26 Desember 2013

Manusia Pragmatis


oleh Sopliadi
Pandangan manusia yang diharapkan menentukan kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bangsa  terumus dalam Pancasila. Dengan sendirinya kita bertanya, bagaimana pelbagai pemandangan tentang manusia yang berpengaruh dalam percaturan ideologis dewasa ini harus dinilai dari segi Pancasila. Membicarakan manusia pragmatis yang positivistik perlu bertanya dulu yang dimaksud dengan pandangan pragmatis yang positivistik itu.
Manusia macam apa yang lazim disebut pragmatis? Manusia pragmatis adalah manusia yang sanggup untuk bertindak, yang tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul, melainkan sscara nyata berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Manusia pragmatis dalam mengahadapi kebakaran misalnya, tidak akan berdebat panjang lebar tentang cara penanggulangan kebakaran mana yang paling sesuai dengan manusia seutuhnya, melainkan segera akan memanggil dinas pemadam kebakaran, kemudian berusaha untuk sekedar membatasi amukan api.
Manusia pragmatis adalah manusia yang masih cukup manusawi untuk tidak melupakan kebutuhan orang-orang demi teori-teorinya. Pendek kata kalau kita mau maju dalam usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, kita memerlukan orang-orang yang pragmatis. Tidak banyak bicara dalam melakukan suatu pekerjaan dan langsung berbuat.
Masalah kita menjadi ruwet, apabila watak pragmatis  menjadi filsafat pragmatisme. Pragmatisme bersifat dua. Ia sekaligus merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagai kritik terhadap pendekatan ideologis pragmatisme mempertanyakan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan sebuah masalah, misalnya bagi pembangunan masyarakat. Apakah benar-tidaknya ideologi itu akan mengubah sesuatu pada pembangunan?
Pragmatisme mengkritik segala macam omongan tentang cita-cita, falsafah hidup, rumusan-rumusan suci yang tidak nyata memajukan masyarakat. Bukan keindahan suatu konsepsi, melainkan sumbangan nyata pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, itulah yang menentukan. Omongan hanyalah retorika yang memanifulasi dan persuasi akan makna itu sendiri.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi membuktikan kebenarannya apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, artinya, mengubah situasi yang penuh keraguan-keraguan dan keresahan sedemekian rupa hingga keraguan-keraguan dan keresahan itu hilang. Secara lebih sederhana malah terlalu sederhana; para tokoh pragmatisme sendiri  justru tidak sesederhana itu, maka filsafat mereka tetap penting; tetapi yang kita bicarakan adalah pragmatisme dalam vulgarisasi, pragmatisme menurut pengertian umum;  ayo jangan banyak omong, atasilah kesulitan yang ada.
Di mana pendekatan pragmatisme itu menjadi problematis? Sedikit menceritakan kisah sebuah desa yang terdengar ceritanya dari Romo yang bekerja di daerahanya. Di desa itu tidak ada petani kaya. Ada petani yang keadaannya lumayan, ada banyak yang cukup miskin. Masalah desa itu ialah bahwa letaknya sangat terpencil. Jalan yang dapat dilalui kendaraan beroda empat terhadang oleh sebuah sungai di dasar jurang yang dalam.
Hasli pertanian yang mau dijual ke kota dipikul oleh pemuda-pemuda desa itu turun menyeberangi sungai dan di seberang naik lagi, baru dapat diangkut dengan Colt. Untuk membuka itu pak lurah akhirnya uberhasil mendapat dana Inpres untuk membangun jembatan. Jembatan dibuka dengan upacara besar, bahkan pak bupati hadir. Sekarang hasil para petani dapat langsung diangkut dengan Colt ke kota.
Kita dapat menyebut pembangunan jembatan itu sebagai tindakan yang pragmatis. Ada masalah, isolasi desa itu, maka diambil tindakan; mengatasi isolasi itu dengan membangun jembatan. Tetapi apa akibat jembatan baru itu? Petani-petani yang cukup banyak hasil buminya langsung merasakan keuntungannya karena pemasaran hasil produksi mereka sekarang lebih cepat dan lebih murah.
Akan tetapi, para pemuda miskin yang dulu dapat hidup dari pemikulan desa menyeberang sungai, kehilangan pekerjaan. Uang yang dulu mereka peroleh, sekarang masuk kantung para pemilik Colt dari luar desa. Apa yang menarik perhatian dalam contoh itu? Bahwa pemecahan pragmatis masalah isolasi desa itu ternyata tidak netral, melainkan memihak; yang beruntung adalah mereka yang sudah lumayan keadaannya; mereka itu sekarang menjadi kaya.
Sedangkan yang hidupnya pasi-pasan sekarang kehilangan nafkah hidup sama sekali dan menjadi miskin betul. Mengapa sampai pemecahan pragmatis itu ternyata tidak adil? Kalau pragmatisme hanya sekedar mengutamakan tindakan nyata daripada omong kosong, tidak ada masalah. Tetapi kalau pragmatisme menolak apa yang disebut perselisihan teoretis, debat tentang prioritas, pertengkaran ideologis, pembahasan nilai-nilai dan sebagainya demi tindakan langsung, maka pragmatisme de facto melarang diskusi tentang legitimasi suatu tindakan.
Pragmatisme itu dapat kita sebut pragmatisme positivistik. Positivistik, karena positivisme menganggap pertengkaran tentang norma dan nilai sebagai omongan kosong yang irasional. Apa akibat pragmatisme positivistik itu? Akibatnya ialah bahwa tidak lagi terjadi diskusi terbuka tentang alternatif mana yang lebih baik. Seperti dalam contoh tadi; alternatif bahwa jembatan itu tetap tidak dibangun---agar jangan sampai penduduk pas-pasan menjadi miskin semata-mata demi kepentingan petani yang sudah lumayan keadaannya supaya bisa menjadi kaya,---atau agar jembatan itu hanya dibangun dengan jaminan-jaminan tertentu, tidak didiskusikan sama sekali; dianggap sudah barang tentu dengan adanya jembatan adalah lebih baik daripada tidak ada.
Padahal selalu ada beberapa alternatif. Kalau tidak ada diskusi mengenai baik-buruknya masing-masing alternatif yang ada, alternatif mana yang akan dipilih? Pertanyaan itu mudah dijawab; tentu alternatif yang dianggap paling baik oleh para perencana dan mereka yang berkuasa untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain, pragmatisme adalah sebuah ideologi terselubung, yaitu ideologi terselubung kaum teknorat dan para penguasa.
Terselubung karena pura-pura antiideologis, praktis, netral. Tetapi ideologis karena diam-diam menunjang kepentingan dan nilai-nilai para perencana dan kaum kuasa. Pragmatisme merupakan siasat para decision makers untuk mencegah perdebatan demokratis tentang arah mana yang mau kita ambil, untuk mencegah kontrol demokratis oleh semua pihak yang bersangkutan, dan sekaligus menjamin bahwa arah yang ditempuh sesuai dengan kepentingan para decision makers itu sendiri.
Apabila pembangunan pragmatis ditolak, apakah pembangunan harus ideologis? Dengan ideologis dimaksud setiap usaha yang memutlakkan suatu ide tertentu (selain hormat terhadap setiap manusia dalam kemampuannya untuk mengembangkan diri dalan dimensi-dimensi hakikinya). Jelaslah bahwa suatu pembangunan ideologis berlawanan dengan martabat manusia karena mengorbankan kebahagiaan dan kebebasannya demi suatu ide.
Setiap ide ciptaan manusia yang dimutlakkan mengorbankan manusia kongkret, karena orang lebih luas dan lebih kaya daripada segenap pikiran manusia tentang sesuatu. Dan setiap norma manusiawi yang dimutlakkan, selain hormat dan cinta terhadap segenap orang akhirnya menjadi pembunuh. Kecuali itu, setiap ideologi sekaligus merupakan legitimasi privilese penguasa sebagai pengemban ideologi itu untuk secara sepihak menentukan kehidupan masyarakat; atau dengan kata lain untuk mengembangkan masyarakat demi kepentingan mereka sendiri.
Apabila pendekatan ideologis tidak memadai untuk menghadapi pragmatisme, apa ada pendekatan lain lagi? Suatu pendekatan ketiga memang ada; yaitu pola pembangunan masyarakat yang dipertanggungjawabkan terhadap suatu sistem nilai dan cita-cita  yang dikemukakan secara eksplisit dan secara implisit termuat dalam pembenaran arah pembangunan itu oleh seluruh masyarakat yang bersangkutan.
Jadi pembangunan tidak secara pragmatis diserahkan kepada para perencana dan decision makers, juga tidak secara ideologis ditentukan oleh suatu sistem ide-ide ciptaan sementara orang, melainkan dipertanggungjawabkan pada nilai-nilai dasar masyarakat yang bersangkutan. Secara sederhana alternatif pembangunan yang dipilih seharusnya alternatif yang paling baik. Dan apa maksud ‘’paling baik” itu?
Baik-tidaknya suatu alternatif tergantung dari sesuai tindaknya dengan nilai-nilai dasar masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai itu harus dikemukakan dengan terbuka. Fakta bahwa suatu pembangunan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat itu akan kelihatan dalam tingkat persetujuan masyarakat terhadapnya. Dalam pengertan tidak ada semacam represi antara nilai-nilai yang menjadi alternatif yang diambil oleh masyaarakat yang bersangkutan.
Akan tetapi masih ada lubang yang perlu kita tutup. Kadang-kadang kita dapat menyaksikan bahwa pragmatisme tegas-tegas ditolak. Pembangunan dikatakan dijalankan sesuai dengan nilai-nilai bangsa itu. Nilai-nilai itu sendiri bagus-bagus, orang asing yang sopan mengangkat topi. Namun apa yang dihasilkan oleh pembangunan itu ternyata jauh dari apa yang diharapkan menurut nilai-nilai itu. Bagaimana itu mungkin?
Hal ini bisa saja terjadi, dan dengan mudah.pengumandangan nilai-nilai itu dapat menjadi tirai asap untuk menutup-nutupi kenyataan bahwa pembangunan tetap dijalankan secara pragmatis saja, sesuai dengan kepentingan para decision makers sendiri. Kita dapat berbicara tentang pragmatisme terselubung karena pragmatisme ini tertutup dengan hiasan nilai-nilai.
Untuk mencegah pragmatisme terselubung itu, perlu dirumuskan dan dilembagakan prinsip-prinsip pengoperasionalisasiannya. Karena yang menentukan martabat sebuah negara bukanlah prinsip-prinsip luhur yang dikumandangkan, melainkan bagaimana masyarakat itu secara nyata memperlakukan anggota-anggotanya. Atau, sebagaimana dirumus oleh kolumnis Theo Sommer dalam Newsweek baru-baru ini: “Proper procedures  are more important than lofty aims. This is what distinguishes civitilized states from arbitrary rule.”
Apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pengoperasionalisasian nilai-nilai dasar? Secara formal perlu ada undang-undang, peraturan, prosedur dan kebiasaan bertindak nyata yang mem memastikan bahwa negara secara nyata memperlakukan masyarakat menurut nilai-nilai dasar itu. Nilai-nilai itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum dan politik yang operasional. Untuk itu perlu disusun daftar hak-hak manusia sesuai dengan nilai-nilai itu.
Hak-hak manusia itu tidak boleh dijamah karena di dalamnya justru terungkap nilai-nilai dasar masyarakat yang normatif bagi setiap usaha pembangunan. Dengan pertimbangan ini dapat dimengerti mengapa di banyak negara di dunia terdapat kecondongan untuk membicarakan nilai-nilai dasar yang memang bagus, sedangkan penerjemahannya ke dalam realitas politik seret. Soalnya, bicara tentang nilai-nilai dasar itu belum mempunyai akibat operasional dan oleh karena itu belum menjamin sikap hormat yang nyata terhadap manusia. Jadi kita dapat saja bicara tentang nilai-nilai yang luhur, dan tetap menganut pragmatisme.
Kiranya tidak perlu diperlihatkan dengan panjang lebar lagi bahwa suatu pembangunan yang pragmatis-positivistik tidak sesuai dengan tuntutan Pancasila. Pancasila adalah sistem nilai-nilai dasar dan kepribadian bangsa Indonesia. Pembangunan di Indonesia tidak boleh pragmatis, tidak boleh berdasarkan salah satu ideologi, melainkan harus sesuai dengan Pancasila.
Tetapi perlu juga ditekankan: apakah pembangunan masyarakat kita betul-betul sesuai dengan Pancasila itu belum terjamin asal saja di mana-mana Pancasila diakui, melainkan hanyalah kalau sikap-sikap Pancasila betul-betul terwujud dalam hukum, peraturan, dan terutama dalam praktek dan kebiasaan bertindak aparatur negara. Jadi Pancasila baru berwujud apabila hak-hak asasi manusia Indonesia sebagai manusia, yaitu hak-hak yang mengungkapkan keyakinan bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa umat manusia seluruhnya tentang martabat segenap manusia, di mana pun juga dan terhadap siapa pun juga suci adanya.


Tidak ada komentar: