28 April 2014

Cerpen: Nama yang Pernah Terukir

Oleh: Sopliadi

Laut mana yang tengah aku selami, daratan mana yang sedang aku singgahi. Tersesat di hamparan gurun pasir. Di padang sabana. Mengharapkan segelas embun pagi datang menyejukkan dahaga yang kamu kumpulkan tiap pagi di musim kemarau. Dimanakah kau berada? Teringat adonan sajak-sajak waktu dulu kita ciptakan. Waktu itu kamu ingin menulis kata-kata di bajuku berwarna putih. Dengan jemarimu yang lentik waktu mengelus rambutku. Aku menolak. Karena itu hanya buat aku payah; melupakanmu.
Nyanyianmu bernada laras ceria, sempat aku ketawa tapi sengaja aku sembunyikan. Kau tak tahu saat itu aku begitu takut kehilanganmu. Ketika kamu mengajak pulang, aku bilang tunggu sebentar. Aku masih terpana melihat indah wajahmu. Tapi belum sekali pun kamu mengerti. Kau hanya tahu esok aku akan pergi. “Aku tidak mau meninggalkanmu”,  aku sampaikan kata-kata itu lewat kisaran angin di dekatmu. Karena bahasaku seringkali bikin kamu bertanya “apa”? “Dan maksudmu apa?”.  Perempuan memang selalu begitu. Tapi, aku bosan mendengarnya.
Tiap kali aku mengajukan pertanyaan, jawabanmu tak pernah langsung ke pointnya. Yang ada malah kamu balik bertanya. Itu membuat jantungku berdebar, seperti jantung para finalis di malam puncak saat penentuan siapa yang akan jadi pemenang. Kepergianku adalah perpisahan kita. Tapi kerinduan bagiku. Juga bagimu.
Sudah terbayang-bayang di dalam kepala, kita akan mengasingkan diri. Entah kapan pula sua kembali. Kemungkinan agak lama. Barangkali kamu sudah menggendong bayi. Seperti seorang ibu gendong anaknya yang sedang menangis. Sambil mendendangkan lagu yang pernah kita nyanyikan bersama. Kepergianku telah membuatmu tak berdaya. Aku tahu itu. Aku yang salah. Meninggalkanmu. Tapi kamu tidak pernah memberi kepastian. Aku kehabisan kata-kata; untuk meyakinkanmu.
Kamu hanya bilang suatu saat kita akan bertemu lagi. Tapi pertemuan yang kunantikan bertahun-tahun hanya berbuah kepahitan. Kau paksakan aku menelannya. Untuk melihatmu terakhir kalinya pun aku tidak mampu karena sudah ada laki-laki lain berdiri di sampingmu. Kamu bukan tidak menaruh belas kasihan. Kau hanya melakukan apa yang semestinya dilakukan. Aku berjuang tanpa kenal lelah. Berharap sepulang nanti tak mengecewakanmu. Dulu, kau sering benci aku. Karna aku tak tahu apa-apa dan hanya bisa diam manakala kamu bertanya. Aku hanya bisa bagaimana memanjat pohon kelapa ketika kamu haus. Kamu bosan itu, aku carikan kamu mangga. Aku juga yang memanjat.
Karena itu yang aku bisa. Ketika kamu ingin aku buatkan kamu PR sekolah, aku langsung diam. Karena aku tak pernah menginjak bangku sekolah. Tak seperti dirimu.
Misalkan waktu bisa diputar ke belakang. Aku tak akan menolak jika kamu ingin mengukir keabadian di bajuku lagi.
Andaikan kamu masih seperti dulu. Belum dimiliki oleh lelaki asing itu. Aku ingin sekali mengajak ke tempat kediamanku, di sana segala kegundahan, kerinduan, aku tuangkan ke dalam secarik kertas. Pojok atas kutuliskan namamu. Aksaranya sengaja dibuat lebih besar. Supaya saat tersingkap namamu langsung terlihat.
Memintamu melihat isi kamar. Supaya kamu bisa membaca tumpukan sajak-sajak yang tak sempat aku kirim. Melihat fotomu yang sudah kusut dalam peti kesayanganku. Melihat ribuan sisa bekas pena hanya demi menulis kata-kata untukmu. Agar kamu tahu apa yang aku lakukan tentangmu bukan bualan. Bahwa aku tidak seperti laki-laki lain yang hanya datang dan pergi.
Aku yakin kau mengharapkan itu semua. Karena senyum yang sengaja kau tebarkan waktu kepergianku, membuat tubuh seperti melambung di udara. Aku lambaikan tangan dalam bis yang sering kamu tumpangi ketika belanja ke pasar. Wajahmu pelan-pelan semakin mengecil sampai tak terlihat hingga kabut pagi menutupinya. Tapi pandanganku masih tetap menoleh ke belakang. “Kita sudah berpisah. Lela. Jaga dirimu baik-baik”. Kata-kata itu sengaja aku simpan. Karena aku tak kuasa melihat deraian air mata berlinang di dinding pipimu yang indah itu.
Enam bulan kemudian aku masih mendengar kabar darimu. Kamu kirimkan aku surat. “Aku sering pergi sendirian ke tempat yang biasa kita duduk, aku begitu merindukan masa-masa itu. Dalam waktu dekat kamu pasti datang menjengukku kan? Kamu harus pulang jika waktunya tiba. Dan kamu harus kembali. Karena aku menunggumu”. Itulah kata-kata terakhir dari suratmu. Kalimat itu bagai suara sayap burung merpati yang mengepak berterbangan seisi kamar. Aku hanya diam mendengar kesepianmu. Itu membuatku senang. Kamu masih mengingat goresan masa lalu.
Setiap mengingat wajahmu selalu mengusik pikiranku; rambutmu yang lurus, senyum simpul serta matamu yang binar. Setiap ketawa menunjukkan gigi-geligimu yang berbaris rapi seperti sabit rembulan. Aku rindu akan wajah itu. Aku berkata-kata dengan wajahmu di foto. Kau diam. Dan tersenyum melihatku.
Saat itu juga aku segera ingin pulang datang menemuimu. Tapi bosku tak beri izin. “Belum saatnya”, dengan nada keras. Tiap kali hendak pulang aku selalu mendapat kata-kata yang sama. Sama sepertimu tak pernah mengatakan dengan pasti. Kerap mebuatku merasa kesal. Kamu kan tahu aku bukan tipe lelaki pemarah. Mungkin kamu masih ingat ketika aku datang tidak tepat waktu ke tempat biasa kita duduk. Kamu langsung marah. Kau cubit perutku. “Sakit”, aku bilang. Tapi kau terus saja melakukannya. Namun aku tak membalasnya. Hingga membekas sampai sekarang.
Aku datang lebih awal, hampir setengah jam menunggu. Tiba-tiba kamu muncul dengan begitu rapi. Dengan semerbak wewangian bikin hidungku tersumbat. “Maaf, nunggu lama”, kau bilang sambil mengunyah permen karet. Tapi aku hanya diam. Karena aku tidak ingin menyakiti perasaanmu.
Saat kamu mengejarku, aku terjatuh kau pun ikutan terjatuh. Terasa nafasmu yang harum bau class up odol kesukaanmu. Saat mulutku berhadapan dengan bibirmu yang mungil, layaknya flm romantis sedang beradegan mesra dengan kekasihnya, membuatku melayang-layang di awan-awan nun biru. Tak lama kemudian seketika kamu menepisnya. “Mulutmu bau”, sembari kamu ketawa. Kita pun tertawa terbahak-bahak. Walau aku sedikit tersipu malu. Kebetulan waktu itu aku belum mandi, tergesa-gesa menemuimu.
***
Sekian lama aku memikul semua itu. Kabarmu tak lagi terdengar. Seakan-akan ditelan oleh zaman. Aku seperti sedang berkelana di tanah yang gersang dan tak tahu arah tujuan. Tersesat dalam rimbanya hutan. Terpelanting bagaikan kapas berterbangan. Tenggelam dalam lembah dosa. Hanyut oleh derasnya air.
Bajuku yang tak sengaja kau tempelkan dengan bibirmu lagi-lagi aku taruh dalam peti kesayangan. Lela. Lela!. Kenapa dirimu tak seperti dulu lagi. Suka onar di dekatku. Menepuk pundakku jika kamu kesal. Menarik rambutku sampai tubuhku tersungkur ke belakang. Kau diam-diam masukkan kecoak ke dalam sakuku, setiba di rumah buat aku terpekik. “Dasar kamu yang jahil”, aku merasa jengkel.
Tengah menikmati hidangan, kamu datang memanggilku. Saat ibu menyuruh masuk, “aku di luar saja bu”. Karena kamu malu. Akupun makan dengan cepat-cepat. Karena tak ingin kamu menunggu lama. Tiap saban datang ke tempat biasa kita ngobrol, kamu tak pernah lupa bawa ketela rebus hasil kebun ayahmu. Kau bagikan aku setengah dan kamu setengah. Kamu habis duluan, kemudian meminta bagianku. Pas pulang kebetulan hujan. Aku berlari mengambil sehelai daun pisang agar kamu tidak kebasahan. Aku khawatir kamu sakit.
Betapa pedulinya aku dengan kesehatanmu. Sebab, kebersamaan kita tak hanya seumur jagung. Sejak kecil kamu sudah sering menyembunyikan sandal jepitku. Kau berlindung di balik daun-daun. Tengah sibuk mencari-cari, kamu menertawaiku. Aku nangis habis diolok-olok teman. Kau bilang aku pecundang.
Semua itu masih terngiang di benakku; senyummu, ketawamu. Bahkan rambutmu yang seringku jujut karena terlihat kusut. Laksana rambut bidadari tengah bangun tidur. “Kenapa dengan rambutmu?” Aku tanyakan itu padamu. “Sisirku hilang”, dengan nada kesal kamu menjawabnya. Keesokannya aku bawa kamu sisir. “Terima kasih” aku ikut senang mendengar ucapan itu. Aku bilang dari hasil tabungan. Meskipun uangnya sengaja aku ambil di saku ibu yang tergantung di kamar. Supaya kamu mau menerimanya.
Aku pinjam sepeda teman. Saat itu kakimu berdarah. Akibat tersandung batu ketika main kejar-kejaran. Kau membuat aku panik sebagaimana semut di atas wajan panas. “Pahlawan kesiangan datang”, kau masih sempat mengejek. Tapi aku senang bisa banyak membantumu.
Deretan kisah itu terlukis di tanah yang pernah kita singgahi. Walaupun kepulanganku tak satupun yang bisa diingat. Disapu oleh ombak yang begitu dahsyat. Kita seperti mengukir di pasir pantai Tomia. Sekejap hilang disapu air.
Kau begitu cepat berubah. Lelaki asing itu membuat aku jemu. Kehadirannya mengubah segala-galanya. Aku tahu kau masih menantiku. Dengan cahaya di matamu, kamu masih menyimpan sekeping rindu untukku. Kau bilang tulus pada lelaki asing itu. Tapi aku tak pernah yakin. Kau sama sepertiku. Dan masih merasakan hal yang serupa.
Ketika banjir melanda tempat biasa kita duduk. Aku yakin kamu pasti bisa bertahan. Berenang tanpaku. Kehujanan dan saat itu kamu pasti menggigil kedinginan karena tak ada yang melindungimu dari derasnya hujan. Aku ingat sekali, waktu mandi di sungai kamu bilang tidak bisa berenang. Agar aku mau menggendongmu. Kamu memang jago bersandiwara. Aku gendong sampai ke tepian. Kemudian Aku angkat hingga ke atas. Waktu itu beratmu masih beberapa kilo. Aku lupa mengingatnya. Bajumu terlihat kotor oleh lumut menempel. Aku bersihkan dengan telapak tanganku yang sudah kasar laksana muka sarang lebah. Kamu hanya diam melihatku. Akupun ikutan diam.
Ingin sekali mengulang semua yang pernah kita ukir. Menikmati semilir angin di petang hari. Sembari melihat padi yang sudah mulai menguning. Aku buatkan seruling dari batang padi. Kau tiupkan, hingga mengalahkan nyanyian burung pipit yang suka makan padi Pak Tani. Karena kesal tiba-tiba kamu sengaja patahkan. Kamu bilang aku menertawaimu. Tak lama berselang, marahmu redam. “Aku ingin seperti burung-burung itu”, sambil tatapanmu mengarah wajahku.
Kebersamaan kita begitu banyak menuai pelajaran. Aku bahkan tak punya sahabat bercerita selain dirimu. Sebenarnya ingin sekali menyatakan sesuatu. Jawabanmu akan mengubah segala-galanya bagiku. Antara iya dan tidak. Tapi kau tak paham. Waktu kau bilang “apa?”, aku tahu kamu malu. Tapi sengaja kamu simpan. Kamu memang sering begitu.
Ketika  kamu memberiku hadiah. Saat dibuka ternyata isinya jam tangan. Agar aku jangan lupa waktu, dan jangan sampai telat datang ke tempat biasa kita duduk. Namun, tak kunjung dikenakan, karena aku yakin harganya mahal. Kamu juga melakukan hal yang sama sewaktu aku membelimu sisir. Ambil uang ibumu kan?
Mimpi-mimpi yang pernah kita ucapkan, sekejap menjelma menjadi debu yang bertebaran. Dihempas oleh angin kesana kemari. Bergelantung di udara kepalsuan. Menjadi fatomorgana yang diombang-ambingkan.
Aku masih sempat membawa kamu hadiah, kali ini benar-benar dari hasil keringatku sendiri. Tapi kepulanganku terasa demikian lama. Kado itu sengaja tidak diberikan. Karena apa yang aku lihat, cukup memberi alasan untuk menyimpannya di dalam peti kesayanganku. Yang pernah kamu buka dulu. Isinya kamu sudah tahu; foto-fotomu, serta surat yang pernah kau kirimkan. Tulisannya masih susah aku baca.
Aku senang bisa melihatmu lagi meski dari kejauhan. Sekian lama tak dengar kata-katamu. Bicaramu yang coplosan. Kadang membuat aku naik darah.
“Lihatlah ke sini Lela, aku ada di balik sebatang pohon yang pernah kamu ukir. Nama kau dan aku. Dengan huruf A besar dan huruf L kecil di tengah-tengah bertuliskan dengan simbol “&”. Aku ingin menghapus namamu. Biarkan namaku dan simbol “&” yang tertinggal. Aku juga ingin mengunci peti kesayanganku itu, dan kuncinya akan aku buang ke laut Tomia waktu kita main air ketika matahari hendak tenggelam”. Aku melihatmu mengendong bayi. Lela.
Mungkin dalam waktu dekat aku akan kembali ke tempat dimana aku bekerja. Agar aku tak melihatmu lagi. Aku tak bisa lama-lama. Lela. Dari kejauhan terlihat kita takkan pernah menyatukan kepingan-kepingan yang sempat terpisah bertahun-tahun. Aku pergi. Lela. Seperti air mengalir, sekarang aku hanya akan membawa diri ke mana langkah kaki ini akan membawanya. Walaupun saya tahu, kamu pasti akan selalu berada di dalam kepala ke mana pun aku akan pergi dan di mana pun aku akan berada. Selamat tinggal. Lela.




Tidak ada komentar: