28 April 2014

Cerpen: Beduk Misterius

Sopliadi
Siapa yang tidak berani tidur di mesjid, selain dianggap suci juga bisa digunakan untuk memperbanyak pahala. Apalagi di bulan puasa, setiap sudut rumah terdengar lantunan ayat-ayat suci. Konon, bulan puasa merupakan bulan penuh rahmat. Setan manapun diikat. Agar tak mengganggu.
Malam itu tepat pertengahan puasa. Listrik sengaja dimatikan PLN. “Karena tiap kali hujan, listrik selalu begitu”. Ungkap salah satu penunggu mesjid. Terkadang shalat berjamaah tengah berlangsung tiba-tiba listrik mati. Membuat Pak Lurah setempat jadi geram. Saat mau pergi, Pak Hajar alias penjaga mesjid, sempat dikagetkan oleh dua orang sedang membawa lampu semprong. Yang satu pakai sarung merk Wadimor melilit badan. Nah, yang Hio dengan jaket tebal, sarung sengaja ia simpan.
“syukurlah kalian datang” Pak Hajar terlihat senang.
“Bapak mau kemana?” Tanya Hio.
“Rencanya mau ke warung beli lilin, tapi karena kalian sudah bawa lampu, bapak pulang ke-rumah sajalah. Sekalian makan sahur”.
“Oh, nanti bapak balik lagi?”. Noi memastikan.
“Iya...!!! tapi agak lama, soalnya makan bapak banyak”. Pak Hajar menyahutinya.
“Pantes aja ngga kurus-kurus”. Hio berceloteh.
“Hussssst, nanti dia dengar kita bisa dimarahin loe. Kamu mau, nggak diizinkan masuk mesjid?
“Maaf”, Hio terlihat sedikit menyesal.
Mereka pun langsung masuk mesjid. Sambil menuggu listrik nyala, tengah cahaya kekuningan lampu semprong. Terdengar lantunan ayat suci yang dibacakan Noi. Bacaannya cukup fasih tak kalah dengan bacaan Pak Ustad depan rumahnya. Selain rajin mengaji, ia juga pernah juara lomba pengajian tingkat desa. Apalagi sejak masuk pesantren ternama membuat ia percaya diri tatkala membaca kitab suci dalam mesjid.
Hio hanya diam, karena dia hanya tamatan SMA. Tentang seluk-beluk Al-quran tak banyak ia pahami. Tapi matanya terus memerhati gerak-gerik bibir temannya. Sesekali melemparkan senyum. Tanpa pernah berkedip.
“Pantes aja anak tetangga sebelah tergila-gila padanya”. Amir ngangguk. Tangannya sambil menahan dagu.  Sekarang Hio jadi tahu, agar dapat menggaet cewek tetangga dia harus pintar mengaji.
***
Malam terasa begitu hening. Kampung terlihat gelap pekat. Malam kian larut, senyap, mencekam, listrik tak kunjung menyala. Membuat Hio jadi gelisah. Matanya lirik kesana-kemari berharap Pak Hajar datang. Kebetulan dari tadi pintu sengaja dibuka. Agar jika tertidur tidak merepotkan Pak Hajar. Untuk strategi Hio memang jagonya. Saleh masih melanjutkan bacaannya. Amir tetap diam membisu sembari merebahkan badan.  
Jam sudah menunjukkan pukul 12:00 tepat. Tak biasanya Hio masih tetap berjaga. Lazimnya pada jam segitu ia sudah molor. Sejak selepas magrib, dia dan Noi memang sudah berjanji untuk tidur di mesjid. Pak Kiai pernah bilang kalau malam puasa semua setan diikat. Bertepatan pula malam Lailatul Qadhar. Konon, ceritanya tak sembarang orang dapat melihatnya. Karena pada malam itu semua makhluk di bumi ikut tunduk-sembah sujud kepada sang pencipta. Cerita Pak Kiai membuat mereka harus berjaga-jaga hingga menjelang matahari terbit.
