Oleh: Sopliadi
Laut mana yang tengah
aku selami, daratan mana yang sedang aku singgahi. Tersesat di hamparan gurun
pasir. Di padang sabana. Mengharapkan segelas embun pagi datang menyejukkan
dahaga yang kamu kumpulkan tiap pagi di musim kemarau. Dimanakah kau berada?
Teringat adonan sajak-sajak waktu dulu kita ciptakan. Waktu itu kamu ingin
menulis kata-kata di bajuku berwarna putih. Dengan jemarimu yang lentik waktu
mengelus rambutku. Aku menolak. Karena itu hanya buat aku payah; melupakanmu.
Nyanyianmu bernada laras
ceria, sempat aku ketawa tapi sengaja aku sembunyikan. Kau tak tahu saat itu
aku begitu takut kehilanganmu. Ketika kamu mengajak pulang, aku bilang tunggu
sebentar. Aku masih terpana melihat indah wajahmu. Tapi belum sekali pun kamu mengerti.
Kau hanya tahu esok aku akan pergi. “Aku tidak mau meninggalkanmu”, aku sampaikan kata-kata itu lewat kisaran
angin di dekatmu. Karena bahasaku seringkali bikin kamu bertanya “apa”? “Dan
maksudmu apa?”. Perempuan memang selalu
begitu. Tapi, aku bosan mendengarnya.
Tiap kali aku mengajukan
pertanyaan, jawabanmu tak pernah langsung ke pointnya. Yang ada malah kamu
balik bertanya. Itu membuat jantungku berdebar, seperti jantung para finalis di
malam puncak saat penentuan siapa yang akan jadi pemenang. Kepergianku adalah
perpisahan kita. Tapi kerinduan bagiku. Juga bagimu.
Sudah terbayang-bayang
di dalam kepala, kita akan mengasingkan diri. Entah kapan pula sua kembali. Kemungkinan
agak lama. Barangkali kamu sudah menggendong bayi. Seperti seorang ibu gendong
anaknya yang sedang menangis. Sambil mendendangkan lagu yang pernah kita
nyanyikan bersama. Kepergianku telah membuatmu tak berdaya. Aku tahu itu. Aku
yang salah. Meninggalkanmu. Tapi kamu tidak pernah memberi kepastian. Aku
kehabisan kata-kata; untuk meyakinkanmu.
Kamu hanya bilang suatu
saat kita akan bertemu lagi. Tapi pertemuan yang kunantikan bertahun-tahun
hanya berbuah kepahitan. Kau paksakan aku menelannya. Untuk melihatmu terakhir
kalinya pun aku tidak mampu karena sudah ada laki-laki lain berdiri di
sampingmu. Kamu bukan tidak menaruh belas kasihan. Kau hanya melakukan apa yang
semestinya dilakukan. Aku berjuang tanpa kenal lelah. Berharap sepulang nanti tak
mengecewakanmu. Dulu, kau sering benci aku. Karna aku tak tahu apa-apa dan
hanya bisa diam manakala kamu bertanya. Aku hanya bisa bagaimana memanjat pohon
kelapa ketika kamu haus. Kamu bosan itu, aku carikan kamu mangga. Aku juga yang
memanjat.
Karena itu yang aku
bisa. Ketika kamu ingin aku buatkan kamu PR sekolah, aku langsung diam. Karena
aku tak pernah menginjak bangku sekolah. Tak seperti dirimu.
Misalkan waktu bisa
diputar ke belakang. Aku tak akan menolak jika kamu ingin mengukir keabadian di
bajuku lagi.
Andaikan kamu masih
seperti dulu. Belum dimiliki oleh lelaki asing itu. Aku ingin sekali mengajak ke
tempat kediamanku, di sana segala kegundahan, kerinduan, aku tuangkan ke dalam
secarik kertas. Pojok atas kutuliskan namamu. Aksaranya sengaja dibuat lebih
besar. Supaya saat tersingkap namamu langsung terlihat.
Memintamu melihat isi
kamar. Supaya kamu bisa membaca tumpukan sajak-sajak yang tak sempat aku kirim.
Melihat fotomu yang sudah kusut dalam peti kesayanganku. Melihat ribuan sisa bekas
pena hanya demi menulis kata-kata untukmu. Agar kamu tahu apa yang aku lakukan
tentangmu bukan bualan. Bahwa aku tidak seperti laki-laki lain yang hanya
datang dan pergi.
Aku yakin kau
mengharapkan itu semua. Karena senyum yang sengaja kau tebarkan waktu
kepergianku, membuat tubuh seperti melambung di udara. Aku lambaikan tangan dalam
bis yang sering kamu tumpangi ketika belanja ke pasar. Wajahmu pelan-pelan semakin
mengecil sampai tak terlihat hingga kabut pagi menutupinya. Tapi pandanganku
masih tetap menoleh ke belakang. “Kita sudah berpisah. Lela. Jaga dirimu
baik-baik”. Kata-kata itu sengaja aku simpan. Karena aku tak kuasa melihat
deraian air mata berlinang di dinding pipimu yang indah itu.
Enam bulan kemudian aku
masih mendengar kabar darimu. Kamu kirimkan aku surat. “Aku sering pergi
sendirian ke tempat yang biasa kita duduk, aku begitu merindukan masa-masa itu.
Dalam waktu dekat kamu pasti datang menjengukku kan? Kamu harus pulang jika
waktunya tiba. Dan kamu harus kembali. Karena aku menunggumu”. Itulah kata-kata
terakhir dari suratmu. Kalimat itu bagai suara sayap burung merpati yang
mengepak berterbangan seisi kamar. Aku hanya diam mendengar kesepianmu. Itu
membuatku senang. Kamu masih mengingat goresan masa lalu.
Setiap mengingat
wajahmu selalu mengusik pikiranku; rambutmu yang lurus, senyum simpul serta matamu
yang binar. Setiap ketawa menunjukkan gigi-geligimu yang berbaris rapi seperti
sabit rembulan. Aku rindu akan wajah itu. Aku berkata-kata dengan wajahmu di
foto. Kau diam. Dan tersenyum melihatku.
Saat itu juga aku
segera ingin pulang datang menemuimu. Tapi bosku tak beri izin. “Belum saatnya”,
dengan nada keras. Tiap kali hendak pulang aku selalu mendapat kata-kata yang
sama. Sama sepertimu tak pernah mengatakan dengan pasti. Kerap mebuatku merasa kesal.
Kamu kan tahu aku bukan tipe lelaki pemarah. Mungkin kamu masih ingat ketika aku
datang tidak tepat waktu ke tempat biasa kita duduk. Kamu langsung marah. Kau
cubit perutku. “Sakit”, aku bilang. Tapi kau terus saja melakukannya. Namun aku
tak membalasnya. Hingga membekas sampai sekarang.
Aku datang lebih awal, hampir
setengah jam menunggu. Tiba-tiba kamu muncul dengan begitu rapi. Dengan
semerbak wewangian bikin hidungku tersumbat. “Maaf, nunggu lama”, kau bilang
sambil mengunyah permen karet. Tapi aku hanya diam. Karena aku tidak ingin menyakiti
perasaanmu.
Saat kamu mengejarku,
aku terjatuh kau pun ikutan terjatuh. Terasa nafasmu yang harum bau class up
odol kesukaanmu. Saat mulutku berhadapan dengan bibirmu yang mungil, layaknya
flm romantis sedang beradegan mesra dengan kekasihnya, membuatku
melayang-layang di awan-awan nun biru. Tak lama kemudian seketika kamu
menepisnya. “Mulutmu bau”, sembari kamu ketawa. Kita pun tertawa
terbahak-bahak. Walau aku sedikit tersipu malu. Kebetulan waktu itu aku belum
mandi, tergesa-gesa menemuimu.
***
Sekian lama aku memikul
semua itu. Kabarmu tak lagi terdengar. Seakan-akan ditelan oleh zaman. Aku seperti
sedang berkelana di tanah yang gersang dan tak tahu arah tujuan. Tersesat dalam
rimbanya hutan. Terpelanting bagaikan kapas berterbangan. Tenggelam dalam
lembah dosa. Hanyut oleh derasnya air.
Bajuku yang tak sengaja
kau tempelkan dengan bibirmu lagi-lagi aku taruh dalam peti kesayangan. Lela. Lela!.
Kenapa dirimu tak seperti dulu lagi. Suka onar di dekatku. Menepuk pundakku
jika kamu kesal. Menarik rambutku sampai tubuhku tersungkur ke belakang. Kau diam-diam
masukkan kecoak ke dalam sakuku, setiba di rumah buat aku terpekik. “Dasar kamu
yang jahil”, aku merasa jengkel.
Tengah menikmati
hidangan, kamu datang memanggilku. Saat ibu menyuruh masuk, “aku di luar saja
bu”. Karena kamu malu. Akupun makan dengan cepat-cepat. Karena tak ingin kamu
menunggu lama. Tiap saban datang ke tempat biasa kita ngobrol, kamu tak pernah lupa
bawa ketela rebus hasil kebun ayahmu. Kau bagikan aku setengah dan kamu
setengah. Kamu habis duluan, kemudian meminta bagianku. Pas pulang kebetulan
hujan. Aku berlari mengambil sehelai daun pisang agar kamu tidak kebasahan. Aku
khawatir kamu sakit.
Betapa pedulinya aku dengan
kesehatanmu. Sebab, kebersamaan kita tak hanya seumur jagung. Sejak kecil kamu
sudah sering menyembunyikan sandal jepitku. Kau berlindung di balik daun-daun.
Tengah sibuk mencari-cari, kamu menertawaiku. Aku nangis habis diolok-olok
teman. Kau bilang aku pecundang.
Semua itu masih
terngiang di benakku; senyummu, ketawamu. Bahkan rambutmu yang seringku jujut karena
terlihat kusut. Laksana rambut bidadari tengah bangun tidur. “Kenapa dengan rambutmu?”
Aku tanyakan itu padamu. “Sisirku hilang”, dengan nada kesal kamu menjawabnya. Keesokannya
aku bawa kamu sisir. “Terima kasih” aku ikut senang mendengar ucapan itu. Aku
bilang dari hasil tabungan. Meskipun uangnya sengaja aku ambil di saku ibu yang
tergantung di kamar. Supaya kamu mau menerimanya.
Aku pinjam sepeda teman.
Saat itu kakimu berdarah. Akibat tersandung batu ketika main kejar-kejaran. Kau
membuat aku panik sebagaimana semut di atas wajan panas. “Pahlawan kesiangan
datang”, kau masih sempat mengejek. Tapi aku senang bisa banyak membantumu.
Deretan kisah itu
terlukis di tanah yang pernah kita singgahi. Walaupun kepulanganku tak satupun
yang bisa diingat. Disapu oleh ombak yang begitu dahsyat. Kita seperti mengukir
di pasir pantai Tomia. Sekejap hilang disapu air.
Kau begitu cepat
berubah. Lelaki asing itu membuat aku jemu. Kehadirannya mengubah
segala-galanya. Aku tahu kau masih menantiku. Dengan cahaya di matamu, kamu
masih menyimpan sekeping rindu untukku. Kau bilang tulus pada lelaki asing itu.
Tapi aku tak pernah yakin. Kau sama sepertiku. Dan masih merasakan hal yang serupa.
Ketika banjir melanda
tempat biasa kita duduk. Aku yakin kamu pasti bisa bertahan. Berenang tanpaku. Kehujanan
dan saat itu kamu pasti menggigil kedinginan karena tak ada yang melindungimu
dari derasnya hujan. Aku ingat sekali, waktu mandi di sungai kamu bilang tidak
bisa berenang. Agar aku mau menggendongmu. Kamu memang jago bersandiwara. Aku
gendong sampai ke tepian. Kemudian Aku angkat hingga ke atas. Waktu itu beratmu
masih beberapa kilo. Aku lupa mengingatnya. Bajumu terlihat kotor oleh lumut
menempel. Aku bersihkan dengan telapak tanganku yang sudah kasar laksana muka
sarang lebah. Kamu hanya diam melihatku. Akupun ikutan diam.
Ingin sekali mengulang
semua yang pernah kita ukir. Menikmati semilir angin di petang hari. Sembari melihat
padi yang sudah mulai menguning. Aku buatkan seruling dari batang padi. Kau
tiupkan, hingga mengalahkan nyanyian burung pipit yang suka makan padi Pak Tani.
Karena kesal tiba-tiba kamu sengaja patahkan. Kamu bilang aku menertawaimu. Tak
lama berselang, marahmu redam. “Aku ingin seperti burung-burung itu”, sambil
tatapanmu mengarah wajahku.
Kebersamaan kita begitu
banyak menuai pelajaran. Aku bahkan tak punya sahabat bercerita selain dirimu.
Sebenarnya ingin sekali menyatakan sesuatu. Jawabanmu akan mengubah
segala-galanya bagiku. Antara iya dan tidak. Tapi kau tak paham. Waktu kau bilang
“apa?”, aku tahu kamu malu. Tapi sengaja kamu simpan. Kamu memang sering begitu.
Ketika kamu memberiku hadiah. Saat dibuka ternyata
isinya jam tangan. Agar aku jangan lupa waktu, dan jangan sampai telat datang
ke tempat biasa kita duduk. Namun, tak kunjung dikenakan, karena aku yakin
harganya mahal. Kamu juga melakukan hal yang sama sewaktu aku membelimu sisir. Ambil
uang ibumu kan?
Mimpi-mimpi yang pernah
kita ucapkan, sekejap menjelma menjadi debu yang bertebaran. Dihempas oleh
angin kesana kemari. Bergelantung di udara kepalsuan. Menjadi fatomorgana yang
diombang-ambingkan.
Aku masih sempat
membawa kamu hadiah, kali ini benar-benar dari hasil keringatku sendiri. Tapi
kepulanganku terasa demikian lama. Kado itu sengaja tidak diberikan. Karena apa
yang aku lihat, cukup memberi alasan untuk menyimpannya di dalam peti
kesayanganku. Yang pernah kamu buka dulu. Isinya kamu sudah tahu; foto-fotomu,
serta surat yang pernah kau kirimkan. Tulisannya masih susah aku baca.
Aku senang bisa melihatmu
lagi meski dari kejauhan. Sekian lama tak dengar kata-katamu. Bicaramu yang
coplosan. Kadang membuat aku naik darah.
“Lihatlah ke sini Lela,
aku ada di balik sebatang pohon yang pernah kamu ukir. Nama kau dan aku. Dengan
huruf A besar dan huruf L kecil di tengah-tengah bertuliskan dengan simbol “&”.
Aku ingin menghapus namamu. Biarkan namaku dan simbol “&” yang tertinggal. Aku
juga ingin mengunci peti kesayanganku itu, dan kuncinya akan aku buang ke laut
Tomia waktu kita main air ketika matahari hendak tenggelam”. Aku melihatmu
mengendong bayi. Lela.
Mungkin dalam waktu
dekat aku akan kembali ke tempat dimana aku bekerja. Agar aku tak melihatmu
lagi. Aku tak bisa lama-lama. Lela. Dari kejauhan terlihat kita takkan pernah
menyatukan kepingan-kepingan yang sempat terpisah bertahun-tahun. Aku pergi.
Lela. Seperti air mengalir, sekarang aku hanya akan membawa diri ke mana langkah
kaki ini akan membawanya. Walaupun saya tahu, kamu pasti akan selalu berada di
dalam kepala ke mana pun aku akan pergi dan di mana pun aku akan berada.
Selamat tinggal. Lela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar