Otonomi daerah sebagai rupa Reformasi diharapkan sanggup memeratakan
pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat tradisional dan meredakan kekakuan
sosial politik akibat sistem sentralistik yang sepanjang 32 tahun berwenang.
Kendatipun demikian, otonomi daerah
belum mampu sepenuhnya meredup luapan masyarakat di tingkat lokal. Pertikaian
di aras nasional dengan mobilisasi rakyat merobohkan sang penguasa terangkut ke
tingkat daerah. Percekcokan sosial politik meningkatkan intensitasnya.
Otonomi daerah menjadi detenator pemicu pemindahan konflik dari
tingkat Nasional ke daerah, terjadi konflik vertikal antara pemerintah pusat
dan daerah, atau pemerintah daerah tataran Provinsi dengan tataran di bawahnya.
Selain itu juga terjadi konflik horizontal, berkisar antara anggota masyarakat
sendiri. Reformasi yang diharapkan mewujudkan kehidupan demokrasi yang
betul-betul di Indonesia, masih menjadi khyalan di banyak kalangan. Dalam rangkaian
demokratisasi, persoalan partisipasi masyarakat yang lebih besar, representasi
dan persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi
yang lebih bermakna di tingkat lokal.
Tuntutan bagi partisipasi dan representasi yang berpegang kepada
kebenaran, sesungguhnya bukan hanya-sanya gugatan demokratisasi, tetapi juga
prakondisi untuk melahirkan pemerintahan
yang lebih transparan dan akuntabel. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi
yang memperhatikan dan memperjuangkan keutamaan mayoritas penduduk Indonesia.
Dipraktekkannya desentralisasi dan
otonomi daerah serta upaya demokratisasi
di jenjang lokal kian menghadirkan jumlah perkara baru, salah satunya adalah tumbuhnya identitas-identitas lokal
yang dijadikan sebagai karakter sebuah daerah.
Salah satu bentuk penciptaan identitas lokal ini adalah etnisitas.
Masyarakat di daerah dalam rancangan mencari eksistensi diri menggunakan etnis
sebagai basis kekuatan, keadaan ini berdampak pada munculnya konflik horizontal
yang terjadi antar etnis dalam suatu daerah. Dalam perktek pemerintahan daerah
selama ini, kerap kita temui adanya pemanfaatan etnis sebagai instrumen untuk
medapatkan kedudukan strategis dalam pemerintahan daerah. Fenomena ini sering
dijumpai ketika adanya kudeta kekuasaan di daerah, sehingga politik etnis
menjadi kabar yang amat peka untuk dijadikan kekuatan politik segelintir elit
lokal.
Berdasarkan undang-undang partai politik, tahun 2008 pasal 1 ayat
1 partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas basis kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarkat, Bangsa dan Negara, serta merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Juga sebagai salah satu
sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi, platform dan dasar pemikiran.
Bahwa fungsi platform parpol itulah yang
salah satunya bisa dijadikan pertimbangan untuk menilai demokratis tidaknya
suatu pemerintahan.
Dari uraian di atas nyata bahwa partai politik dibentuk untuk
memperjuangkan kepentingan masyarakat secara universal, kepentingan anggota
partai dalam artian bahwa partai politik merupakan salah satu tunggangan untuk
memperoleh kekuasaan dalam legislatf dan eksekutif. Maka, dalam hal ini partai
politik harus menjalankan fungsinnya sebagai kendaraan politik secara baik dan
benar. Fungsi partai politik di Negara berkembang adalah mengakomodasikan basis
massa yang stabil, saran integrasi dan mobilisasi, serta menjaga kelangsungan
kehidupan politik.
Partai politik berfungsi sebagai sindikalisme pemerintah untuk menetaskan
pemerintahan yang waras dan dapat menyejahterakan rakyat. Jika dilihat dari
fungsi partai politik, partai politik merupakan wadah masyarakat untuk belajar
berpolitik, penampung aspirasi masyarakat. Partai politik juga sebagai media
pengontrol dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Parpol juga menjadi sarana
untuk mencapai penigkatan kualitas dan kapasitas para kader parpol khususnya di
tingkat lokal untuk memperkuat peran pemerintah daerah.
Sebutan etnis memang merupakan nama baru, adapun istilah yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah istilah suku. Seiring dengan
perkembangan zaman, suku atau etnis yang mula-mula merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai nilai-nilai budaya yang positif yang terbentuk
sebagai sebuah komunitas paguyuban adat, serta membentuk dewan adat yang
berfungsi sebagai lembaga adat yang
memfasilitasi masyarakat dalam membereskan konflik internal yang mulai merembes
ke ranah politik. Persoalan ini muncul karena minimnya pemahaman dan kurangnya
pendidikan politik yang selama ini diberikan oleh parpol.
Akibatnya, masyarakat mempersepsikan bahwa politik itu adalah perampasan
kekuasaan setiap golongan etnis. Padahal politik adalah usaha untuk menggapai
kehidupan yang baik, dan juga politik adalah upaya untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, serta membawa
masyarakat ke arah kehidupan bersama yang seia sekata. Lebih tegas diungkapkan
Rod Hague bahwa politik adalah kegiatan
yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk
mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggotanya.
Wacana mengenai politik etnisitas kembali menguat pada masa
transisi politik ditataran lokal dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Konsep nasionalisme yang dibangun selama enam puluh tahun lebih kemudian
menjadi konsep yang diperdebatkan eksistensinya. Pasca kemerdekaan, upaya
membangun nasionalisme didasarkan atas jargon revolusi yang perasaan senasib
sepenanggungan pun secara drastis. Sejarah munculnya politik etnisitas
disebabkan terjadinya diskriminasi masa lalu. Karena itu, partai politik
dituntut untuk menjalankan fungsinya dalam membuat keputusan secara kolektif.
Potensi-potensi konflik di antara kelompok asli dan negara akan terpicu
ketika golongan mayoritas berhasrat menguasai sumber daya ekologis, ekonomi,
atau sumber daya manusia di dalam wilayah penduduk asli. Dalam bentuk yang
lebih konkret, konflik primordial ini berupa diskriminasi terhadap kelompok
primordial yang jumlahnya lebih sedikit, bahkan dapat juga mengarah pada
berkembangnya etnosentrisme atau antusiasme kedaerahan yang berlebihan.
Kasus-kasus pemilihan kepala daerah melingkapkan semakin meluasnya penggunaan
istilah “putra daerah” sebagai parameter etnisitas.
Hal ini karena tidak diimbangi oleh pertimbangan profesionalisme
dan prinsip persamaan hak bagi setiap komponen masyarakat lokal untuk
berkompetisi, rekrutmen politik maupun rekrutmen birokrasi. Demikian pula,
tuntutan untuk melakukan pemekaran wilayah atu pembentukkan kabupaten baru
dapat menggambarkan fenomena pemuaian etnisitas, sekaligus perebutan penguasaan
sumber daya alam tertentu. Ini juga bentuk gaya segar politik yang dilakukan
oleh kandidat yang kalah dalam pemilihan kepala daerah. Kerena dengan adanya
pemekaran daerah melebarkan peluang baru untuk menjadi pemimpin di derah baru,
juga bagi koleganya. Yang kita tahu untuk menjadi sebuah daerah kabupaten baru
bakal terbuka lebih banyak lowongan jabatan yang tersedia; mulai dari jabatan
kepala daerah dan wakilnya, para asisten, Sekda, para KABAG, kepala dinas, dan
lain sebagainya.
Dapat disimpulakan bahwa dampak politik etnisitas bagi kehidupan
masyarakat di tingkat lokal yang dulu tidak ada perbedaan dalam status sosial,
budaya, ekonomi, dan politik. Kemudian politik etnisitas dalam pemilukada dapat
berujung pada konflik yang fatal apabila elit-elit lokal tidak mempunyai
kesiapan untuk menerima kekalahan. Konflik juga bisa terjadi karena parpol
menjadikan etnis sebagai basis massa yang mengakibatkan sentimen antar golongan
etnis yang berakhir pada konflik kepentingan. Dalam hal ini, institusi politik
dianggap dapat meminimalisirkan konflik malah membuat egoisme etnisitas yang
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar