27 Mei 2014

Distorsi Penguasaan Media Massa


Oleh: Sopliadi

Tiga puluh dua tahun Indonesia di bawah bayangan hantu otoritarian yang dipimpin oleh seorang diktator dengan begitu represif. Era kekuasaannya semua dibungkam dengan segala cara yang bervariatif. Termasuk membenarkan kekerasan sebagai amunisi bagi pihak yang ingin mencoba melawan. Apa yang dikatakan Alquin “vok populi, vok dei” (suara rakyat adalah suara tuhan) tiada pernah diindahkan. Gaungan rakyat hanyalah nyanyian pengantar tidur bagi mereka yang terlelap dalam kemewahan hasil jeri payah orang-orang kecil.
Saluran-saluran demokratisasi pada masa orde baru sangat tertutup. Di kampus diterapkan apa yang disebut sebagai Badan Koordinasi Kampus. Normalisasi Kehidupan Kampus, yang sangat mengekang gerakan mahasiswa. Kreatifitas dan kebebasan berekspresi tak lagi dapat dinikmati. Tak ada lagi ruang bagi media untuk meyampaikan kebenaran informasi kepada masyarakat akibat tekanan begitu kuat.
Kebebasan pers dikekang untuk menutupi kebusukan atas perbuatan rezim saat itu. Pers tak ada lagi yang kritis, sehingga penerbitan pers mahasiswa sebagai pers alternatif pun menjadi media pendidikan politik yang sangat strategis bagi masyarakat. Walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, kita harus menyadari bahwa pers akan menjadi bebas atau tidaknya tergantung kepada rezim yang sedang berkuasa. Tapi, bukan bearti kebenaran diharamkan.
Kendati demikian, hantu orde baru dengan segala kerakusannya tidak bertahan lama. Seiring perjalanan tepat pada tahun 1997-1998 keruntuhannya mulai terasa, buah ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat. Hingga sekarang peristiwa itu masih menjadi misteri, tumbangnya rezim tersebut memang bukti nyata dari ketidakpuasan rakyat atau ada intervensi “imposible hand” yang punya kepentingan dan hajatan. Atau jangan-jangan masyarakat hanya dijadikan aktor dalam sebuah pertunjukan, dan skenario dari semua itu tergantung dalang yang mempunyai hajatan.
Seiring perjalanan, pasca tumbangnya rezim Soeharto, reformasi pun dikumandangkan manifestasi berakihirnya era kediktatoran. Pada masa ini arus reformasi membawa kebebasan serta demokratisasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Maka pengekangan pada pers tidak terjadi lagi, baik umum maupun pers mahasiswa.
Demokrasi dituntut agar kebebasan sedapat mungkin melebarkan sayap disegala dimensi supaya rakyat menikmati dan ikut serta dalam agenda pemerintahan. Ragam agenda digulirkan dalam lingkup reformasi sejauh demi kepentingan masyarakat dan tidak menyalahi asas yang telah ditentukan maka dapat dibenarkan. Begitu juga dengan pers, mendapat tempat secara proporsional sesuai dengan koridor undang-undang pers. Bahkan pers menjadi pilar ke-empat. Sekaligus mendapat posisi strategis dalam mengambil peran sebagai instrumen untuk menyampaikan informasi secara objektif.
Berbagai media pers pun bermuculan dengan landasan ingin mengabdi kepada masyarakat dan menampung aspirasi-aspirasi suara mereka lewat media yang ada. Di dalam pers dikatakan, dalam mencari fakta pers harus objektif dan selalu berpijak pada kode etik. Karena dia merupakan kompas petunjuk arah selama operasional media berjalan. Dengan harapan, ke-depan pers menjadi anjing penjaga setiap perjalanan pemerintahan negeri ini. Daya kontrol media sangat diharapkan agar tercipta pemerintahan good governance sesuai dengan apa yang telah menjadi cita-cita semangat demokrasi. Karena demokrasi dianggap dapat memberikan ruang partisipasi masyarakat yang tidak hanya sebatas bersuara, tapi juga termasuk di dalamnya bagaimana perlindungan dan hak-hak dapat dijamin dengan sebaik mungkin.
Tapi, yang terjadi jauh dari apa yang didambakan. Semangat yang dibawa reformasi kehilangan ruh, kepingan-kepingan kebenaran mulai terlihat kabur. Demokrasi hanya menjadi ajang pengais rezeki bagi para elit. Rasa malu tak lagi tertanam dalam wajah-wajah para birokrat bangsa ini. Apa yang diimpikan oleh Bapak Proklamator kelahiran Bukit Tinggi itu masih sangat jauh dari apa yang pernah dia bayangkan. Demokrasi kian menciptakan abnormalitas, kian memperdalam jurang bagi orang-orang kecil.
Begitu juga dengan media-media mulai kehilangan independensi dalam menyampaikan informasi. Kebenaran seringkali diambil secara sepihak tanpa ada interpretasi secara mendalam terhadap sebuah realitas. Fenomena menjadi kebenaran tunggal hasil kontruksi pemikiran moderen, tanpa mempertimbangkan noumena sebagai wujud kebenaran yang lebih tinggi. Masih mengagungkan imajiner dan menghilangkan imajinasi.
Bulan madu media dengan partai politik kian mencuat di permukaan. Seakan-akan media mengalami distorsi dan disorientasi. Apa yang dibicarakan media sudah dikonstruksi sebaik mungkin sehingga ada kesan ingin mengubah pandangan pendapat publik terhadap sebuah peristiwa yang terjadi. Isu yang satu belum clar isu lain pun muncul untuk menutupi isu yang lebih besar.
Pemandangan seperti ini sudah menjadi kelaziman media-media saat ini. Bahkan tak pelak media kerap memberitakan peristiwa di luar kelaziman. Apa yang disampaikan media hanya kebenaran yang terpotong-potong, sehingga menimbulkan multi-interpretasi membabi buta terhadap sebuah fenomena. Media menjadikan peristiwa tidak penting menjadi penting, seolah-olah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, padahal kenyataannya tidak. Membesar-besarkan suatu peristiwa, namun dampaknya terhadap masyarakat  menjadi nihil.
Apalagi mendekati ajang pemilu 2014, panggung bersimbah uang. Segala kekuatan dikerahkan demi singgasana kekuasaan. Bahkan media sendiri ikut andil dalam menyokong kesuksesan pemilu. Dengan berbagai cara dilakukan, baik lewat iklan politik maupun dengan cara membangun citra masing-masing kandidat. Kebenaran dikesampingkan dan terkesan menutupi kenyataan yang sebenarnya karena harus memenuhi apa yang menjadi kehendak penguasa. Ketika media tidak lagi berjalan dalam koridor yang ada dan lebih mengedepankan kepentingan tertentu ketimbang menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat, apakah itu layak dikatakan independen?
Selain memberitakan keadaan yang sebenarnya media juga semestinya harus bisa keluar dari tekanan di atas. Karena jika apa yang tengah terjadi sekarang dan seterusnya media tetap berjalan di bawah kepentingan kelompok selamanya pemilu tidak akan berjalan dengan maksimal. Tiap kali pemberitaan disampaikan dengan lugas agar terkesan orisinil, dan menafikan apa yang tengah terjadi. Dengan lantang menampilkan sosok revolusioner yang berwajah populis seakan-akan terlihat layaknya Imam Mahdi sang juru penyelamat. Berslogan dengan rangkaian kata-kata penuh kebijaksanaa demi kepentingan masyarakat, “kalau bukan kita siapa lagi”. Menampilkan senyuman yang indah dipenuhi gelak ketawa masyarakat agar terkesan inilah pemimpin yang akan membawa perubahan.
“Demi menegakkan demokrasi kita harus senantiasa membuka ruang bagi orang kecil untuk mengemukakan pendapatnya. Memberi mereka pekerjaan. Menjadikan pendidikan gratis”. Begitulah yang terlihat tiap kali menatap layar kaca televisi. Pemilu layaknya panggung penuh kepura-puraan. Penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Ditambah semua stasiun yang ada dimiliki oleh orang tertentu yang notabene juga menjadi salah figur yang akan mencalonkan diri untuk tahun 2014. Dapatkah masyarakat memetik itu semua?
Bukankah pemilu sudah berjalan selama beberapa tahun yang lalu. Mereka juga menampilkan hal yang sama dan janji yang tak jauh berbeda. Hanya tampilan yang beda tapi isinnya tetap sama. Namun tetap saja dalam kenyataan tidak mengalami perubahan yang fundmental. Malah kian menjadikan negeri ini kian bobrok. Memperbesar angka kemiskinan ulah uang negara dikunyah habis-habisan. Apakah mereka bukan hasil pemilu? Masih ingat ketika mereka dengan lantang mengatakan stop korupsi, katakan tidak dengan korupsi. Kalau bukan bohong terus namanya apa?
Begitulah citra yang dibangun media. Mendesain sesuatu agar terlihat asli tapi malah terlihat tidak orisinil. Karena ribuan mata pernah menyaksikan tiap kali janji yang dilemparkan tak kunjung berbuah manis. Masyarakat bukan keledai yang mau jatuh ke lubanag sama. Karena pengalaman cukup memberikan mereka pelajaran yang dapat dipetik untuk dijadikan senjata bagi nasib masa depan bangsa. Nasib bangsa bukan di tangan pemimpin, juga bukan di tangan para elit di sana. Kita semua yang akan menentukan kemana bangsa ini akan melangkah.
Pemimpin tidak hanya dibutuhkan ketegasan, wibawa, sosialis, atau apalah nama yang lebih indah lagi. Di saat krisis kepemimpinan kita kembali mendambakam akan datang seorang pemimpin seorang filsuf yang memilik arete yang pernah diungkapkan Plato, selain bertanggung jawab juga dapat memimpin denga rasa, memimpin dengan hati dan perasaan. Merasakan apa itu kelaparan, pahitnya kehidupan yang harus mengemis kepada pemerintah yang hanya tahu makan enak dari hasil pajak rakyat. Itulah yang bangsa ini harapkan.


28 April 2014

Cerpen: Beduk Misterius

Sopliadi
Siapa yang tidak berani tidur di mesjid, selain dianggap suci juga bisa digunakan untuk memperbanyak pahala. Apalagi di bulan puasa, setiap sudut rumah terdengar lantunan ayat-ayat suci. Konon, bulan puasa merupakan bulan penuh rahmat. Setan manapun diikat. Agar tak mengganggu.
Malam itu tepat pertengahan puasa. Listrik sengaja dimatikan PLN. “Karena tiap kali hujan, listrik selalu begitu”. Ungkap salah satu penunggu mesjid. Terkadang shalat berjamaah tengah berlangsung tiba-tiba listrik mati. Membuat Pak Lurah setempat jadi geram. Saat mau pergi, Pak Hajar alias penjaga mesjid, sempat dikagetkan oleh dua orang sedang membawa lampu semprong. Yang satu pakai sarung merk Wadimor melilit badan. Nah, yang Hio dengan jaket tebal, sarung sengaja ia simpan.
“syukurlah kalian datang” Pak Hajar terlihat senang.
“Bapak mau kemana?” Tanya Hio.
“Rencanya mau ke warung beli lilin, tapi karena kalian sudah bawa lampu, bapak pulang ke-rumah sajalah. Sekalian makan sahur”.
“Oh, nanti bapak balik lagi?”. Noi memastikan.
“Iya...!!! tapi agak lama, soalnya makan bapak banyak”. Pak Hajar menyahutinya.
“Pantes aja ngga kurus-kurus”. Hio berceloteh.
“Hussssst, nanti dia dengar kita bisa dimarahin loe. Kamu mau, nggak diizinkan masuk mesjid?
“Maaf”, Hio terlihat sedikit menyesal.
Mereka pun langsung masuk mesjid. Sambil menuggu listrik nyala, tengah cahaya kekuningan lampu semprong. Terdengar lantunan ayat suci yang dibacakan Noi. Bacaannya cukup fasih tak kalah dengan bacaan Pak Ustad depan rumahnya. Selain rajin mengaji, ia juga pernah juara lomba pengajian tingkat desa. Apalagi sejak masuk pesantren ternama membuat ia percaya diri tatkala membaca kitab suci dalam mesjid.
Hio hanya diam, karena dia hanya tamatan SMA. Tentang seluk-beluk Al-quran tak banyak ia pahami. Tapi matanya terus memerhati gerak-gerik bibir temannya. Sesekali melemparkan senyum. Tanpa pernah berkedip.
“Pantes aja anak tetangga sebelah tergila-gila padanya”. Amir ngangguk. Tangannya sambil menahan dagu.  Sekarang Hio jadi tahu, agar dapat menggaet cewek tetangga dia harus pintar mengaji.
***
Malam terasa begitu hening. Kampung terlihat gelap pekat. Malam kian larut, senyap, mencekam, listrik tak kunjung menyala. Membuat Hio jadi gelisah. Matanya lirik kesana-kemari berharap Pak Hajar datang. Kebetulan dari tadi pintu sengaja dibuka. Agar jika tertidur tidak merepotkan Pak Hajar. Untuk strategi Hio memang jagonya. Saleh masih melanjutkan bacaannya. Amir tetap diam membisu sembari merebahkan badan.  
Jam sudah menunjukkan pukul 12:00 tepat. Tak biasanya Hio masih tetap berjaga. Lazimnya pada jam segitu ia sudah molor. Sejak selepas magrib, dia dan Noi memang sudah berjanji untuk tidur di mesjid. Pak Kiai pernah bilang kalau malam puasa semua setan diikat. Bertepatan pula malam Lailatul Qadhar. Konon, ceritanya tak sembarang orang dapat melihatnya. Karena pada malam itu semua makhluk di bumi ikut tunduk-sembah sujud kepada sang pencipta. Cerita Pak Kiai membuat mereka harus berjaga-jaga hingga menjelang matahari terbit.
Berselang beberapa menit, suara yang tadinya merdu pelan-pelan makin berkurang. Noi terlihat kecapean, buktinya, dirinya sudah menguap. Bikin Hio tutup hidung, karena masih tercium bau sisa jengkol. Apalagi dari tadi tak kunjung jeda, suaranya terdengar garau. Seperti suara nenek sedang melafalkan ayat demi ayat.
Seketika itu juga, terdengar gemercik langkah dari luar. Dari jendela terlihat peci putih Pak Hajar sambil mengeluarkan batuk ciri khasnya. Hio tadinya berbaring-baring langsung bangkit berdiri. Membuat Noi terperanjat. “Ada apa?” Bernada kaget. “Itu dia datang”. Dengan bibir menjulur Hio beri isyarat. “Dia siapa?” Penuh rasa ingin tahu. “Pak Hajar”, Amir menjawab menunjuk ke arah pintu, sembari tangan kiri menggosok mata yang sudah mengantuk.
“Dasar orang tua”, Hio merasa jengkel. “Hussst, dengan suara didesiskan, yang penting dia sudah datang”. Noi terpaksa berdesis yang kedua kalinya. “Tapi tetap saja molor”, bantah Hio. Percakapan antar keduanya berlangsung. Mereka seringkali debat tanpa akar masalah. Bahkan tak jarang buat kesal Mak Rinda yang debat melulu di warung ketika pesan makanan.
Eooot,,,!!! suara pintu terdengar.  Pak Hajar masuk. Seketika langsung duduk sambil mengulurkan kolak pisang sisa buka puasa tadi petang. Tanpa berlama-lama mereka langsung menikmati dan masih cukup segar.
“Kolaknya enak Pak”, dengan senang Hio memberi pujian.
“Bilang saja kamu lapar”, Saleh mengejek. “Udah udah” Pak Hajar tiba-tiba menenangkan. Makanlah dulu nanti kita lanjutkan bicaranya.
Pak Hajar, Noi, dan Hio. Ketiganya mengelilingi lampu semprong. Layaknya orang lagi ngepet. Sambil menunggu lilin biar jangan padam. Tepatnya begitu.
Semua jadi diam. Sesekali saling menatap satu sama lain. Dengan tarikan napas panjang, seperti mencium bunga yang sedang menebarkan harum. Pak Hajar bercakap. “Dulu, Bapak pernah mengalami kejadian sungguh mengerikan”. Dengan suara tegang dan serius mereka bersitegang. Hio diam dan matanya menatap dengan tajam. Malam terasa dingin dan semilir angin seakan-akan sengaja menyapa.
“Lantas bagaimana kejadinnya Pak?” Tanya Noi tiba-tiba. Tak kuat menunggu bagaimana kejadian yang dialami Pak Hajar.
“Kalian tahu beduk itu” telunjuknya menuju beduk yang ia maksud. Enam pasangan mata pun tertuju pada benda tersebut yang tak jauh dari tempat usungan mayat. “kami tahu pak”, dengan wajah pasi, Hio dan Noi menjawabnya dengan serempak. Sambil mendekati Pak Hajar. Cahaya lampu semprong tak lagi terang-benderang seperi tadi, waktu masih menunjukkan jam satu malam.
“Apa ini semua ada kaitannya dengan hantu, pak?”, Hio coba menebak kejadian yang pernah dialami Pak Hajar. Sebab terkaannya jarang pernah macet. “Kan Pak Kiai pernah bilang kalau hantu diikat dimalam ramadhan”, Hio menatap Pak Hajar dengan mata melotot. “Iya, bapak juga tahu, tapi kejadian ini tidak ada kaitannya dengan hantu, apalagi yang berbau mistik. Hanya saja kejadiannya sungguh aneh.
“Saya sendiri masih kurang yakin kalau itu perbuatan Jin yang sengaja menakut-nakuti Bapak, apalagi sejauh yang saya pahami, Jin tidak pernah berbuat jahat dengan bangsa manusia. Sejauh kita tidak mengganggu kehidupan mereka. Apa yang saya alami sangat bertolak-belakang dengan apa yang bapak pahami”. Hio dan Noi semakin tak sabar ingin mendengar kelanjutan kisah tersebut.
“Terus bagaimana lagi Pak?”. Mereka terus memaksa penjaga mesjid untuk melanjutkan.
“Pada suatu malam awal puasa. Bapak tidur di mesjid seperti biasa yang bapak lakukan. Tiba-tiba terbangun, bapak sempat kaget saat Jojon memukul beduk dengan begitu keras karena memasuki waktu subuh. Bapak langsung terperanjat. Dan bertanya-tanya???. Kok bapak bisa ada di dalam beduk tersebut. Jojon masih terus memukul beduk. Apalagi pemukulnya terbuat dari kabung. Yang panjangnya kurang lebih 1,5 m. Bikin selaput telinga rasanya mau pecah berkeping-keping”.
“Untung telinga bapak tidak benaran pecah. Mata Jojon langsung melalak seperti kerasukan setan ketika melihat kepala bapak nongol. Tak kuasa menahan takut dia pun terbirit-birit dengan suara menjerit seperti sedang dikejar malaikat pencabut nyawa. Hingga sarung yang dikenakannya jatuh ke lantai, hanya tinggal celana dalam.
“Sambil meminta tolong dengan warga”. Pak Hajar terlihat sedikit tersenyum.
“Ayo lanjut makan kolaknya” melihat kedua anak itu diam, matanya cuma menatap tajam, merah.
Noi dan Hio tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka seakan-akan dihadapkan pada dilema. Antara takut dan lucu. Malam semakin remang, membuat bulu roma merinding. Cerita Pak Hajar bikin mereka harus menahan gelak dengan mimik muka kemerah-merahan.
“jadi apa yang dikatakan Pak Kiyai tidak benar dong Pak?”. Perasaan was-was Hio beranikan diri bertanya. Tapi dia berharap jawaban Pak Hajar masih tetap sama dengan apa yang pernah disampaikan Pak Kiyai. Agar rasa takut jadi hilang.
“Menurut kalian bagaimana?”. Pak Hajar menanyai balik.
Lantas semua diam. Noi yang tadinya membisu, dengan suara pelan membalas. “Ustad di pasentren juga mengatakan hal yang sama dengan Pak Kiai”.
 “tapi buktinya bapak masih tetap saja diganggu, padahal di bulan ramadhan. Masak ada orang sengaja memasukkan tubuh bapak ke dalam lubang beduk. Apalagi saat itu sudah menunjukkan jam dua dinihari. Kalaupun ulah manusia pasti manusia jadi-jadian”. Pak Hajar memegang tengkuknya mungkin dia merasa bulu romanya juga ikut merinding.
Noi hanya menundukkan kepala. “Mungkin ada benarnya juga kalau pernyataan Pak Kiai itu keliru. Dia kan juga manusia. Atau kita yang salah mengartikan”. Noi tadinya banyak diam membuat Pak Hajar angguk kepala mendengar pernyataannya.
Hio makin takut, badannnya dibasahi keringat dingin. Seandainya Pak Hajar tidak ada mungkin dia sudah lari duluan. Seakan-akan nasib dirinya bergantung pada malam. “Jika aku tidur di mesjid, mungkin setan melakuan yang lebih kejam lagi. Memasukkan tubuh ku ke dalam keranda mayat”. Imajinasi setannya makin liar setelah mendengar kisah Pak Hajar.
Cerita aneh tentang Pak Hajar dengan beduk misterius pun berkembang di kalangan masyarakat. Bahkan menyebar ke daerah-daerah. Malahan Pak Hajar sempat minta izin berhenti menjadi penjaga mesjid. Tapi tak ada yang berani, ia terpaksa harus bertahan.
Selama satu bulan nama Pak Hajar menjadi buah bibir masyarakat. Tak ada yang tidak kenal dengannya. Kesetiaan yang diberikan pada mesjid membuat warga kampung menjadi bangga memiliki orang seperti sosok Pak Hajar.
Sejak kejadian yang menimpa Pak Hajar, beduk itu tidak lagi digunakan oleh warga. Karena dianggap ada penunggunnya. Pak Lurah pun memutuskan kepada pihak mesjid untuk segera menggantikan dengan yang baru. Agar ketenangan warga terjamin.

Cerpen: Pesan Emak

Oleh: Sopliadi

Ibu, mak, mama, mami, ummi, begitulah dia biasa dipanggil. Nama yang tak asing lagi bagi seorang anak. Petang dengan cahaya kemerah-merahan dihiasi rintik-rintik hujan membuat suasana kampung terlihat sepi. Sayup mata memandang terlihat sekumpulan anak-anak tengah asyik bermain di bawah bukit samping kebun jagung pak Ahmad. Tonil........??? Suara yang begitu keras terdengar dari balik jendela yang kebetulan berhadapan dengan pegunungan yang menjulang.
Semua mata tertuju pada suara tersebut. Tonil pun pulang dengan wajah lesu karena harus meninggalkan permainan. Sesampai di rumah terlihat ibu sedang memasak ikan hasil tangkapannya kemarin. Selain bermain bola, ia juga hobi memancing selesai pulang sekolah. Tanpa disuruh ia langsung membersihkan sekujur tubuh bekas jerami hasil panen penduduk. Ibunya terlihat senang karena ia sudah mulai mengerti apa yang semestinya dilakukan.
Jam pun menunjukkan pukul enam, hari kian mulai gelap. Terdengar kumandang azan magrib di mesjid sebelah. Namun, Tonil dan ibunya hanya melaksanakan shalat di rumah, karena letak mesjid cukup jauh dari kediaman mereka. Untuk ukuran di kampung, kehidupan mereka cukup sederhana.
Di sela-sela menikmati makanan, ibunya kembali memanggil. Tapi kali ini suara agak pelan. Nil...!! Kamu adalah satu-satunya yang ibu miliki. Teman di kala duka, rumah ini cukup sepi jika tiada kamu. Apalagi setelah kepergian bapakmu. Suasana begitu hening, Tonil yang tadinya tengah menyantap kepala ikan tiba-tiba jeda sejenak. Dengan langkah pelan ia menghampiri ibunya. Bu? Aku akan menjaga ibu setiap saat. Akan selalu menjadi teman buat ibu. Mereka pun saling mendekap dengan pelukan penuh kasih sayang.
Dengan nada lembut, sambil mengusap kepala Tonil dengan rambut yang sudah mulai agak kasar. Pesan ibu hanya satu, andaikata kamu pergi, kemana pun itu. “jangan lupa berbuat baik, entah itu manusia atau dengan siapalah termasuk dengan binatang sekalipun, karena Tuhan tidak pernah membeda-bedakan”.
Itulah sepenggal kalimat yang disampaikan ibunya ketika sebelum menginjak negeri orang.
Karena sekarang ia sudah cukup dewasa. Demi cita-cita ia harus meninggalkan ibunya yang sudah tua renta. Pertemuan dengan ibunya sudah cukup lama. Untuk mengobati rasa rindu tak jarang ia mengirim surat lewat pos terdekat. Maklumlah, sejak kepergianku hingga sekarang tak kunjung mendapatkan signal, karena jauh dari pusat perkotaan. Untuk listrik saja Pak Lurah baru menerima beberapa tiang listrik, itu pun berita terakhir yang aku dengar enam bulan yang lalu.
Hidup di perantauan cukup memberi ia banyak pengalaman. Manis-pahitnya hidup sudah dirasakan. Hanya saja sedikit berbeda, di kampung tiap ada waktu luang ia gunakan untuk memancing, karena hobi juga hasilnya dapat diberikan kepada emak untuk digoreng. Di kota untuk mancing saja mesti dibayar, oleh sebab itu ia harus melupakan hobinya. Di tengah ingar-bingarnya kehidupan kota tak membuat ia lupa akan emak. Tiap kali makan enak pemberian teman selalu ingat dengan emak.
“Suaramu masih terngiang di benakku. Suara yang parau. Suara yang memanggil keras waktu aku main bola. Suramu yang bernada pelan membuat aku harus berhenti melanjutkan makan kepala ikan”. Mebuatnya rindu akan sosok emak.
Di kejauhan kerap hatinya tergugah untuk pulang lebih cepat. Agar segera ketemu dengan emak. Pulang untuk kembali. Kerinduan itu kian membuatnya menetes air mata. Dia tahu hanya aku yang menjadi teman di kala emak kesepian. Bahkan tak jarang tidak mengikuti pengajian karena harus menemaninya.
***
Tonil pun kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Kembali untuk menggapai tekadnya yang pernah diungkapkan dengan emak dulu. Sekarang ia sudah duduk di semester V di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jogja. Ia cukup beda dengan teman lainnya, sehabis kuliah ia tak membuang-buang waktu demi mendapat tambahan biaya kuliah. Selain tak mau menambah beban orang tua, juga supaya belajar mandiri.
Ketika matahari menarik cahanya, ia pun segera bersiap untuk pulang ke kosannya yang tak jauh dari tempat ia bekerja. Di sanalah semua cerita terukir, di gubuk yang berukuran 3x4 tak jauh beda dengan suasana rumah di kampung. Seperti biasa, sesampai di kos tak lupa memandang foto emak yang sengaja dipasang didinding. Itulah cara yang dilakukannya agar senantiasa ingat dengan mak.
“Emak adalah segala-galanya. Entah kenapa akhir-akhir ini sosok seorang mak selalu teringat. Semoga aja dia tidak kenapa-kenapa. Tiap kali menadahkan tangan hanya meminta emak senantiasa sehat. Kekhwatirannya seringkali membuatnya linglung tiap kali bekerja.
Kembali ke pangkuan dan menangis di pelukannya. Agar diri yang sudah kering kerontang oleh butiran debu-debu dosa dapat segar kembali. Begitulah pintaku akhir-akhir ini. Di saat rindu, semua nikmat untuk dipandang. Tak ayal, terkadang sosok emak masih terbayang-bayang di sela-sela kesibukan. Nasehat yang pernah terlontar akan kebaikan tak lekang oleh zaman, dan itu selalu teringat walau rintangan datang silih berganti bahkan tak kunjung berakhir dan berputar terus-menerus di tengah pusaran ombak dengan gelombang maha dahsyat.
Memang terkadang pesan emak akhir-akhir ini tanpa unsur kesengajaan kerap dilanggar. Tapi masih tetap menyertai tiap kali kaki ini melangkah. Di luar sana begitu banyak warna-warni kehidupan. Sehingga kelupaan menjadi tidak sadar. Era moderen, begitulah mereka menyebutnya. Istilah yang mereka gunakan sangat sulit untuk dipahami. Dunia begitu cepat berubah. Bahkan, mengalahkan kapasitas sifat alamiah manusia.
Entah kenapa kata-kata itu keluar dari fikirannya . Mungkin itu hanyalah halusinasi buah dari kegelisahan yang tak kunjung pergi. Karena emak belum kunjung ditemui.
Masih teringat senyum itu ketika mengiringi langkah kepergianku. Isak tangis tak bisa dibendung, akupun menangis di pundaknya tanda perpisahan. Jiwaku begitu semangat untuk meninggalkan desa. Dengan harapan untuk mewujudkan mimpi. Begitulah tekadku. Lambaian tangan pun kian menghilang, desa semakin terlihat kecil dan semakin kabur. Puncak gunung masih terlihat yang kebetulan berada di belakang desa. Begitu banyak kenangan terukir disana, fikirku.
Tonil semakin merindukan kampung tempat ia masih kecil.
Rekaman masa lalu masih menyisakan banyak cerita. Apalagi disaat dalam kondisi yang penuh chaos. Dimana tak ada lagi tempat untuk mengutarakannya, disitulah memori itu diputar kembali agar pesan-pesan itu masih tetap terjaga. Ketika segalanya menjadi absur, siapapun akan merindukan kedamaian. Mungkin kondisi inilah sedang menimpa diriku. Hidup ini begitu absur untuk dijalani. Segalanya menjadi tiada bermakna, kata-kata “omongkosong” mengiringi tiap tindakan.
Seakan-akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Bahkan tak lagi mudah percaya terhadap orang yang berada di sekitarnya. Rasa curiga semakin menjadi-jadi, tak pelak prasangka buruk sering mengelabuiku. Juga menjadi faktor kenapa rasa rindu yang ada dalam hatinya semakin tak terbendungi. Di tengah abnormalitas, kita membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk bercerita tentang kegelisahan yang menimpa.
Kehidupan semakin tidak normal. Buku-buku tak lagi memberi pencerahan. Dia hanyalah kertas kosong yang dituliskan dengan tinta. Dia tak pernah peduli apa yang kita alami. Dia hanyalah media untuk sampai pada sebuah tujuan. Begitulah fikirku, ketika semua membosankan. Pendidikan hanya menciptakan kebodohan. Kampus hanya menjadi ajang perkumpulan massa layaknya mall.
Sikap saling curiga menghantui mereka yang haus akan kedudukan dan saling bertikai antar satu sama lain. Debat di mana-mana, seminar dijalankan, untuk mencerahkan anak bangsa yang tengah mengalami kebobrokan, tapi kenapa malah kian bodoh? Partai dengan lantang bersuara dengan slogan yang menggiurkan. Tak jarang bendera mereka dikibarkan tengah terjadinya bencana untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Dengan dalih akultruisme, menolong tanpa pamrih.
Mak! Lagi-lagi omongkosong menjadi kata terakhir untuk diberikan kepada mereka yang hanya bisa mengumbar janji palsu demi singgasana surga. Sungguh kasihan! nasib bangsa ini kian menuju ambang absurditas.
Andai saja emak ada di sini, begitu banyak cerita yang ingin kuutarakan kepadanya. Mulai awal kepergianku sampai sekarang ini. Cerita tentang bagaimana kehidupan di kota. Jauh dari apa yang pernah dibayangkan. Tapi sayang! Emak belum mendengarkannya.
Itulah kegelisahan yang dialaminya akhir-akhir ini. Ia pun membenarkan apa yang pernah ia baca dalam salah satu buku, ternyata awal yang indah belum tentu berjalan dengan indah.
 Ya, mungkin itulah faktanya.
Walaupun mak tidak bisa mendengarkannya, ia tetap melanjutkan kegelisahannya.
Jadi wajar jika sikap pesimistik tak kunjung pergi dalam diri mereka yang mencoba menarik diri dari parta-partai politik. Trust sudah dipudarkan oleh logam-logam yang berharga. Dikikis oleh kemewahan yang dijanjikan. Setiap celah kebaikan ditutupi oleh kegelapan duniawi demi memenuhi kebutuhan fisik agar terlihat berasal dari kaum bangsawan.
Bahkan tak jarang raja kecil daerah hadir dengan tampilan necis agar terlihat wow?? Kenyataannya masih memperjuangkan sesuap nasi.  Iman sudah terjualbelikan demi keuntungan yang bersifat temporal. Sungguh sebuah keniscayaan. Lupa, jika mereka dijadikan layaknya barang dagangan.
Begitulah mak,  kehidupan politik sekarang, hidup dalam penuh kepalsuan. Biar kehidupan kita pas-pasan yang penting tidak mengemis kepada rakyat. Tonil kian pinta bermain kata-kata. Kebetulan ia mengambil jurusan ilmu politik.
Agar sepulangnya dapat membantu pak lurah dalam membenahi kampung halamannya. Karena sampai saat ini listrik tak kunjung masuk, bahkan tiang listrik yang diterima oleh Pak Lurah dulu malah kian lapuk karena dibiarkan begitu saja. Tapi bukan cita-citanya, karena dia hanya ingin membahagiakan emak. Tapi, tidak ada salahnya juga, karena itukan demi kebaikan seperti pesan emak dulu.
Emak-mak!! Pesanmu selalu mensugestikan diriku.
Tak terasa sudah lima tahun ia berada di bangku kuliah. Kegelisahan itu kian mengganggu. Hingga membuat diriku terpaku pada suatu kondisi dimana sendirian adalah yang terbaik untuk dapat kembali pada apa yang sebelumnya terjadi. Heningnya kehidupan sudah makanan sehari-hari. Tapi, di tengah keheningan bukan berarti berdiam diri dan menyalahkan apa yang dilihat.
Sebaliknya, mencoba mencari sesuatu yang perlu dicari. Agar secercah inspirasi datang agar bisa memberikan sumbangsih terhadap persoalan yang menimpa negeri ini. Namun, di tengah itu juga rasa jenuh sering menerpa. Disaat yang sama kerinduanpun ikut menghampiri. Berada pada situasi seperti ini sering mulut ini berucap, betapa senang mereka berada di tengah orang-orang yang mereka cintai. Kita hanya perlu memetik hikmah dengan jalan yang sudah kita lewati agar semua perasaan menyesal dapat direduksi. Inilah harapan terakhir untuk bisa merangkul matahari yang berada di depan kita. Sebelum pulang untuk menemui emak.
Dengan suara keras seperti panggilan mak ketika tengah main bola. Tonil berteriak. Emak..........
aku merindukanmu.
Membuat teman-teman kosannya serentak keluar. Sembari berkata:

Dimana kebakaran???????

Cerpen: Nama yang Pernah Terukir

Oleh: Sopliadi

Laut mana yang tengah aku selami, daratan mana yang sedang aku singgahi. Tersesat di hamparan gurun pasir. Di padang sabana. Mengharapkan segelas embun pagi datang menyejukkan dahaga yang kamu kumpulkan tiap pagi di musim kemarau. Dimanakah kau berada? Teringat adonan sajak-sajak waktu dulu kita ciptakan. Waktu itu kamu ingin menulis kata-kata di bajuku berwarna putih. Dengan jemarimu yang lentik waktu mengelus rambutku. Aku menolak. Karena itu hanya buat aku payah; melupakanmu.
Nyanyianmu bernada laras ceria, sempat aku ketawa tapi sengaja aku sembunyikan. Kau tak tahu saat itu aku begitu takut kehilanganmu. Ketika kamu mengajak pulang, aku bilang tunggu sebentar. Aku masih terpana melihat indah wajahmu. Tapi belum sekali pun kamu mengerti. Kau hanya tahu esok aku akan pergi. “Aku tidak mau meninggalkanmu”,  aku sampaikan kata-kata itu lewat kisaran angin di dekatmu. Karena bahasaku seringkali bikin kamu bertanya “apa”? “Dan maksudmu apa?”.  Perempuan memang selalu begitu. Tapi, aku bosan mendengarnya.
Tiap kali aku mengajukan pertanyaan, jawabanmu tak pernah langsung ke pointnya. Yang ada malah kamu balik bertanya. Itu membuat jantungku berdebar, seperti jantung para finalis di malam puncak saat penentuan siapa yang akan jadi pemenang. Kepergianku adalah perpisahan kita. Tapi kerinduan bagiku. Juga bagimu.
Sudah terbayang-bayang di dalam kepala, kita akan mengasingkan diri. Entah kapan pula sua kembali. Kemungkinan agak lama. Barangkali kamu sudah menggendong bayi. Seperti seorang ibu gendong anaknya yang sedang menangis. Sambil mendendangkan lagu yang pernah kita nyanyikan bersama. Kepergianku telah membuatmu tak berdaya. Aku tahu itu. Aku yang salah. Meninggalkanmu. Tapi kamu tidak pernah memberi kepastian. Aku kehabisan kata-kata; untuk meyakinkanmu.
Kamu hanya bilang suatu saat kita akan bertemu lagi. Tapi pertemuan yang kunantikan bertahun-tahun hanya berbuah kepahitan. Kau paksakan aku menelannya. Untuk melihatmu terakhir kalinya pun aku tidak mampu karena sudah ada laki-laki lain berdiri di sampingmu. Kamu bukan tidak menaruh belas kasihan. Kau hanya melakukan apa yang semestinya dilakukan. Aku berjuang tanpa kenal lelah. Berharap sepulang nanti tak mengecewakanmu. Dulu, kau sering benci aku. Karna aku tak tahu apa-apa dan hanya bisa diam manakala kamu bertanya. Aku hanya bisa bagaimana memanjat pohon kelapa ketika kamu haus. Kamu bosan itu, aku carikan kamu mangga. Aku juga yang memanjat.
Karena itu yang aku bisa. Ketika kamu ingin aku buatkan kamu PR sekolah, aku langsung diam. Karena aku tak pernah menginjak bangku sekolah. Tak seperti dirimu.
Misalkan waktu bisa diputar ke belakang. Aku tak akan menolak jika kamu ingin mengukir keabadian di bajuku lagi.
Andaikan kamu masih seperti dulu. Belum dimiliki oleh lelaki asing itu. Aku ingin sekali mengajak ke tempat kediamanku, di sana segala kegundahan, kerinduan, aku tuangkan ke dalam secarik kertas. Pojok atas kutuliskan namamu. Aksaranya sengaja dibuat lebih besar. Supaya saat tersingkap namamu langsung terlihat.
Memintamu melihat isi kamar. Supaya kamu bisa membaca tumpukan sajak-sajak yang tak sempat aku kirim. Melihat fotomu yang sudah kusut dalam peti kesayanganku. Melihat ribuan sisa bekas pena hanya demi menulis kata-kata untukmu. Agar kamu tahu apa yang aku lakukan tentangmu bukan bualan. Bahwa aku tidak seperti laki-laki lain yang hanya datang dan pergi.
Aku yakin kau mengharapkan itu semua. Karena senyum yang sengaja kau tebarkan waktu kepergianku, membuat tubuh seperti melambung di udara. Aku lambaikan tangan dalam bis yang sering kamu tumpangi ketika belanja ke pasar. Wajahmu pelan-pelan semakin mengecil sampai tak terlihat hingga kabut pagi menutupinya. Tapi pandanganku masih tetap menoleh ke belakang. “Kita sudah berpisah. Lela. Jaga dirimu baik-baik”. Kata-kata itu sengaja aku simpan. Karena aku tak kuasa melihat deraian air mata berlinang di dinding pipimu yang indah itu.
Enam bulan kemudian aku masih mendengar kabar darimu. Kamu kirimkan aku surat. “Aku sering pergi sendirian ke tempat yang biasa kita duduk, aku begitu merindukan masa-masa itu. Dalam waktu dekat kamu pasti datang menjengukku kan? Kamu harus pulang jika waktunya tiba. Dan kamu harus kembali. Karena aku menunggumu”. Itulah kata-kata terakhir dari suratmu. Kalimat itu bagai suara sayap burung merpati yang mengepak berterbangan seisi kamar. Aku hanya diam mendengar kesepianmu. Itu membuatku senang. Kamu masih mengingat goresan masa lalu.
Setiap mengingat wajahmu selalu mengusik pikiranku; rambutmu yang lurus, senyum simpul serta matamu yang binar. Setiap ketawa menunjukkan gigi-geligimu yang berbaris rapi seperti sabit rembulan. Aku rindu akan wajah itu. Aku berkata-kata dengan wajahmu di foto. Kau diam. Dan tersenyum melihatku.
Saat itu juga aku segera ingin pulang datang menemuimu. Tapi bosku tak beri izin. “Belum saatnya”, dengan nada keras. Tiap kali hendak pulang aku selalu mendapat kata-kata yang sama. Sama sepertimu tak pernah mengatakan dengan pasti. Kerap mebuatku merasa kesal. Kamu kan tahu aku bukan tipe lelaki pemarah. Mungkin kamu masih ingat ketika aku datang tidak tepat waktu ke tempat biasa kita duduk. Kamu langsung marah. Kau cubit perutku. “Sakit”, aku bilang. Tapi kau terus saja melakukannya. Namun aku tak membalasnya. Hingga membekas sampai sekarang.
Aku datang lebih awal, hampir setengah jam menunggu. Tiba-tiba kamu muncul dengan begitu rapi. Dengan semerbak wewangian bikin hidungku tersumbat. “Maaf, nunggu lama”, kau bilang sambil mengunyah permen karet. Tapi aku hanya diam. Karena aku tidak ingin menyakiti perasaanmu.
Saat kamu mengejarku, aku terjatuh kau pun ikutan terjatuh. Terasa nafasmu yang harum bau class up odol kesukaanmu. Saat mulutku berhadapan dengan bibirmu yang mungil, layaknya flm romantis sedang beradegan mesra dengan kekasihnya, membuatku melayang-layang di awan-awan nun biru. Tak lama kemudian seketika kamu menepisnya. “Mulutmu bau”, sembari kamu ketawa. Kita pun tertawa terbahak-bahak. Walau aku sedikit tersipu malu. Kebetulan waktu itu aku belum mandi, tergesa-gesa menemuimu.
***
Sekian lama aku memikul semua itu. Kabarmu tak lagi terdengar. Seakan-akan ditelan oleh zaman. Aku seperti sedang berkelana di tanah yang gersang dan tak tahu arah tujuan. Tersesat dalam rimbanya hutan. Terpelanting bagaikan kapas berterbangan. Tenggelam dalam lembah dosa. Hanyut oleh derasnya air.
Bajuku yang tak sengaja kau tempelkan dengan bibirmu lagi-lagi aku taruh dalam peti kesayangan. Lela. Lela!. Kenapa dirimu tak seperti dulu lagi. Suka onar di dekatku. Menepuk pundakku jika kamu kesal. Menarik rambutku sampai tubuhku tersungkur ke belakang. Kau diam-diam masukkan kecoak ke dalam sakuku, setiba di rumah buat aku terpekik. “Dasar kamu yang jahil”, aku merasa jengkel.
Tengah menikmati hidangan, kamu datang memanggilku. Saat ibu menyuruh masuk, “aku di luar saja bu”. Karena kamu malu. Akupun makan dengan cepat-cepat. Karena tak ingin kamu menunggu lama. Tiap saban datang ke tempat biasa kita ngobrol, kamu tak pernah lupa bawa ketela rebus hasil kebun ayahmu. Kau bagikan aku setengah dan kamu setengah. Kamu habis duluan, kemudian meminta bagianku. Pas pulang kebetulan hujan. Aku berlari mengambil sehelai daun pisang agar kamu tidak kebasahan. Aku khawatir kamu sakit.
Betapa pedulinya aku dengan kesehatanmu. Sebab, kebersamaan kita tak hanya seumur jagung. Sejak kecil kamu sudah sering menyembunyikan sandal jepitku. Kau berlindung di balik daun-daun. Tengah sibuk mencari-cari, kamu menertawaiku. Aku nangis habis diolok-olok teman. Kau bilang aku pecundang.
Semua itu masih terngiang di benakku; senyummu, ketawamu. Bahkan rambutmu yang seringku jujut karena terlihat kusut. Laksana rambut bidadari tengah bangun tidur. “Kenapa dengan rambutmu?” Aku tanyakan itu padamu. “Sisirku hilang”, dengan nada kesal kamu menjawabnya. Keesokannya aku bawa kamu sisir. “Terima kasih” aku ikut senang mendengar ucapan itu. Aku bilang dari hasil tabungan. Meskipun uangnya sengaja aku ambil di saku ibu yang tergantung di kamar. Supaya kamu mau menerimanya.
Aku pinjam sepeda teman. Saat itu kakimu berdarah. Akibat tersandung batu ketika main kejar-kejaran. Kau membuat aku panik sebagaimana semut di atas wajan panas. “Pahlawan kesiangan datang”, kau masih sempat mengejek. Tapi aku senang bisa banyak membantumu.
Deretan kisah itu terlukis di tanah yang pernah kita singgahi. Walaupun kepulanganku tak satupun yang bisa diingat. Disapu oleh ombak yang begitu dahsyat. Kita seperti mengukir di pasir pantai Tomia. Sekejap hilang disapu air.
Kau begitu cepat berubah. Lelaki asing itu membuat aku jemu. Kehadirannya mengubah segala-galanya. Aku tahu kau masih menantiku. Dengan cahaya di matamu, kamu masih menyimpan sekeping rindu untukku. Kau bilang tulus pada lelaki asing itu. Tapi aku tak pernah yakin. Kau sama sepertiku. Dan masih merasakan hal yang serupa.
Ketika banjir melanda tempat biasa kita duduk. Aku yakin kamu pasti bisa bertahan. Berenang tanpaku. Kehujanan dan saat itu kamu pasti menggigil kedinginan karena tak ada yang melindungimu dari derasnya hujan. Aku ingat sekali, waktu mandi di sungai kamu bilang tidak bisa berenang. Agar aku mau menggendongmu. Kamu memang jago bersandiwara. Aku gendong sampai ke tepian. Kemudian Aku angkat hingga ke atas. Waktu itu beratmu masih beberapa kilo. Aku lupa mengingatnya. Bajumu terlihat kotor oleh lumut menempel. Aku bersihkan dengan telapak tanganku yang sudah kasar laksana muka sarang lebah. Kamu hanya diam melihatku. Akupun ikutan diam.
Ingin sekali mengulang semua yang pernah kita ukir. Menikmati semilir angin di petang hari. Sembari melihat padi yang sudah mulai menguning. Aku buatkan seruling dari batang padi. Kau tiupkan, hingga mengalahkan nyanyian burung pipit yang suka makan padi Pak Tani. Karena kesal tiba-tiba kamu sengaja patahkan. Kamu bilang aku menertawaimu. Tak lama berselang, marahmu redam. “Aku ingin seperti burung-burung itu”, sambil tatapanmu mengarah wajahku.
Kebersamaan kita begitu banyak menuai pelajaran. Aku bahkan tak punya sahabat bercerita selain dirimu. Sebenarnya ingin sekali menyatakan sesuatu. Jawabanmu akan mengubah segala-galanya bagiku. Antara iya dan tidak. Tapi kau tak paham. Waktu kau bilang “apa?”, aku tahu kamu malu. Tapi sengaja kamu simpan. Kamu memang sering begitu.
Ketika  kamu memberiku hadiah. Saat dibuka ternyata isinya jam tangan. Agar aku jangan lupa waktu, dan jangan sampai telat datang ke tempat biasa kita duduk. Namun, tak kunjung dikenakan, karena aku yakin harganya mahal. Kamu juga melakukan hal yang sama sewaktu aku membelimu sisir. Ambil uang ibumu kan?
Mimpi-mimpi yang pernah kita ucapkan, sekejap menjelma menjadi debu yang bertebaran. Dihempas oleh angin kesana kemari. Bergelantung di udara kepalsuan. Menjadi fatomorgana yang diombang-ambingkan.
Aku masih sempat membawa kamu hadiah, kali ini benar-benar dari hasil keringatku sendiri. Tapi kepulanganku terasa demikian lama. Kado itu sengaja tidak diberikan. Karena apa yang aku lihat, cukup memberi alasan untuk menyimpannya di dalam peti kesayanganku. Yang pernah kamu buka dulu. Isinya kamu sudah tahu; foto-fotomu, serta surat yang pernah kau kirimkan. Tulisannya masih susah aku baca.
Aku senang bisa melihatmu lagi meski dari kejauhan. Sekian lama tak dengar kata-katamu. Bicaramu yang coplosan. Kadang membuat aku naik darah.
“Lihatlah ke sini Lela, aku ada di balik sebatang pohon yang pernah kamu ukir. Nama kau dan aku. Dengan huruf A besar dan huruf L kecil di tengah-tengah bertuliskan dengan simbol “&”. Aku ingin menghapus namamu. Biarkan namaku dan simbol “&” yang tertinggal. Aku juga ingin mengunci peti kesayanganku itu, dan kuncinya akan aku buang ke laut Tomia waktu kita main air ketika matahari hendak tenggelam”. Aku melihatmu mengendong bayi. Lela.
Mungkin dalam waktu dekat aku akan kembali ke tempat dimana aku bekerja. Agar aku tak melihatmu lagi. Aku tak bisa lama-lama. Lela. Dari kejauhan terlihat kita takkan pernah menyatukan kepingan-kepingan yang sempat terpisah bertahun-tahun. Aku pergi. Lela. Seperti air mengalir, sekarang aku hanya akan membawa diri ke mana langkah kaki ini akan membawanya. Walaupun saya tahu, kamu pasti akan selalu berada di dalam kepala ke mana pun aku akan pergi dan di mana pun aku akan berada. Selamat tinggal. Lela.




26 April 2014

Nadamu yang Sumbang

sopliadi

Berjalan merongrong malam yang berkepanjangan telusuri wilayah tak bertuan. Takut berkecamuk. Letih lemah dalam kekelabun. menyusup masuk lewat celah-celah bocoran tembok tinggi.  Meraba yang tak mampu disentuh, mimpi tak memiliki pesona, selain lamunan picisan. Pongah di dunia banal yang tak sedikit pun memiliki welas asih pada mereka yang dungu. Bangsat untuk keparat. Kata tak memiliki tujuan. Dari anasir yang dicita-citakan. Bungkam dalam lembah panas yang kau semai. Nadamu menggema, berdesis di kuping-kuping yang tak tuli. Tak menaruh arti.
Kau pancarkan bualan yang nihil. Senja pucat. Malam tak gelap. Api yang kau ciptakan menjadi kidung senjata. Dalam hening sunyi. Jemari telunjuk wajah pasi. Kelingking terkait. Itulah kebohongan. Dusta. Siasat jahat. Kebodohan akan menipumu. Di balik gelombang tirai. Kau muncul dengan raut kusam. Kelimis tebal. Sombong dan penghianat. Berbusa mulutmu dengan nada ejek. Ini kebenaran telanjang. Tak pernah keluar dari manusia. Kucing mengeong kelaparan. Kumisnya jongor menunjukmu yang bau. Seperti ikan sudah matang. Siapa yang lapar akan meyantapmu dengan nikmat. Dagingnya jadi rebutan.
Hari lelah dan pucat. Orang kelaparan. Kerja tak ada. roti masih kau makan dengan mulutmu menganga. Tak ada belas kasihan. Teriak mereka meminta. Persetan kata  peduli. Kau tetap saja lahap makanan itu. Kuhirup nafasmu bau ikan gosong. Sumbat mulutmu dengan senjata. Agar suara mu bungkam. Baik dalam kedurjaan. Kharisma buatmu tenar. Tapi kau lupa. Ada tumbuhan yang perlu air. Matamu belalak. Ketika perempuan lewat. Tatap penuh nafsu. Sembunyi dalam busukmu.