Sopliadi
Siapa yang tidak berani
tidur di mesjid, selain dianggap suci juga bisa digunakan untuk memperbanyak
pahala. Apalagi di bulan puasa, setiap sudut rumah terdengar lantunan ayat-ayat
suci. Konon, bulan puasa merupakan bulan penuh rahmat. Setan manapun diikat.
Agar tak mengganggu.
Malam itu tepat
pertengahan puasa. Listrik sengaja dimatikan PLN. “Karena tiap kali hujan,
listrik selalu begitu”. Ungkap salah satu penunggu mesjid. Terkadang shalat
berjamaah tengah berlangsung tiba-tiba listrik mati. Membuat Pak Lurah setempat
jadi geram. Saat mau pergi, Pak Hajar alias penjaga mesjid, sempat dikagetkan oleh
dua orang sedang membawa lampu semprong. Yang satu pakai sarung merk Wadimor melilit
badan. Nah, yang Hio dengan jaket tebal, sarung sengaja ia simpan.
“syukurlah kalian
datang” Pak Hajar terlihat senang.
“Bapak mau kemana?”
Tanya Hio.
“Rencanya mau ke warung
beli lilin, tapi karena kalian sudah bawa lampu, bapak pulang ke-rumah sajalah.
Sekalian makan sahur”.
“Oh, nanti bapak balik
lagi?”. Noi memastikan.
“Iya...!!! tapi agak
lama, soalnya makan bapak banyak”. Pak Hajar menyahutinya.
“Pantes aja ngga
kurus-kurus”. Hio berceloteh.
“Hussssst, nanti dia
dengar kita bisa dimarahin loe. Kamu mau, nggak diizinkan masuk mesjid?
“Maaf”, Hio terlihat
sedikit menyesal.
Mereka pun langsung
masuk mesjid. Sambil menuggu listrik nyala, tengah cahaya kekuningan lampu
semprong. Terdengar lantunan ayat suci yang dibacakan Noi. Bacaannya cukup fasih
tak kalah dengan bacaan Pak Ustad depan rumahnya. Selain rajin mengaji, ia juga
pernah juara lomba pengajian tingkat desa. Apalagi sejak masuk pesantren
ternama membuat ia percaya diri tatkala membaca kitab suci dalam mesjid.
Hio hanya diam, karena
dia hanya tamatan SMA. Tentang seluk-beluk Al-quran tak banyak ia pahami. Tapi
matanya terus memerhati gerak-gerik bibir temannya. Sesekali melemparkan
senyum. Tanpa pernah berkedip.
“Pantes aja anak
tetangga sebelah tergila-gila padanya”. Amir ngangguk. Tangannya sambil menahan
dagu. Sekarang Hio jadi tahu, agar dapat
menggaet cewek tetangga dia harus pintar mengaji.
***
Malam terasa begitu
hening. Kampung terlihat gelap pekat. Malam kian larut, senyap, mencekam, listrik
tak kunjung menyala. Membuat Hio jadi gelisah. Matanya lirik kesana-kemari
berharap Pak Hajar datang. Kebetulan dari tadi pintu sengaja dibuka. Agar jika
tertidur tidak merepotkan Pak Hajar. Untuk strategi Hio memang jagonya. Saleh
masih melanjutkan bacaannya. Amir tetap diam membisu sembari merebahkan badan.
Jam sudah menunjukkan pukul
12:00 tepat. Tak biasanya Hio masih tetap berjaga. Lazimnya pada jam segitu ia
sudah molor. Sejak selepas magrib, dia dan Noi memang sudah berjanji untuk
tidur di mesjid. Pak Kiai pernah bilang kalau malam puasa semua setan diikat. Bertepatan
pula malam Lailatul Qadhar. Konon, ceritanya tak sembarang orang dapat
melihatnya. Karena pada malam itu semua makhluk di bumi ikut tunduk-sembah
sujud kepada sang pencipta. Cerita Pak Kiai membuat mereka harus berjaga-jaga
hingga menjelang matahari terbit.
Berselang beberapa
menit, suara yang tadinya merdu pelan-pelan makin berkurang. Noi terlihat
kecapean, buktinya, dirinya sudah menguap. Bikin Hio tutup hidung, karena masih
tercium bau sisa jengkol. Apalagi dari tadi tak kunjung jeda, suaranya
terdengar garau. Seperti suara nenek sedang melafalkan ayat demi ayat.
Seketika itu juga, terdengar
gemercik langkah dari luar. Dari jendela terlihat peci putih Pak Hajar sambil
mengeluarkan batuk ciri khasnya. Hio tadinya berbaring-baring langsung bangkit
berdiri. Membuat Noi terperanjat. “Ada apa?” Bernada kaget. “Itu dia datang”. Dengan
bibir menjulur Hio beri isyarat. “Dia siapa?” Penuh rasa ingin tahu. “Pak Hajar”,
Amir menjawab menunjuk ke arah pintu, sembari tangan kiri menggosok mata yang
sudah mengantuk.
“Dasar orang tua”, Hio
merasa jengkel. “Hussst, dengan suara didesiskan, yang penting dia sudah datang”.
Noi terpaksa berdesis yang kedua kalinya. “Tapi tetap saja molor”, bantah Hio. Percakapan
antar keduanya berlangsung. Mereka seringkali debat tanpa akar masalah. Bahkan
tak jarang buat kesal Mak Rinda yang debat melulu di warung ketika pesan
makanan.
Eooot,,,!!! suara pintu
terdengar. Pak Hajar masuk. Seketika langsung
duduk sambil mengulurkan kolak pisang sisa buka puasa tadi petang. Tanpa
berlama-lama mereka langsung menikmati dan masih cukup segar.
“Kolaknya enak Pak”, dengan
senang Hio memberi pujian.
“Bilang saja kamu lapar”,
Saleh mengejek. “Udah udah” Pak Hajar tiba-tiba menenangkan. Makanlah dulu
nanti kita lanjutkan bicaranya.
Pak Hajar, Noi, dan Hio.
Ketiganya mengelilingi lampu semprong. Layaknya orang lagi ngepet. Sambil
menunggu lilin biar jangan padam. Tepatnya begitu.
Semua jadi diam. Sesekali
saling menatap satu sama lain. Dengan tarikan napas panjang, seperti mencium
bunga yang sedang menebarkan harum. Pak Hajar bercakap. “Dulu, Bapak pernah
mengalami kejadian sungguh mengerikan”. Dengan suara tegang dan serius mereka
bersitegang. Hio diam dan matanya menatap dengan tajam. Malam terasa dingin dan
semilir angin seakan-akan sengaja menyapa.
“Lantas bagaimana
kejadinnya Pak?” Tanya Noi tiba-tiba. Tak kuat menunggu bagaimana kejadian yang
dialami Pak Hajar.
“Kalian tahu beduk itu”
telunjuknya menuju beduk yang ia maksud. Enam pasangan mata pun tertuju pada
benda tersebut yang tak jauh dari tempat usungan mayat. “kami tahu pak”, dengan
wajah pasi, Hio dan Noi menjawabnya dengan serempak. Sambil mendekati Pak
Hajar. Cahaya lampu semprong tak lagi terang-benderang seperi tadi, waktu masih
menunjukkan jam satu malam.
“Apa ini semua ada
kaitannya dengan hantu, pak?”, Hio coba menebak kejadian yang pernah dialami
Pak Hajar. Sebab terkaannya jarang pernah macet. “Kan Pak Kiai pernah bilang
kalau hantu diikat dimalam ramadhan”, Hio menatap Pak Hajar dengan mata melotot.
“Iya, bapak juga tahu, tapi kejadian ini tidak ada kaitannya dengan hantu,
apalagi yang berbau mistik. Hanya saja kejadiannya sungguh aneh.
“Saya sendiri masih kurang
yakin kalau itu perbuatan Jin yang sengaja menakut-nakuti Bapak, apalagi sejauh
yang saya pahami, Jin tidak pernah berbuat jahat dengan bangsa manusia. Sejauh
kita tidak mengganggu kehidupan mereka. Apa yang saya alami sangat
bertolak-belakang dengan apa yang bapak pahami”. Hio dan Noi semakin tak sabar
ingin mendengar kelanjutan kisah tersebut.
“Terus bagaimana lagi
Pak?”. Mereka terus memaksa penjaga mesjid untuk melanjutkan.
“Pada suatu malam awal
puasa. Bapak tidur di mesjid seperti biasa yang bapak lakukan. Tiba-tiba
terbangun, bapak sempat kaget saat Jojon memukul beduk dengan begitu keras
karena memasuki waktu subuh. Bapak langsung terperanjat. Dan bertanya-tanya???.
Kok bapak bisa ada di dalam beduk tersebut. Jojon masih terus memukul beduk. Apalagi
pemukulnya terbuat dari kabung. Yang panjangnya kurang lebih 1,5 m. Bikin
selaput telinga rasanya mau pecah berkeping-keping”.
“Untung telinga bapak
tidak benaran pecah. Mata Jojon langsung melalak seperti kerasukan setan ketika
melihat kepala bapak nongol. Tak kuasa menahan takut dia pun terbirit-birit
dengan suara menjerit seperti sedang dikejar malaikat pencabut nyawa. Hingga sarung
yang dikenakannya jatuh ke lantai, hanya tinggal celana dalam.
“Sambil meminta tolong
dengan warga”. Pak Hajar terlihat sedikit tersenyum.
“Ayo lanjut makan
kolaknya” melihat kedua anak itu diam, matanya cuma menatap tajam, merah.
Noi dan Hio tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka seakan-akan dihadapkan pada dilema.
Antara takut dan lucu. Malam semakin remang, membuat bulu roma merinding.
Cerita Pak Hajar bikin mereka harus menahan gelak dengan mimik muka
kemerah-merahan.
“jadi apa yang
dikatakan Pak Kiyai tidak benar dong Pak?”. Perasaan was-was Hio beranikan diri
bertanya. Tapi dia berharap jawaban Pak Hajar masih tetap sama dengan apa yang
pernah disampaikan Pak Kiyai. Agar rasa takut jadi hilang.
“Menurut kalian bagaimana?”.
Pak Hajar menanyai balik.
Lantas semua diam. Noi
yang tadinya membisu, dengan suara pelan membalas. “Ustad di pasentren juga
mengatakan hal yang sama dengan Pak Kiai”.
“tapi buktinya bapak masih tetap saja
diganggu, padahal di bulan ramadhan. Masak ada orang sengaja memasukkan tubuh
bapak ke dalam lubang beduk. Apalagi saat itu sudah menunjukkan jam dua dinihari.
Kalaupun ulah manusia pasti manusia jadi-jadian”. Pak Hajar memegang tengkuknya
mungkin dia merasa bulu romanya juga ikut merinding.
Noi hanya menundukkan
kepala. “Mungkin ada benarnya juga kalau pernyataan Pak Kiai itu keliru. Dia
kan juga manusia. Atau kita yang salah mengartikan”. Noi tadinya banyak diam membuat
Pak Hajar angguk kepala mendengar pernyataannya.
Hio makin takut,
badannnya dibasahi keringat dingin. Seandainya Pak Hajar tidak ada mungkin dia
sudah lari duluan. Seakan-akan nasib dirinya bergantung pada malam. “Jika aku
tidur di mesjid, mungkin setan melakuan yang lebih kejam lagi. Memasukkan tubuh
ku ke dalam keranda mayat”. Imajinasi setannya makin liar setelah mendengar
kisah Pak Hajar.
Cerita aneh tentang Pak
Hajar dengan beduk misterius pun berkembang di kalangan masyarakat. Bahkan
menyebar ke daerah-daerah. Malahan Pak Hajar sempat minta izin berhenti menjadi
penjaga mesjid. Tapi tak ada yang berani, ia terpaksa harus bertahan.
Selama satu bulan nama
Pak Hajar menjadi buah bibir masyarakat. Tak ada yang tidak kenal dengannya. Kesetiaan
yang diberikan pada mesjid membuat warga kampung menjadi bangga memiliki orang
seperti sosok Pak Hajar.
Sejak kejadian yang
menimpa Pak Hajar, beduk itu tidak lagi digunakan oleh warga. Karena dianggap
ada penunggunnya. Pak Lurah pun memutuskan kepada pihak mesjid untuk segera
menggantikan dengan yang baru. Agar ketenangan warga terjamin.