaan sendiri. Apalagi kurangnya pemahaman serta pikiran terhadap nilai-nilai tradisional yang ada. Secara finansial, juga menguntungkan negara luar, dan meningkatkan produk-produk mereka seperti produksi akses komunikasi; HP Samsung, galaxy tech, yang signifikan.
 Budaya Pop juga menjadi medium komunikasi simbolik. Supaya tidak terjebak dalam pandangan konvensional, budaya tradisional dianggap kuno atau ketinggalan zaman dan tidak menarik. Kebudayaan dan masyarakat merupakan dua bentuk yang tidak dapat dipisahkan. Begitu juga kebudayaan dalam sebuah masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan komunikasi. Komunikasi penting bagi inovasi budaya dan budaya penting untuk kelangsungan hidup manusia. Melalui komunikasi kita membangun budaya, ketika berkomunikasi dengan yang lain.
  Budaya juga perlu dipahami secara dinamis. Yakni serangkaian ide, reaksi, yang berubah secara spontan dengan orang atau dengan kelompok itu sendiri. Budaya juga sebagai medium untuk menghubung antara individu pribadi dan komunitas kecil dengan kelompok yang lebih besar melalui nilai dan pemahaman itu sendiri. Esensi dari budaya merupakan pola perilaku masyarakat yang tertanam dalam bentuk simbolik. Di dalamnya terdapat tindakan maupun pola perilaku dalam tatanan kehidupan sosial.
  Inilah yang menjadi tanggung jawab kita semua untuk ke depan sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan sendiri. Dan menjadi tantangan bagi para intelektual muda agar tidak terperangkap ke dalam kubangan Budaya Pop. Agar budaya dan tradisi yang ada dalam masyarakat Indonesia tidak kehilangan eksistensinya. Sebagai Bangsa yang dinamis tidak serta merta menolak begitu saja dengan hal-hal baru, karena itu adalah bagian dari kemajuan. Namun, semangat kemajuan juga wajib disingkronkan dengan budaya tradisional agar tetap bisa bertahan di tengah kepopuleran budaya pop.