Berselang beberapa menit, suara yang tadinya merdu pelan-pelan makin berkurang. Noi terlihat kecapean, buktinya, dirinya sudah menguap. Bikin Hio tutup hidung, karena masih tercium bau sisa jengkol. Apalagi dari tadi tak kunjung jeda, suaranya terdengar garau. Seperti suara nenek sedang melafalkan ayat demi ayat.
Seketika itu juga, terdengar gemercik langkah dari luar. Dari jendela terlihat peci putih Pak Hajar sambil mengeluarkan batuk ciri khasnya. Hio tadinya berbaring-baring langsung bangkit berdiri. Membuat Noi terperanjat. “Ada apa?” Bernada kaget. “Itu dia datang”. Dengan bibir menjulur Hio beri isyarat. “Dia siapa?” Penuh rasa ingin tahu. “Pak Hajar”, Amir menjawab menunjuk ke arah pintu, sembari tangan kiri menggosok mata yang sudah mengantuk.
“Dasar orang tua”, Hio merasa jengkel. “Hussst, dengan suara didesiskan, yang penting dia sudah datang”. Noi terpaksa berdesis yang kedua kalinya. “Tapi tetap saja molor”, bantah Hio. Percakapan antar keduanya berlangsung. Mereka seringkali debat tanpa akar masalah. Bahkan tak jarang buat kesal Mak Rinda yang debat melulu di warung ketika pesan makanan.
Eooot,,,!!! suara pintu terdengar.  Pak Hajar masuk. Seketika langsung duduk sambil mengulurkan kolak pisang sisa buka puasa tadi petang. Tanpa berlama-lama mereka langsung menikmati dan masih cukup segar.
“Kolaknya enak Pak”, dengan senang Hio memberi pujian.
“Bilang saja kamu lapar”, Saleh mengejek. “Udah udah” Pak Hajar tiba-tiba menenangkan. Makanlah dulu nanti kita lanjutkan bicaranya.
Pak Hajar, Noi, dan Hio. Ketiganya mengelilingi lampu semprong. Layaknya orang lagi ngepet. Sambil menunggu lilin biar jangan padam. Tepatnya begitu.
Semua jadi diam. Sesekali saling menatap satu sama lain. Dengan tarikan napas panjang, seperti mencium bunga yang sedang menebarkan harum. Pak Hajar bercakap. “Dulu, Bapak pernah mengalami kejadian sungguh mengerikan”. Dengan suara tegang dan serius mereka bersitegang. Hio diam dan matanya menatap dengan tajam. Malam terasa dingin dan semilir angin seakan-akan sengaja menyapa.
“Lantas bagaimana kejadinnya Pak?” Tanya Noi tiba-tiba. Tak kuat menunggu bagaimana kejadian yang dialami Pak Hajar.
“Kalian tahu beduk itu” telunjuknya menuju beduk yang ia maksud. Enam pasangan mata pun tertuju pada benda tersebut yang tak jauh dari tempat usungan mayat. “kami tahu pak”, dengan wajah pasi, Hio dan Noi menjawabnya dengan serempak. Sambil mendekati Pak Hajar. Cahaya lampu semprong tak lagi terang-benderang seperi tadi, waktu masih menunjukkan jam satu malam.
“Apa ini semua ada kaitannya dengan hantu, pak?”, Hio coba menebak kejadian yang pernah dialami Pak Hajar. Sebab terkaannya jarang pernah macet. “Kan Pak Kiai pernah bilang kalau hantu diikat dimalam ramadhan”, Hio menatap Pak Hajar dengan mata melotot. “Iya, bapak juga tahu, tapi kejadian ini tidak ada kaitannya dengan hantu, apalagi yang berbau mistik. Hanya saja kejadiannya sungguh aneh.
“Saya sendiri masih kurang yakin kalau itu perbuatan Jin yang sengaja menakut-nakuti Bapak, apalagi sejauh yang saya pahami, Jin tidak pernah berbuat jahat dengan bangsa manusia. Sejauh kita tidak mengganggu kehidupan mereka. Apa yang saya alami sangat bertolak-belakang dengan apa yang bapak pahami”. Hio dan Noi semakin tak sabar ingin mendengar kelanjutan kisah tersebut.
“Terus bagaimana lagi Pak?”. Mereka terus memaksa penjaga mesjid untuk melanjutkan.
“Pada suatu malam awal puasa. Bapak tidur di mesjid seperti biasa yang bapak lakukan. Tiba-tiba terbangun, bapak sempat kaget saat Jojon memukul beduk dengan begitu keras karena memasuki waktu subuh. Bapak langsung terperanjat. Dan bertanya-tanya???. Kok bapak bisa ada di dalam beduk tersebut. Jojon masih terus memukul beduk. Apalagi pemukulnya terbuat dari kabung. Yang panjangnya kurang lebih 1,5 m. Bikin selaput telinga rasanya mau pecah berkeping-keping”.
“Untung telinga bapak tidak benaran pecah. Mata Jojon langsung melalak seperti kerasukan setan ketika melihat kepala bapak nongol. Tak kuasa menahan takut dia pun terbirit-birit dengan suara menjerit seperti sedang dikejar malaikat pencabut nyawa. Hingga sarung yang dikenakannya jatuh ke lantai, hanya tinggal celana dalam.
“Sambil meminta tolong dengan warga”. Pak Hajar terlihat sedikit tersenyum.
“Ayo lanjut makan kolaknya” melihat kedua anak itu diam, matanya cuma menatap tajam, merah.
Noi dan Hio tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka seakan-akan dihadapkan pada dilema. Antara takut dan lucu. Malam semakin remang, membuat bulu roma merinding. Cerita Pak Hajar bikin mereka harus menahan gelak dengan mimik muka kemerah-merahan.
“jadi apa yang dikatakan Pak Kiyai tidak benar dong Pak?”. Perasaan was-was Hio beranikan diri bertanya. Tapi dia berharap jawaban Pak Hajar masih tetap sama dengan apa yang pernah disampaikan Pak Kiyai. Agar rasa takut jadi hilang.
“Menurut kalian bagaimana?”. Pak Hajar menanyai balik.
Lantas semua diam. Noi yang tadinya membisu, dengan suara pelan membalas. “Ustad di pasentren juga mengatakan hal yang sama dengan Pak Kiai”.
 “tapi buktinya bapak masih tetap saja diganggu, padahal di bulan ramadhan. Masak ada orang sengaja memasukkan tubuh bapak ke dalam lubang beduk. Apalagi saat itu sudah menunjukkan jam dua dinihari. Kalaupun ulah manusia pasti manusia jadi-jadian”. Pak Hajar memegang tengkuknya mungkin dia merasa bulu romanya juga ikut merinding.
Noi hanya menundukkan kepala. “Mungkin ada benarnya juga kalau pernyataan Pak Kiai itu keliru. Dia kan juga manusia. Atau kita yang salah mengartikan”. Noi tadinya banyak diam membuat Pak Hajar angguk kepala mendengar pernyataannya.
Hio makin takut, badannnya dibasahi keringat dingin. Seandainya Pak Hajar tidak ada mungkin dia sudah lari duluan. Seakan-akan nasib dirinya bergantung pada malam. “Jika aku tidur di mesjid, mungkin setan melakuan yang lebih kejam lagi. Memasukkan tubuh ku ke dalam keranda mayat”. Imajinasi setannya makin liar setelah mendengar kisah Pak Hajar.
Cerita aneh tentang Pak Hajar dengan beduk misterius pun berkembang di kalangan masyarakat. Bahkan menyebar ke daerah-daerah. Malahan Pak Hajar sempat minta izin berhenti menjadi penjaga mesjid. Tapi tak ada yang berani, ia terpaksa harus bertahan.
Selama satu bulan nama Pak Hajar menjadi buah bibir masyarakat. Tak ada yang tidak kenal dengannya. Kesetiaan yang diberikan pada mesjid membuat warga kampung menjadi bangga memiliki orang seperti sosok Pak Hajar.
Sejak kejadian yang menimpa Pak Hajar, beduk itu tidak lagi digunakan oleh warga. Karena dianggap ada penunggunnya. Pak Lurah pun memutuskan kepada pihak mesjid untuk segera menggantikan dengan yang baru. Agar ketenangan warga terjamin.

Tidak ada komentar: