29 Desember 2013

Esai: Pengaruh Politik Etnis di Pemilukada


oleh Sopliadi

Otonomi daerah sebagai rupa Reformasi diharapkan sanggup memeratakan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat tradisional dan meredakan kekakuan sosial politik akibat sistem sentralistik yang sepanjang 32 tahun berwenang. Kendatipun  demikian, otonomi daerah belum mampu sepenuhnya meredup luapan masyarakat di tingkat lokal. Pertikaian di aras nasional dengan mobilisasi rakyat merobohkan sang penguasa terangkut ke tingkat daerah. Percekcokan sosial politik meningkatkan intensitasnya.
Otonomi daerah menjadi detenator pemicu pemindahan konflik dari tingkat Nasional ke daerah, terjadi konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, atau pemerintah daerah tataran Provinsi dengan tataran di bawahnya. Selain itu juga terjadi konflik horizontal, berkisar antara anggota masyarakat sendiri. Reformasi yang diharapkan mewujudkan kehidupan demokrasi yang betul-betul di Indonesia, masih menjadi khyalan di banyak kalangan. Dalam rangkaian demokratisasi, persoalan partisipasi masyarakat yang lebih besar, representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di tingkat lokal.
Tuntutan bagi partisipasi dan representasi yang berpegang kepada kebenaran, sesungguhnya bukan hanya-sanya gugatan demokratisasi, tetapi juga prakondisi  untuk melahirkan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan keutamaan mayoritas penduduk Indonesia. Dipraktekkannya desentralisasi  dan otonomi daerah serta upaya  demokratisasi di jenjang lokal kian menghadirkan jumlah perkara baru, salah satunya  adalah tumbuhnya identitas-identitas lokal yang dijadikan sebagai karakter sebuah daerah.
Salah satu bentuk penciptaan identitas lokal ini adalah etnisitas. Masyarakat di daerah dalam rancangan mencari eksistensi diri menggunakan etnis sebagai basis kekuatan, keadaan ini berdampak pada munculnya konflik horizontal yang terjadi antar etnis dalam suatu daerah. Dalam perktek pemerintahan daerah selama ini, kerap kita temui adanya pemanfaatan etnis sebagai instrumen untuk medapatkan kedudukan strategis dalam pemerintahan daerah. Fenomena ini sering dijumpai ketika adanya kudeta kekuasaan di daerah, sehingga politik etnis menjadi kabar yang amat peka untuk dijadikan kekuatan politik segelintir elit lokal.
Berdasarkan undang-undang partai politik, tahun 2008 pasal 1 ayat 1 partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas basis kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarkat, Bangsa dan Negara, serta merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Juga sebagai salah satu sarana yang dimaksud, yang memiliki ragam fungsi, platform dan dasar pemikiran. Bahwa fungsi platform parpol itulah  yang salah satunya bisa dijadikan pertimbangan untuk menilai demokratis tidaknya suatu pemerintahan.
Dari uraian di atas nyata bahwa partai politik dibentuk untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara universal, kepentingan anggota partai dalam artian bahwa partai politik merupakan salah satu tunggangan untuk memperoleh kekuasaan dalam legislatf dan eksekutif. Maka, dalam hal ini partai politik harus menjalankan fungsinnya sebagai kendaraan politik secara baik dan benar. Fungsi partai politik di Negara berkembang adalah mengakomodasikan basis massa yang stabil, saran integrasi dan mobilisasi, serta menjaga kelangsungan kehidupan politik.
Partai politik berfungsi sebagai sindikalisme pemerintah untuk menetaskan pemerintahan yang waras dan dapat menyejahterakan rakyat. Jika dilihat dari fungsi partai politik, partai politik merupakan wadah masyarakat untuk belajar berpolitik, penampung aspirasi masyarakat. Partai politik juga sebagai media pengontrol dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Parpol juga menjadi sarana untuk mencapai penigkatan kualitas dan kapasitas para kader parpol khususnya di tingkat lokal untuk memperkuat peran pemerintah daerah.
Sebutan etnis memang merupakan nama baru, adapun istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah istilah suku. Seiring dengan perkembangan zaman, suku atau etnis yang mula-mula merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai nilai-nilai budaya yang positif yang terbentuk sebagai sebuah komunitas paguyuban adat, serta membentuk dewan adat yang berfungsi sebagai lembaga adat  yang memfasilitasi masyarakat dalam membereskan konflik internal yang mulai merembes ke ranah politik. Persoalan ini muncul karena minimnya pemahaman dan kurangnya pendidikan politik yang selama ini diberikan oleh parpol.
Akibatnya, masyarakat mempersepsikan bahwa politik itu adalah perampasan kekuasaan setiap golongan etnis. Padahal politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik, dan juga politik adalah upaya untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, serta membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang seia sekata. Lebih tegas diungkapkan Rod Hague bahwa politik adalah kegiatan  yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggotanya.
Wacana mengenai politik etnisitas kembali menguat pada masa transisi politik ditataran lokal dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Konsep nasionalisme yang dibangun selama enam puluh tahun lebih kemudian menjadi konsep yang diperdebatkan eksistensinya. Pasca kemerdekaan, upaya membangun nasionalisme didasarkan atas jargon revolusi yang perasaan senasib sepenanggungan pun secara drastis. Sejarah munculnya politik etnisitas disebabkan terjadinya diskriminasi masa lalu. Karena itu, partai politik dituntut untuk menjalankan fungsinya dalam membuat keputusan secara kolektif.
Potensi-potensi konflik di antara kelompok asli dan negara akan terpicu ketika golongan mayoritas berhasrat menguasai sumber daya ekologis, ekonomi, atau sumber daya manusia di dalam wilayah penduduk asli. Dalam bentuk yang lebih konkret, konflik primordial ini berupa diskriminasi terhadap kelompok primordial yang jumlahnya lebih sedikit, bahkan dapat juga mengarah pada berkembangnya etnosentrisme atau antusiasme kedaerahan yang berlebihan. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah melingkapkan semakin meluasnya penggunaan istilah “putra daerah” sebagai parameter etnisitas.
Hal ini karena tidak diimbangi oleh pertimbangan profesionalisme dan prinsip persamaan hak bagi setiap komponen masyarakat lokal untuk berkompetisi, rekrutmen politik maupun rekrutmen birokrasi. Demikian pula, tuntutan untuk melakukan pemekaran wilayah atu pembentukkan kabupaten baru dapat menggambarkan fenomena pemuaian etnisitas, sekaligus perebutan penguasaan sumber daya alam tertentu. Ini juga bentuk gaya segar politik yang dilakukan oleh kandidat yang kalah dalam pemilihan kepala daerah. Kerena dengan adanya pemekaran daerah melebarkan peluang baru untuk menjadi pemimpin di derah baru, juga bagi koleganya. Yang kita tahu untuk menjadi sebuah daerah kabupaten baru bakal terbuka lebih banyak lowongan jabatan yang tersedia; mulai dari jabatan kepala daerah dan wakilnya, para asisten, Sekda, para KABAG, kepala dinas, dan lain sebagainya.

Dapat disimpulakan bahwa dampak politik etnisitas bagi kehidupan masyarakat di tingkat lokal yang dulu tidak ada perbedaan dalam status sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Kemudian politik etnisitas dalam pemilukada dapat berujung pada konflik yang fatal apabila elit-elit lokal tidak mempunyai kesiapan untuk menerima kekalahan. Konflik juga bisa terjadi karena parpol menjadikan etnis sebagai basis massa yang mengakibatkan sentimen antar golongan etnis yang berakhir pada konflik kepentingan. Dalam hal ini, institusi politik dianggap dapat meminimalisirkan konflik malah membuat egoisme etnisitas yang ada.

Tidak ada komentar: