Oleh: Sopliadi
Tiga
puluh dua tahun Indonesia di bawah bayangan hantu otoritarian yang dipimpin
oleh seorang diktator dengan begitu represif. Era kekuasaannya semua dibungkam
dengan segala cara yang bervariatif. Termasuk membenarkan kekerasan sebagai
amunisi bagi pihak yang ingin mencoba melawan. Apa yang dikatakan Alquin “vok populi, vok dei” (suara rakyat adalah
suara tuhan) tiada pernah diindahkan. Gaungan rakyat hanyalah nyanyian
pengantar tidur bagi mereka yang terlelap dalam kemewahan hasil jeri payah
orang-orang kecil.
Saluran-saluran
demokratisasi pada masa orde baru sangat tertutup. Di kampus diterapkan apa
yang disebut sebagai Badan Koordinasi Kampus. Normalisasi Kehidupan Kampus,
yang sangat mengekang gerakan mahasiswa. Kreatifitas dan kebebasan berekspresi
tak lagi dapat dinikmati. Tak ada lagi ruang bagi media untuk meyampaikan
kebenaran informasi kepada masyarakat akibat tekanan begitu kuat.
Kebebasan
pers dikekang untuk menutupi kebusukan atas perbuatan rezim saat itu. Pers tak
ada lagi yang kritis, sehingga penerbitan pers mahasiswa sebagai pers
alternatif pun menjadi media pendidikan politik yang sangat strategis bagi
masyarakat. Walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, kita harus
menyadari bahwa pers akan menjadi bebas atau tidaknya tergantung kepada rezim
yang sedang berkuasa. Tapi, bukan bearti kebenaran diharamkan.
Kendati
demikian, hantu orde baru dengan segala kerakusannya tidak bertahan lama.
Seiring perjalanan tepat pada tahun 1997-1998 keruntuhannya mulai terasa, buah
ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat. Hingga sekarang peristiwa itu masih
menjadi misteri, tumbangnya rezim tersebut memang bukti nyata dari ketidakpuasan
rakyat atau ada intervensi “imposible hand” yang punya kepentingan dan hajatan.
Atau jangan-jangan masyarakat hanya dijadikan aktor dalam sebuah pertunjukan,
dan skenario dari semua itu tergantung dalang yang mempunyai hajatan.
Seiring
perjalanan, pasca tumbangnya rezim Soeharto, reformasi pun dikumandangkan
manifestasi berakihirnya era kediktatoran. Pada masa ini arus reformasi membawa
kebebasan serta demokratisasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan
berekspresi. Maka pengekangan pada pers tidak terjadi lagi, baik umum maupun
pers mahasiswa.
Demokrasi
dituntut agar kebebasan sedapat mungkin melebarkan sayap disegala dimensi
supaya rakyat menikmati dan ikut serta dalam agenda pemerintahan. Ragam agenda
digulirkan dalam lingkup reformasi sejauh demi kepentingan masyarakat dan tidak
menyalahi asas yang telah ditentukan maka dapat dibenarkan. Begitu juga dengan
pers, mendapat tempat secara proporsional sesuai dengan koridor undang-undang
pers. Bahkan pers menjadi pilar ke-empat. Sekaligus mendapat posisi strategis
dalam mengambil peran sebagai instrumen untuk menyampaikan informasi secara
objektif.
Berbagai
media pers pun bermuculan dengan landasan ingin mengabdi kepada masyarakat dan
menampung aspirasi-aspirasi suara mereka lewat media yang ada. Di dalam pers
dikatakan, dalam mencari fakta pers harus objektif dan selalu berpijak pada
kode etik. Karena dia merupakan kompas petunjuk arah selama operasional media
berjalan. Dengan harapan, ke-depan pers menjadi anjing penjaga setiap
perjalanan pemerintahan negeri ini. Daya kontrol media sangat diharapkan agar
tercipta pemerintahan good governance sesuai dengan apa yang telah menjadi
cita-cita semangat demokrasi. Karena demokrasi dianggap dapat memberikan ruang
partisipasi masyarakat yang tidak hanya sebatas bersuara, tapi juga termasuk di
dalamnya bagaimana perlindungan dan hak-hak dapat dijamin dengan sebaik
mungkin.
Tapi,
yang terjadi jauh dari apa yang didambakan. Semangat yang dibawa reformasi
kehilangan ruh, kepingan-kepingan kebenaran mulai terlihat kabur. Demokrasi
hanya menjadi ajang pengais rezeki bagi para elit. Rasa malu tak lagi tertanam
dalam wajah-wajah para birokrat bangsa ini. Apa yang diimpikan oleh Bapak
Proklamator kelahiran Bukit Tinggi itu masih sangat jauh dari apa yang pernah
dia bayangkan. Demokrasi kian menciptakan abnormalitas, kian memperdalam jurang
bagi orang-orang kecil.
Begitu
juga dengan media-media mulai kehilangan independensi dalam menyampaikan
informasi. Kebenaran seringkali diambil secara sepihak tanpa ada interpretasi
secara mendalam terhadap sebuah realitas. Fenomena menjadi kebenaran tunggal
hasil kontruksi pemikiran moderen, tanpa mempertimbangkan noumena sebagai wujud
kebenaran yang lebih tinggi. Masih mengagungkan imajiner dan menghilangkan
imajinasi.
Bulan
madu media dengan partai politik kian mencuat di permukaan. Seakan-akan media
mengalami distorsi dan disorientasi. Apa yang dibicarakan media sudah
dikonstruksi sebaik mungkin sehingga ada kesan ingin mengubah pandangan
pendapat publik terhadap sebuah peristiwa yang terjadi. Isu yang satu belum clar isu lain pun muncul untuk menutupi
isu yang lebih besar.
Pemandangan
seperti ini sudah menjadi kelaziman media-media saat ini. Bahkan tak pelak
media kerap memberitakan peristiwa di luar kelaziman. Apa yang disampaikan
media hanya kebenaran yang terpotong-potong, sehingga menimbulkan
multi-interpretasi membabi buta terhadap sebuah fenomena. Media menjadikan
peristiwa tidak penting menjadi penting, seolah-olah sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, padahal kenyataannya tidak. Membesar-besarkan suatu peristiwa,
namun dampaknya terhadap masyarakat
menjadi nihil.
Apalagi
mendekati ajang pemilu 2014, panggung bersimbah uang. Segala kekuatan
dikerahkan demi singgasana kekuasaan. Bahkan media sendiri ikut andil dalam
menyokong kesuksesan pemilu. Dengan berbagai cara dilakukan, baik lewat iklan
politik maupun dengan cara membangun citra masing-masing kandidat. Kebenaran
dikesampingkan dan terkesan menutupi kenyataan yang sebenarnya karena harus
memenuhi apa yang menjadi kehendak penguasa. Ketika media tidak lagi berjalan
dalam koridor yang ada dan lebih mengedepankan kepentingan tertentu ketimbang
menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat, apakah itu
layak dikatakan independen?
Selain
memberitakan keadaan yang sebenarnya media juga semestinya harus bisa keluar
dari tekanan di atas. Karena jika apa yang tengah terjadi sekarang dan
seterusnya media tetap berjalan di bawah kepentingan kelompok selamanya pemilu
tidak akan berjalan dengan maksimal. Tiap kali pemberitaan disampaikan dengan
lugas agar terkesan orisinil, dan menafikan apa yang tengah terjadi. Dengan
lantang menampilkan sosok revolusioner yang berwajah populis seakan-akan
terlihat layaknya Imam Mahdi sang juru penyelamat. Berslogan dengan rangkaian
kata-kata penuh kebijaksanaa demi kepentingan masyarakat, “kalau bukan kita
siapa lagi”. Menampilkan senyuman yang indah dipenuhi gelak ketawa masyarakat
agar terkesan inilah pemimpin yang akan membawa perubahan.
“Demi
menegakkan demokrasi kita harus senantiasa membuka ruang bagi orang kecil untuk
mengemukakan pendapatnya. Memberi mereka pekerjaan. Menjadikan pendidikan
gratis”. Begitulah yang terlihat tiap kali menatap layar kaca televisi. Pemilu
layaknya panggung penuh kepura-puraan. Penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Ditambah
semua stasiun yang ada dimiliki oleh orang tertentu yang notabene juga menjadi
salah figur yang akan mencalonkan diri untuk tahun 2014. Dapatkah masyarakat
memetik itu semua?
Bukankah
pemilu sudah berjalan selama beberapa tahun yang lalu. Mereka juga menampilkan
hal yang sama dan janji yang tak jauh berbeda. Hanya tampilan yang beda tapi
isinnya tetap sama. Namun tetap saja dalam kenyataan tidak mengalami perubahan
yang fundmental. Malah kian menjadikan negeri ini kian bobrok. Memperbesar
angka kemiskinan ulah uang negara dikunyah habis-habisan. Apakah mereka bukan
hasil pemilu? Masih ingat ketika mereka dengan lantang mengatakan stop korupsi,
katakan tidak dengan korupsi. Kalau bukan bohong terus namanya apa?
Begitulah
citra yang dibangun media. Mendesain sesuatu agar terlihat asli tapi malah
terlihat tidak orisinil. Karena ribuan mata pernah menyaksikan tiap kali janji
yang dilemparkan tak kunjung berbuah manis. Masyarakat bukan keledai yang mau
jatuh ke lubanag sama. Karena pengalaman cukup memberikan mereka pelajaran yang
dapat dipetik untuk dijadikan senjata bagi nasib masa depan bangsa. Nasib bangsa
bukan di tangan pemimpin, juga bukan di tangan para elit di sana. Kita semua
yang akan menentukan kemana bangsa ini akan melangkah.
Pemimpin
tidak hanya dibutuhkan ketegasan, wibawa, sosialis, atau apalah nama yang lebih
indah lagi. Di saat krisis kepemimpinan kita kembali mendambakam akan datang
seorang pemimpin seorang filsuf yang memilik arete yang pernah diungkapkan Plato, selain bertanggung jawab juga
dapat memimpin denga rasa, memimpin dengan hati dan perasaan. Merasakan apa itu
kelaparan, pahitnya kehidupan yang harus mengemis kepada pemerintah yang hanya
tahu makan enak dari hasil pajak rakyat. Itulah yang bangsa ini harapkan.