Pandangan
manusia yang diharapkan menentukan kehidupan masyarakat Indonesia sebagai
bangsa terumus dalam Pancasila. Dengan
sendirinya kita bertanya, bagaimana pelbagai pemandangan tentang manusia yang
berpengaruh dalam percaturan ideologis dewasa ini harus dinilai dari segi
Pancasila. Membicarakan manusia pragmatis yang positivistik perlu bertanya dulu
yang dimaksud dengan pandangan pragmatis yang positivistik itu.
Manusia
macam apa yang lazim disebut pragmatis? Manusia pragmatis adalah manusia yang
sanggup untuk bertindak, yang tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis
yang mandul, melainkan sscara nyata berusaha untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Manusia pragmatis dalam mengahadapi kebakaran misalnya, tidak akan
berdebat panjang lebar tentang cara penanggulangan kebakaran mana yang paling
sesuai dengan manusia seutuhnya, melainkan segera akan memanggil dinas pemadam
kebakaran, kemudian berusaha untuk sekedar membatasi amukan api.
Manusia
pragmatis adalah manusia yang masih cukup manusawi untuk tidak melupakan
kebutuhan orang-orang demi teori-teorinya. Pendek kata kalau kita mau maju
dalam usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
kita memerlukan orang-orang yang pragmatis. Tidak banyak bicara dalam melakukan
suatu pekerjaan dan langsung berbuat.
Masalah kita
menjadi ruwet, apabila watak pragmatis
menjadi filsafat pragmatisme. Pragmatisme bersifat dua. Ia sekaligus
merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah.
Sebagai kritik terhadap pendekatan ideologis pragmatisme mempertanyakan
relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan sebuah masalah, misalnya bagi
pembangunan masyarakat. Apakah benar-tidaknya ideologi itu akan mengubah
sesuatu pada pembangunan?
Pragmatisme
mengkritik segala macam omongan tentang cita-cita, falsafah hidup,
rumusan-rumusan suci yang tidak nyata memajukan masyarakat. Bukan keindahan
suatu konsepsi, melainkan sumbangan nyata pada pemecahan masalah yang dihadapi
masyarakat, itulah yang menentukan. Omongan hanyalah retorika yang memanifulasi
dan persuasi akan makna itu sendiri.
Sebagai prinsip
pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi
membuktikan kebenarannya apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, artinya,
mengubah situasi yang penuh keraguan-keraguan dan keresahan sedemekian rupa
hingga keraguan-keraguan dan keresahan itu hilang. Secara lebih sederhana malah
terlalu sederhana; para tokoh pragmatisme sendiri justru tidak sesederhana itu, maka filsafat
mereka tetap penting; tetapi yang kita bicarakan adalah pragmatisme dalam
vulgarisasi, pragmatisme menurut pengertian umum; ayo
jangan banyak omong, atasilah kesulitan yang ada.
Di mana
pendekatan pragmatisme itu menjadi problematis? Sedikit menceritakan kisah
sebuah desa yang terdengar ceritanya dari Romo yang bekerja di daerahanya. Di
desa itu tidak ada petani kaya. Ada petani yang keadaannya lumayan, ada banyak
yang cukup miskin. Masalah desa itu ialah bahwa letaknya sangat terpencil.
Jalan yang dapat dilalui kendaraan beroda empat terhadang oleh sebuah sungai di
dasar jurang yang dalam.
Hasli
pertanian yang mau dijual ke kota dipikul oleh pemuda-pemuda desa itu turun
menyeberangi sungai dan di seberang naik lagi, baru dapat diangkut dengan Colt.
Untuk membuka itu pak lurah akhirnya uberhasil mendapat dana Inpres untuk
membangun jembatan. Jembatan dibuka dengan upacara besar, bahkan pak bupati
hadir. Sekarang hasil para petani dapat langsung diangkut dengan Colt ke kota.
Kita dapat
menyebut pembangunan jembatan itu sebagai tindakan yang pragmatis. Ada masalah,
isolasi desa itu, maka diambil tindakan; mengatasi isolasi itu dengan membangun
jembatan. Tetapi apa akibat jembatan baru itu? Petani-petani yang cukup banyak
hasil buminya langsung merasakan keuntungannya karena pemasaran hasil produksi
mereka sekarang lebih cepat dan lebih murah.
Akan tetapi,
para pemuda miskin yang dulu dapat hidup dari pemikulan desa menyeberang
sungai, kehilangan pekerjaan. Uang yang dulu mereka peroleh, sekarang masuk
kantung para pemilik Colt dari luar desa. Apa yang menarik perhatian dalam
contoh itu? Bahwa pemecahan pragmatis masalah isolasi desa itu ternyata tidak
netral, melainkan memihak; yang beruntung adalah mereka yang sudah lumayan
keadaannya; mereka itu sekarang menjadi kaya.
Sedangkan
yang hidupnya pasi-pasan sekarang kehilangan nafkah hidup sama sekali dan
menjadi miskin betul. Mengapa sampai pemecahan pragmatis itu ternyata tidak
adil? Kalau pragmatisme hanya sekedar mengutamakan tindakan nyata daripada
omong kosong, tidak ada masalah. Tetapi kalau pragmatisme menolak apa yang
disebut perselisihan teoretis, debat tentang prioritas, pertengkaran ideologis,
pembahasan nilai-nilai dan sebagainya demi tindakan langsung, maka pragmatisme de facto melarang diskusi tentang legitimasi
suatu tindakan.
Pragmatisme
itu dapat kita sebut pragmatisme positivistik. Positivistik, karena positivisme
menganggap pertengkaran tentang norma dan nilai sebagai omongan kosong yang
irasional. Apa akibat pragmatisme positivistik itu? Akibatnya ialah bahwa tidak
lagi terjadi diskusi terbuka tentang alternatif mana yang lebih baik. Seperti
dalam contoh tadi; alternatif bahwa jembatan itu tetap tidak dibangun---agar
jangan sampai penduduk pas-pasan menjadi miskin semata-mata demi kepentingan petani
yang sudah lumayan keadaannya supaya bisa menjadi kaya,---atau agar jembatan
itu hanya dibangun dengan jaminan-jaminan tertentu, tidak didiskusikan sama
sekali; dianggap sudah barang tentu dengan adanya jembatan adalah lebih baik
daripada tidak ada.
Padahal
selalu ada beberapa alternatif. Kalau tidak ada diskusi mengenai baik-buruknya
masing-masing alternatif yang ada, alternatif mana yang akan dipilih?
Pertanyaan itu mudah dijawab; tentu alternatif yang dianggap paling baik oleh
para perencana dan mereka yang berkuasa untuk mengambil keputusan. Dengan kata
lain, pragmatisme adalah sebuah ideologi terselubung, yaitu ideologi
terselubung kaum teknorat dan para penguasa.
Terselubung
karena pura-pura antiideologis, praktis, netral. Tetapi ideologis karena diam-diam
menunjang kepentingan dan nilai-nilai para perencana dan kaum kuasa.
Pragmatisme merupakan siasat para decision
makers untuk mencegah perdebatan demokratis tentang arah mana yang mau kita
ambil, untuk mencegah kontrol demokratis oleh semua pihak yang bersangkutan,
dan sekaligus menjamin bahwa arah yang ditempuh sesuai dengan kepentingan para decision makers itu sendiri.
Apabila
pembangunan pragmatis ditolak, apakah pembangunan harus ideologis? Dengan
ideologis dimaksud setiap usaha yang memutlakkan suatu ide tertentu (selain
hormat terhadap setiap manusia dalam kemampuannya untuk mengembangkan diri
dalan dimensi-dimensi hakikinya). Jelaslah bahwa suatu pembangunan ideologis
berlawanan dengan martabat manusia karena mengorbankan kebahagiaan dan
kebebasannya demi suatu ide.
Setiap ide
ciptaan manusia yang dimutlakkan mengorbankan manusia kongkret, karena orang
lebih luas dan lebih kaya daripada segenap pikiran manusia tentang sesuatu. Dan
setiap norma manusiawi yang dimutlakkan, selain hormat dan cinta terhadap
segenap orang akhirnya menjadi pembunuh. Kecuali itu, setiap ideologi sekaligus
merupakan legitimasi privilese penguasa sebagai pengemban ideologi itu untuk
secara sepihak menentukan kehidupan masyarakat; atau dengan kata lain untuk mengembangkan
masyarakat demi kepentingan mereka sendiri.
Apabila
pendekatan ideologis tidak memadai untuk menghadapi pragmatisme, apa ada
pendekatan lain lagi? Suatu pendekatan ketiga memang ada; yaitu pola
pembangunan masyarakat yang dipertanggungjawabkan terhadap suatu sistem nilai
dan cita-cita yang dikemukakan secara
eksplisit dan secara implisit termuat dalam pembenaran arah pembangunan itu
oleh seluruh masyarakat yang bersangkutan.
Jadi
pembangunan tidak secara pragmatis diserahkan kepada para perencana dan decision makers, juga tidak secara
ideologis ditentukan oleh suatu sistem ide-ide ciptaan sementara orang,
melainkan dipertanggungjawabkan pada nilai-nilai dasar masyarakat yang
bersangkutan. Secara sederhana alternatif pembangunan yang dipilih seharusnya
alternatif yang paling baik. Dan apa maksud ‘’paling baik” itu?
Baik-tidaknya
suatu alternatif tergantung dari sesuai tindaknya dengan nilai-nilai dasar
masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai itu harus dikemukakan dengan terbuka.
Fakta bahwa suatu pembangunan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat itu akan
kelihatan dalam tingkat persetujuan masyarakat terhadapnya. Dalam pengertan
tidak ada semacam represi antara nilai-nilai yang menjadi alternatif yang
diambil oleh masyaarakat yang bersangkutan.
Akan tetapi
masih ada lubang yang perlu kita tutup. Kadang-kadang kita dapat menyaksikan
bahwa pragmatisme tegas-tegas ditolak. Pembangunan dikatakan dijalankan sesuai
dengan nilai-nilai bangsa itu. Nilai-nilai itu sendiri bagus-bagus, orang asing
yang sopan mengangkat topi. Namun apa yang dihasilkan oleh pembangunan itu
ternyata jauh dari apa yang diharapkan menurut nilai-nilai itu. Bagaimana itu
mungkin?
Hal ini bisa
saja terjadi, dan dengan mudah.pengumandangan nilai-nilai itu dapat menjadi
tirai asap untuk menutup-nutupi kenyataan bahwa pembangunan tetap dijalankan
secara pragmatis saja, sesuai dengan kepentingan para decision makers sendiri. Kita dapat berbicara tentang pragmatisme
terselubung karena pragmatisme ini tertutup dengan hiasan nilai-nilai.
Untuk
mencegah pragmatisme terselubung itu, perlu dirumuskan dan dilembagakan
prinsip-prinsip pengoperasionalisasiannya. Karena yang menentukan martabat
sebuah negara bukanlah prinsip-prinsip luhur yang dikumandangkan, melainkan
bagaimana masyarakat itu secara nyata memperlakukan anggota-anggotanya. Atau,
sebagaimana dirumus oleh kolumnis Theo Sommer dalam Newsweek baru-baru ini: “Proper
procedures are more important than lofty
aims. This is what distinguishes civitilized states from arbitrary rule.”
Apa yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip pengoperasionalisasian nilai-nilai dasar?
Secara formal perlu ada undang-undang, peraturan, prosedur dan kebiasaan
bertindak nyata yang mem memastikan bahwa negara secara nyata memperlakukan
masyarakat menurut nilai-nilai dasar itu. Nilai-nilai itu harus diterjemahkan
ke dalam bahasa hukum dan politik yang operasional. Untuk itu perlu disusun
daftar hak-hak manusia sesuai dengan nilai-nilai itu.
Hak-hak
manusia itu tidak boleh dijamah karena di dalamnya justru terungkap nilai-nilai
dasar masyarakat yang normatif bagi setiap usaha pembangunan. Dengan
pertimbangan ini dapat dimengerti mengapa di banyak negara di dunia terdapat
kecondongan untuk membicarakan nilai-nilai dasar yang memang bagus, sedangkan
penerjemahannya ke dalam realitas politik seret. Soalnya, bicara tentang
nilai-nilai dasar itu belum mempunyai akibat operasional dan oleh karena itu
belum menjamin sikap hormat yang nyata terhadap manusia. Jadi kita dapat saja
bicara tentang nilai-nilai yang luhur, dan tetap menganut pragmatisme.
Kiranya
tidak perlu diperlihatkan dengan panjang lebar lagi bahwa suatu pembangunan
yang pragmatis-positivistik tidak sesuai dengan tuntutan Pancasila. Pancasila
adalah sistem nilai-nilai dasar dan kepribadian bangsa Indonesia. Pembangunan
di Indonesia tidak boleh pragmatis, tidak boleh berdasarkan salah satu
ideologi, melainkan harus sesuai dengan Pancasila.
Tetapi perlu
juga ditekankan: apakah pembangunan masyarakat kita betul-betul sesuai dengan
Pancasila itu belum terjamin asal saja di mana-mana Pancasila diakui, melainkan
hanyalah kalau sikap-sikap Pancasila betul-betul terwujud dalam hukum,
peraturan, dan terutama dalam praktek dan kebiasaan bertindak aparatur negara.
Jadi Pancasila baru berwujud apabila hak-hak asasi manusia Indonesia sebagai
manusia, yaitu hak-hak yang mengungkapkan keyakinan bangsa Indonesia sebagai
salah satu bangsa umat manusia seluruhnya tentang martabat segenap manusia, di
mana pun juga dan terhadap siapa pun juga suci adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar